Tokoh Penemu Gunung Emas PT FI pada Tahun 1936 'ERSTBERG' Jean Jacques Dozy, FritsJulius Wissel dan Antonie Hendrikus Colijn |
Sejarah Awal Penemuan Tambang Freeport Indonesia
Keberadaan PT Freeport Indonesia di Papua tidak dapat dilepaskan dari peran Jean Jacques Dozy seorang geolog asal Belanda yang juga merupakan salah satu ahli pemotretan geologi yang pertama di dunia. Jean Jacques Dozy bersama, Frits Julius Wissel dan Antonie Hendrikus Colijn (putra dari Perdana Menteri Belanda 1925-1926, Hendrikus Colijn), melakukan ekspedisi Cartensz pada 29 Oktober 1936.
Hal itu
bermula dari kejengkelan Jean Jacques Dozy yang saat itu membaca berita dari
sebuah surat kabar. Saat itu, Dozy sedang berada di markas Nederlandsche Nieuw
Guinea Petroleum Maatschappij (NNGPM), Babo, Papua Barat, pertengahan 1936.
Hal yang membuat jengkel Dozy kala itu ialah berita jika
Jepang ingin mendaki Puncak Cartensz di Papua Barat. Kejengkelan itu beralasan,
jika orang Jepang menjadi yang pertama mencapai Puncak Cartensz, bisa
dipastikan mereka akan memperluas wilayah jajahannya.
Dia bersama dua rekannya, AH Colijn dan Franz
Wissel tak ingin hal itu sampai terjadi.
"Sehingga disepakati bahwa mereka sebagai
orang Belanda harus menjadi orang pertama yang mendaki Gunung Cartensz,"
kata Greg Poulgrain dalam buku karyanya 'The Incubus of Intervention,
Conflicting Indonesia Strategies of John F Kennedy and Allen Dulles'
Dozy Lahir di
Rotterdam Belanda pada 18 juni 1908 dan meninggal di Belanda pada tanggal 1
Nopember 2004, bekerja di NNGPM sebagai kepala ahli geologi
minyak dan bumi bekerja pada Nederlandsche Nieuw Guinea
Petroleum Maatschappij (NNGPM), salah satu anak perusahaan dari Shell Company,
yang baru di bentuk setahun sebelumnya 1935.
Sementara, Colijn adalah manajer anak perusahaan Royal Ducth Shell yang dalam
ekspedisi ke Puncak Cartensz ditetapkan sebagai pemimpin rombongan.
Lalu, Wissel merupakan pilot angkatan laut Belanda yang
kemudian bekerja di Perusahaan Minyak Batavia atau Bataafsche Petroleum
Maatschappij (BPM). Dia ditempatkan di Kalimantan untuk melakukan pemetaan
udara. Sebelum ekspedisi, terlebih dahulu dilakukan survei udara. Jalur
ekspedisi direncanakan dari pesawat.
Untuk mempermudah
ekspedisi ini, Wissel sebelumnya telah terbang dengan pesawat S-38 “Skorsy” ke arah Caertenz. Ia membawa logistik, lalu menurunkannya di
titik-titik yang akan dilaluinya.
"Suatu hari ketika kami
mendapat pesawat udara amfibi tua jenis Sikorsky, kami melakukan penerbangan
pengintaian dan melihat pegunungan, dan perlahan-lahan, satu per satu rencana
mulai dikembangkan," kata Dozy kepada Poulgrain pada 1982.
Pada 23 Oktober 1936, Colijn dan Dozy meninggalkan Babo
dengan Kapal Albatros menuju Aika, wilayah terisolir yang menjadi gudang Timah.
Sementara Wissel menerjunkan pasokan logistik di Aika dengan dibantu sejumlah
kuli pengangkut barang.
Mereka bertiga kemudian mendaki Puncak Cartensz. Ada 38 orang
dari Kalimantan yang menemani ketiganya. Namun hanya beberapa yang kuat
bertahan karena memang medan yang terjal.
Di ketinggian 4.000 meter, ketiganya yakni Dozi, Colijn dan
Wissel mencapai padang rumput sesuai dengan yang mereka lihat saat survei
melalui udara.
"Di situlah Dozy menemukan singkapan pegunungan yang
dinamai Erstberg," tulis Poulgrain.
Kepada Poulgrain, Dozy mengatakan bahwa, tidak
ada batu lain di Erstberg kecuali bijih. Dalam kondisi basah dan dingin di
ketinggian itu, bau bijih bisa dirasakan hingga di seluruh pedesaan bahkan saat
gunung belum terlihat.
Sekitar dua kilometer dari Erstberg, Dozy dan kawan-kawan
menemukan Gerstberg yang kemudian digambarkan sebagai tempat penyimpanan emas
terbesar di dunia. Pada 5 Desember 1936 mereka bertiga mencapai Puncak Cartensz.
Selanjutnya, mereka kembali di Babo tepat pada 25 Desember
1936. Hasil temuan Dozy, Colijn dan Wissel tersebut kemudian disusun dalam
sebuah laporan yang disimpan di salah satu perpustakaan di Belanda. Petinggi
pemerintah Belanda maupun elite perusahaan minyak kala itu menyimpan
rapat-rapat temuan dan penelitian
tersebut.
Tak sengaja, saat berkunjung ke perpustakaan,
Jan van Gruisen menemukan buku tersebut. Jan van Gruisen pun tertarik dan
penasaran.
Hingga pada 1959 Direktur Eksplorasi Freeport Sulphur
Company, Forbes Wilson bertemu dengan Jan Van Gruisen, Managing Director Oost
Maatchappij, perusahaan Belanda yang mengeksploitasi batu bara di Kalimantan
Timur dan Sulawesi Tenggara.
Di sela-sela pertemuan itu mereka berbicara mengenai buku
laporan penelitian atas Ertsberg kepada
Forbes Wilson. Saat itu, Wilson adalah Direktur Freeport Sulphur.
Setelah
mendengar dan membaca laporan tersebut, di tahun 1960, Forbes Wilson dan Del
Flint melakukan eskpedisi ke Gunung Ertsberg.
Wilson sangat terpesona. Ia menemukan kandungan bijih tembaga. Ia juga
mendapatkan potensi kandungan emas dan perak yang potensinya sangat besar di
dunia. Saking senangnya, Wilson berseloroh: gunung ini ada baiknya diberi nama
‘Gold Mountain’. Wilson
menuangkan hasil survei tersebut dalam buku berjudul, 'The Conquest of Cooper
Mountain'.
Di bawah bendera Freeport Minerals Company, Wilson memutuskan
untuk melakukan kerja sama dengan pemerintah Indonesia. Pada April 1967, pemerintah
Indonesia dan Freeport Sulphur, yang kini menjadi Freeport McMoran
menandatangani kontrak karya pertambangan pertama. Freeport mendapat hak
melakukan penambangan di Irian Barat.
Sejak itu pula, tembaga, emas dan perak pun secara
besar-besaran dikapalkan dari Bumi Papua.
Grasberg menjadi emas
paling besar dan paling berkilau dalam mahkota Freeport di Dunia Internasional. Dan tambang Grasberg mencapai produksi dengan
sangat cepat. Apalagi dengan dibangunnya Heat Road pada 1993 yang memungkinkan
shovel dan truk-truk berat diangkut ke tambang. Dan awal 1995, produksi
Grasberg telah berlipat ganda. Pada awalnya, Operasi Grasberg rata-rata mampu
menghasilkan batuan sebesar 10 ton per hari per pegawai menjadi 150 ton per
hari per pegawai.
Riwayat PT.FI Tembagapura Papua
1960, Ekspedisi Freeport dipimpin Forbes Wilson & Del Flint menje-lajah Ertsberg.
1963, Serah terima Nederlands Nieuw-Guinea dari pihak Belanda ke PBB, yang pada gilirannya mengalih-kannya ke Indonesia, Rencana proyek tambang ditangguhkan akibat kebijaksanaan rezim Soekarno.
1966, Peralihan kekuasaan penuh dari Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto. Pembentukan pemerintahan baru yang mendorong investasi sektor swasta serta langkah-langkah reformasi ekonomi lainnya. Freeport diundang ke Jakarta untuk pembicaraan awal mengenai kontrak tambang di Ertsberg.
1967, Penandatanganan Kontrak Karya untuk masa 30 tahun, yang menjadikan PTFI sebagai kontraktor eksklusif tambang Ertsberg di atas wilayah 10 km persegi.
1969, Negosiasi kontrak penjualan jangka panjang dan perjanjian proyek pendanaan. Studi kelayakan selesai dan disetujui.
1970, Pembangunan proyek berskala penuh dimulai.
1972, Uji coba pengapalan pertama ekspor konsentrat tembaga dari Ertsberg.
1973, Peluncuran proyek, dan lokasi kota dinamakan Tembagapura. Proyek Ertsberg mulai beroperasi.
1975, Kegiatan eksplorasi dimulai atas cadangan bawah tanah tembaga pada Gunung Bijih Timur (GBT).
1976, Pemerintah Indonesia membeli 8,5% saham PTFI dari Freeport Minerals Company dan investor lain.
1978, Studi kelayakan proyek tambang bawah tanah GBT disetujui.
1981, Tambang bawah tanah GBT mulai beroperasi.
1985, Tambahan cadangan tembaga bawah tanah ditemukan di bawah tambang bawah tanah GBT.
1987, Setelah mengalami beberapa kali pengembangan produksi rata-rata meningkat menjadi 16.400 ton/hari dua kali lipat dari rencana awal pada tahun 1967 cadangan total menjadi 100 juta ton metrik.
1988, Cadangan Grasberg ditemu-kan, melipatgandakan cadangan total menjadi 200 juta ton metrik.
1989, Perluasan hingga 32.000 ton/hari disetujui, dan kajian untuk perluasan hingga 52.000 selesai. Pemerintah Indonesia mengeluarkan izin untuk melakukan eksplorasi tambahan di atas 61.000 hektar.
1990, Pekerjaan konstruksi berlanjut atas perluasan hingga 52.000 ton/hari.
1991 Penandatanganan Kontrak Karya baru dengan masa berlaku 30 tahun berikut dua kali perpanjangan 10 tahun ditandatangani bersama Pemerintah Indonesia. Hingga akhir tahun, total cadangan berjumlah hampir 770 juta ton metrik.
1992, Kajian perluasan hingga 90.000 ton/hari disetujui. Sementara produksi rata-rata sebesar 58.000 ton/hari, pekerjaan berlanjut untuk meningkatkan kapasitas hingga 66.000 ton/hari.
1993, PTFI melakukan privatisasi atas beberapa aset non-tambang tertentu. Peningkatan hingga 115.000 ton/hari disetujui. FCX membeli RTM (pabrik peleburan di Spanyol). Hingga akhir tahun, total cadangan mencapai hampir 1,1 miliar ton metrik.
1994, Studi Dampak Lingkungan Hidup 160.000 ton/hari PTFI disetujui. Pengumuman tentang usaha patungan pabrik peleburan PT Smelting di Gresik.
1995, PTFI menandatangani kerjasama dengan Rio Tinto. Kota baru di dataran rendah, Kuala Kencana, diresmikan. Bersamaan dengan Konsentrator #3, pening-katan hingga 125.000 ton/hari yang melebihi rencana selesai sebelum waktunya dan di bawah anggaran. Kegiatan eksplorasi berlanjut yang bersebelahan dengan kegiatan operasional mengidentifikasi daerah-daerah baru yang memiliki potensi mineralisasi yang signifikan, yakni "Segitiga Emas". Penambahan tambang bawah tanah Grasberg meningkatkan cadangan menjadi 1,9 miliar ton metrik hingga akhir tahun.
1996, Upaya eksplorasi memberi ha-sil sangat baik dengan penambahan cadangan Kucing Liar; hingga akhir tahun, total cadangan mencapai lebih 2 miliar ton metrik. PTFI mulai ikut serta di dalam Rencana Pengem-bangan Timika Terpadu dari Peme-rintah, dengan sumbangan satu persen dari pendapatan setiap tahun (dana 1%). PTFI melakukan audit sosial dan lingkungan hidup secara sukarela dengan hasil yang positif. Komitmen membangun sarana-sarana bagi Pemerintah Indonesia menghasilkan peningkatan penga-manan bagi personil dan kegiatan operasional. Perluasan Konsentrator disetujui.
1997, Audit Sosial oleh Labat Anderson diserahkan kepada PTFI dan Kementerian Lingkungan Hidup, dan revisi dilakukan terhadap penyelenggaraan FFIJD agar lebih tanggap terhadap kebutuhan pem-bangunan di desa-desa. PTFI men-dapatkan izin perluasan hingga 300.000 ton/hari. Pekerjaan perluasan Konsentrator # 4 berlanjut. Tambahan cadangan hingga akhir tahun terdiri dari 2,6x produksi tembaga dan 3x produksi emas untuk tahun 1997, terutama tambahan dari Kucing Liar.
1998, PT Smelting yang 25% kepemilikannya dikuasai PTFI mulai beroperasi di Jawa Timur. PTFI me-masok seluruh kebutuhan konsen-tratnya. Perluasan Konsentrator #4 selesai dan mulai beroperasi. PTFI melakukan program operasional "Hunker Down and Go" (Bertahan dan Maju) di tengah iklim harga komoditas rendah, dengan mencapai rata-rata lebih 196.000 ton/hari, dan produksi logam mencapai rekor, serta biaya produksi tunai neto yang rendah. Tambahan cadangan yang cukup signifikan berasal dari DOZ dan Kucing Liar meningkatkan cadangan total menjadi hampir 2,5 miliar ton metrik.
1999, Audit Lingkungan Hidup oleh Montgomery-Watson selesai, yang menemukan bahwa sistem penge-lolaan lingkungan hidup yang dikembangkan dan dilaksanakan oleh PTFI merupakan "teladan dan contoh bagi industri pertambangan." Kegiatan operasional mencetak rekor produksi logam serta biaya tunai satuan. Proyek bawah tanah DOZ dengan kapasitas 25,000 ton/hari disetujui dan diluncurkan.
2000, MoU tentang sumber daya sosial ekonomi, HAM, hak ulayat, dan hak lingkungan hidup diumum-kan oleh pimpinan LEMASA (lem-baga masyarakat suku Amungme), LEMASKO (lembaga masyarakat suku Kamoro) dan PTFI. Pemba-ngunan tambang bawah tanah DOZ dimulai. Produksi tembaga mencapai rekor dengan lebih 1,64 miliar pon tembaga.
2001, FCX dan PTFI menanda-tangani perjanjian sukarela khusus Dana Perwalian bersama warga Amungme dan Kamoro yang tinggal dekat wilayah kegiatan tambang, dengan menyumbang jumlah awal sebesar $2,5 juta AS, dan selanjutnya $1 juta AS setiap tahun. Tingkat produksi pabrik pengolahan (mill) mencapai rekor dengan hampir 238.000 ton/hari serta produksi emas rata-rata setiap tahun mencapai hampir 3,5 juta ons.
2002, Produksi tembaga mencapai rekor dengan 1,8 miliar pon tembaga. Tambang bawah tanah DOZ mencapai produksi berkelanjutan sebesar 25.000 ton/hari. PTFI menyerahkan kepada Pemerintah Indonesia hasil kajian Penilaian Resiko Lingkungan Hidup dari sistem pengelolaan tailing yang menetapkan bahwa dampak lingkungan hidup sesuai dengan yang diperkirakan pada AMDAL 1997, dan disetujui oleh Pemerintah.
2003, Peningkatan DOZ hingga 35.000 ton/hari disetujui dan selesai. Peristiwa longsor di tambang terbuka Grasberg berdampak terhadap kegiatan Kuartal 4. Biaya produksi tunai netto rata-rata mencatat rekor kredit sebesar 2¢ per pon tembaga.
2004, Kegiatan pembersihan di tambang terbuka Grasberg selesai, dan kegiatan operasional dilanjutkan dengan penambangan pada bagian berkadar tinggi tambang Grasberg. DOZ beroperasi pada tingkat 43.600 ton/hari, melebihi kapasitas rancangan sebesar 35.000 ton/hari; peningkatan hingga 50.000 ton/hari disetujui.
2005 Hasil berkadar tinggi dari Grasberg menyebabkan jumlah produksi yang hampir mencapai rekor sebesar 1,6 miliar pon tembaga dan 3,4 juta ons emas. DOZ tetap beroperasi pada tingkat 42.000 ton/hari, melebihi kapasitas rancang. Pengembangan cadangan Big Gossan disetujui. Audit lingkungan hidup eksternal tiga tahunan yang dilakukan Montgomery-Watson-Harza menyimpulkan bahwa praktek pengelolaan lingkungan hidup perusahaan masih berdasarkan (dan dalam berbagai hal mewakili) praktek pengelolaan terbaik untuk industri pertambangan tembaga dan emas secara internasional.
Perkembangan dari Tahun 1936 sampai 2019
Anton Hendrikus Colijn, Frits Wissel dan Jean Jacques Dozy |
1936 - Ekspedisi Cartenz, oleh A. H. Colijn, F. J. Wissel dan geolog Jean-Jacques Dozy, merupakan kelompok luar pertama yang mencapai gunung gletser Jayawijaya dan menemukan Ertsberg.
Forbes Wilson (kanan) bersama rekannya anggota tim geologist Freeport di Erstberg, 1960 |
Expedisi Kedua 1960 - 1969
1960 -
Ekspedisi Freeport, oleh Forbes Wilson & Del Flint untuk menemukan
kembali Ertsberg.
1967 - Penandatangan Kontrak Karya (KK) 1 yang merupakan salah satu pionir PMA pertama untuk jangka waktu 30 tahun setelah beroperasi.
PT.FI tahun 1970 |
1970 - 1979
1972 - Memulai produksi penambangan dan pengolahan bijih. Pengapalan konsentrat dilakukan pada tahun berikutnya.
Penemuan Gresberg kecil |
1980 - 1989
1988 - Penemuan cadangan Grasberg.
Foto PT.FI pada tahun 90an |
1990 - 1999
1991 - Penandatanganan Kontrak Karya (KK) II, yang merupakan pembaharuan KK I, untuk jangka waktu 30 tahun dengan hak perpanjangan s.d. 2 x 10 tahun.
1995 - Penyelesaian pembangunan kota Kuala Kencana di dataran rendah, suatu fasilitas dan sarana prasarana pendukung operasi produksi penambangan.
1996 - Memulai dana kemitraan 1% dari penjualan perusahaan bagi pengembangan masyarakat lokal yang dikelola institusi masyarakat, tambahan dari program CSR yang dilakukan langsung oleh perusahaan.
1997 - Penyelesaian dan pengoperasian PT Smelting di Gresik Jawa Timur, fasilitas pemurnian yang menghasilkan Katoda Tembaga pertama di Indonesia. Rata-rata 40% produksi konsentrat perusahaan dimurnikan di smelter ini.
Pintu Terowongan PT-FI |
2000 - 2009
2004 - Memulai investasi proyek pengembangan bawah tanah sebagai kelanjutan dari tambang terbuka Grasberg yang berakhir di tahun 2018. $9 miliar telah diinvestasikan dan tambahan $20 miliar akan diinvestasikan sampai dengan 2041.
Terowongan Dalam Tanah PT.FI |
2010 - 2019
2018 - Penandatanganan Ijin Usaha Pertambangan Khusus ( IUPK) yang merupakan perubahan bentuk dan perpanjangan usaha pertambangan sampai dengan 2041. 51,24% saham perusahaan dimiliki oleh pihak nasional Indonesia. Memulai pembangunan tambahan fasilitas pemurnian tembaga dan fasilitas pemurnian logam berharga.
sumber I : Buku sejarah penemuan Freport Indonesia
sumber II : Google http.www//sejarah-pt-freeport.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar