Tampilkan postingan dengan label AGAMA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label AGAMA. Tampilkan semua postingan

Selasa, 16 Agustus 2022

Sejarah Singkat Misi Fransiskan di Sekitar Daerah Wisselmeren Paniai

Foto Para Misionaris di depan Gedung PPK Epouto saat Kunjungan Hans Van Munster dan Bertulf van Leeuwen di Wisselmeren pada tahun 1968, antara lain: Sjel Coenen, Eduard Andringa, Frans Roozen, Carla Holla, Jos Donkers (sebagian terlihat), Henk Lemaire (dibelakang tangan Jos Donkers), Henk Smits, Sjef de Wit, Willem Rombouts, Jan Peeters, Sr Luduino, Sr Fried Gerards, Bertulf van Leeuwen, Joop Sierat, dan Dirk Bakker sedang duduk di depan.

(*Oleh: Sdr. V. Engelberto Namsa, OFM

1. . Kehadiran Misi Fransiskan di Papua

Cerita mengenai misi para Fransiskan di daerah yang waktu itu bernama Nederlands Nieuw Guinea, dimulai dengan adanya sepucuk surat pendek yang ditulis oleh Provinsial Misionaris Hati Kudus, Pater Nico Verhoeven, MSC, pada tanggal 23 November 1935 kepada Pater Paulus Stein, OFM, Kustos dari Fransiskan Belanda. Isi surat itu kurang lebih berbunyi: Mgr. Aerts, MSC, Vikaris Apostolik dari Nederlands Nieuw Guinea, mengusulkan kepada kami supaya mencari sebuah Ordo atau Kongregasi yang bersedia mengambil ahli sebagian dari Vikariat yang sangat luas dan sebagiannya belum digarap (bdk. Jan Slot, “Fransiskan Masuk Papua Jilid I”, Jayapura: Kustodi Fransiskus Duta Damai Papua, 2012, hal. 3).
Secara jujur dapat dikatakan bahwa Fransiskan (OFM) tidaklah begitu kenal dengan daerah yang ditawarkan itu, tetapi itupun tidak aneh. Perlu diakui bahwa usaha-usaha pembicaraan antara pihak MSC dan OFM di Belanda tidak membawa hasil yang memuaskan. Masalah yang cukup berat ialah masalah keuangan Ordo, pada waktu itu situasi Belanda cukup mempengaruhi pendapatan Ordo dalam hal keuangan. Selain itu, Fransiskan Belanda juga mempunyai daerah misi di tempat lain. Tempat-tempat itu antara lain Cina, Brasilia dan Norwegia. Tempat misi ini membutuhkan biaya hidup yang cukup tinggi. Apalagi ditambah dengan daerah misi baru yakni Nederlands Nieuw Guinea. Dengan perbicangan yang begitu lama, baik antara pihak OFM Belanda, pihak MSC Belanda dan Propaganda Fidei (Roma). Akhirnya pada tanggal 28 September 1936, Prefek Propaganda Fidei menyerahkan misi baru ini kepada Fransiskan dan atas kesepakan bersama antara MSC dan OFM yang kemudian hari menjadi misi yang mandiri dari Fransiskan.

Dua hal penting yang masih harus dilakukan, yaitu harus diadakan kesepakan antara Vikaris Apostolik Nederlands Nieuw Guinea dan Provinsi Ordo Fratrum Minorum (OFM) Belanda. Selain itu masih harus diselanggarakan pengutusan dan perpisahan secara gerejani. Kesepakan itu ditandatangani pada 22 Desember 1936 di Tilburg oleh Minister Provinsial Belanda, Pater Honoratus Caminada, OFM dan Superior Provinsi MSC Belanda Pater Nico Verhoeven, MSC. Yang terakhir ini, menandatangani kesepakatan tersebut atas nama Vikaris Apostolik Nederlands Nieuw Guinea Mgr. Aerts, MSC. Di dalamnya dijelaskan pertama-tama tentang daerah misi yang akan diberikan kepada Fransiskan (bdk. Jan Slot, “Fransiskan Masuk Papua Jilid I”, Red, hal. 12-13).

Perpisahan secara gerejawi para misionaris pertama pada tanggal 29 Desember 1936 di gereja Hartenbrug Leiden. Peristiwa ini merupakan sebuah peristiwa bersejarah dalam pembukaan misi baru di Papua. Perayaan ini dilakukan secara meriah dan disiarkan oleh salah satu radio di Belanda (KRO). Hampir seluruh anggota OFM Belanda hadir dalam peristiwa ini. Di saat yang sama Pater Provinsial menyerahkan salib misi kepada saudara-saudara yang akan menjadi misionaris di Papua. Setalah perayaan Ekaristi itu selesai, perpisahan pun terjadi, kerena keenam misionaris Papua itu langsung berangkat ke Genua dengan kereta api. Sesampai di Genua mereka akan menggunakan Kapal laut menuju Papua.

Keenam Misionaris OFM dari Belanda yang ditugaskan di tanah Misi Nieuw – Guinea (sekarang dikenal dengan “Papua”). Mereka berangkat dari Belanda pada tanggal 29 Desember 1936. Para saudara ini terdiri dari lima orang pastor dan satu orang Bruder. Pada tanggal 29 Januari 1937, keenam Misionaris ini tiba di Batavia (sekarang Jakarta) Jawa. Perkenalan mereka dengan dunia Hindia – Belanda sangat menakjubkan mereka. Tulis Sdr. Van Egmon : “semuanya menakjubkan, kota, alam, cara hidup orang-orang setempat, sebagaimana saudara-saudara bertingkah laku, singkatnya semuanya itu bagi kami merupakan dunia baru. Waktu di Belanda, sesungguhnya kami tidak mengetahui sedikit pun tentang dunia dengan iklim tropis”
Sebelum ke Papua, perjalanan mereka melalui Makassar dan Ambon, dengan tujuan Tual-Langgur di Kei Kecil (tempat ini adalah pusat Misi Katolik untuk Nieuw Guinea dan Pusat “Missionarii Sacratissimi Cordis” dikenal dengan MSC). Mereka diterima sangat hangat dan ramah di Tual-Langgur. Dari Tual mereka menyebar. Sdr. Van Egmond dan Sdr. Vugts pergi ke Ternate (Maluku Utara), yang pada awalnya Ternate menjadi pusat misi yang baru bagi OFM. Sdr. Moors dan Sdr. Vendrig ditentukan ke Manokwari (Papua Barat). Sedangkan Sdr. Louter dan Sdr. Tettero berangkat ke Kaimana (Papua Barat). Maka pada tanggal 18 Maret 1937, mereka untuk pertama kalinya menginjakan kaki di Nieuw Guinea. Dari Kaimana (Papua Barat), Sdr. Louter dan Sdr. Tettero ke Fak-Fak (Papua Barat), tepatnya di desa Gewirpe.

2. Perjumpaan Awal dan Semua Serba Baru

Sesudah Fransiskan menjalankan misi di daerah lain di Papua. Akhirnya mereka memutuskan untuk membuka misi baru, daerah misi itu dikenal dengan sebutan “daerah Danau-Danau Wisel”. Daerah ini merupakan daerah pegunungan pertama yang menjadi misi Fransiskan. Sesudah itu, masih ada Lembah Baliem dan Pegunungan Bintang. Sebenarnya misi ke daerah Paniai sudah direncanakan sebelum pecahnya perang dunia II, namun terkendela akibat perang yang berlangsung. Pekerjaan di daerah ini pada awal sudah dilaksanakan oleh Pater Herman Tillemans, MSC (dikemudian hari menjadi Uskup Pertama Keuskupan Agung Merauke).

Setalah perang dunia II berakhir Fransiskan mulai kembali membangun misi di daerah danau-danau Wissel.
Daerah pegunungan di atas pantai Mimika, pada pertengahan abad 20 menjadi perhatian banyak antropolog. Maka, pada saat yang sama dimulailah ekspedisi-ekspedisi. Pada tahun 1910 dimulailah ekspedisi Inggris Goodfellow – Wollaston di sini mereka berjumpah dengan orang-orang Pigmi-Tapori. Tahun 1931, dr. H. Bijlmer mencoba memasuki daerah itu namun gagal. Bijlmer tidak menyerah, akhirnya ia memutuskan untuk melaksanakan ekspedisi yang kedua. Pada saat ekspedisi kedua ini, ikutlah Pater Herman Tillemans, MSC. Mereka mejelajahi puncak gunung setinggi lebih dari 2.500 meter. Pada 26 Desember 1936 akhirnya mereka tiba dengan selamat di Modio. Modio adalah salah satu pusat penduduk pegunungan Papua dan di sini tinggalah kepada suku Auki Tekege (bdk. Jan Slot, “Fransiskan Masuk Papua Jilid I”, Red, hal. 188).
Berkat informasi ditemukannya danau-danau Wissel oleh seorang pilot yang bernama Wissel pada tahun 1937. Maka pada 11 November 1937 mendaratlah pesawat terbang pertama pada danau terbesar dari tiga danau itu, yakni danau Paniai (bdk. Bijlmer, “Naar de achterhoek der aarde”, hal 198). Oleh karena itu, diadakan suatu ekspedisi baru, dibawah pimpinan Van Eechoud dan saat yang sama bergabunglah Pater Herman Tillemans, MSC. Pada 16 Juni 1938 Pater Tillemans dapat pertama kalinya merayakan Ekaristi di tepi Danau Paniai. Van Eechoud membuka di situ juga pos pemerintah Belanda yang pertama, tempat itu sekarang dikenal dengan sebutan Enarotali. Dalam situasi ini Pater Tillemans menggunakan waktu tersebut untuk menjelajahi seluruh daerah Mapia. Saat yang sama pecahlah perang dunia II dan hal ini cukup mempengaruhi karya misi Katolik di Papua.

Mengingat perkembangan ini, para Fransiskan yang berkarya di sebelah Utara Papua mulai berencana unutuk mengambil ahli pekerjaan misi di daerah danau-danau Wissel dari tangan MSC yang mempunyai basis di sebelah Selatan Papua. Maka hal itulah yang diputuskan oleh Mgr. Grent dengan kesepakan pimpinan para Fransiskan. Atas permintaan tersebut, Mgr. Grant juga menyetujui bahwa pembukaan kembali misi di daerah danau-danau Wissel yang sempat fakum ketika pecahnya perang dunia II. Saat yang sama para Fransiskan mulai mengadakan perjalanan pengenalan medan di daerah tersebut.

Pada Maret 1949 dalam suatu penerbangan dengan pesewat Catalina berangkatlah Pater Tillemans bersama dua orang Fransiskan ke Enarotali, mereka itu adalah Pater Misael Kammererer, OFM dan Pater Leo Boersma, OFM, serta ikut juga dua guru katekis asal Kei (Maluku Tenggara). Mereka itu adalah Gerardus Ohoiwutun bersama istrinya Leonilla Letsoin dan Bartholomeus Welerubun. Setelah tibalah di sana, nyatalah bahwa umat tidak lupa dengan pastor mereka yang lama. Jonas Mote misalnya, seorang murid yang pernah bersama Pater Tillemans, MSC yang berasal dari Yaba, membawa seekor babi. Pada saat yang sama mereka mulai mencari bahan bangunan dan mulai mebangun rumah apa adanya.

Tanpa disangka-sangka, pada 03 Maret 1950 tibalah Pater Lactantius Noiwen, OFM untuk memperkuat misi di daerah tersebut. Sebenarnya P. Tillemans, MSC telah menentukan Pater Noiwen, OFM untuk daerah Mapia, namun dengan pertimbangan konflik antara misi Katolik dan Zending yang masih begitu kuat di daerah tersebut, maka Pater Noiwen, OFM belum bisa ke sana. Dalam tahun yang sama Pater Misael Kammererer jatuh sakit dan harus beristirahat untuk sementara waktu. Ia dipersilakan mengambil cuti ke Belanda untuk mengurus kesehatannya, kurang lebih setengah tahun. Dalam tahun yang sama, Pater Tillemans, MSC akhirnya pindah dari daerah yang dirintisnya itu. Sebelum berangkat, ia sempat pergi ke beberapa daerah untuk berpamitan. Maka pada Mei 1950 Pater Tillemans, MSC akhirnya berpisah dengan mereka yang ada di Paniai. Akhinya Januari 1951 kembalilah Pater Kammererer, OFM dengan keadaan pulih dan siap bertugas. Setelah tinggal di Enarotali beberapa Minggu, akhirnya ia pergi ke tempat kerjanya. Tempat kerja itu ialah Kugapa, Kampung Moni di wilayah Ekari. Dari sanalah ia mulai mejelajahi daerah sebelah Timur.

3. Kisah Mengenai Guru-Guru Yang Mogok

Di Enarotali orang bekerja keras membangun sebuah gereja. Pada permulaannya, bila sedang libur, para guru dengan rajin membantu. Tetapi sayang, mengenai pekerjaan itu timbul perselisihan antara pastor setempat dengan beberapa orang guru. Sang Pastor berpendapat bahwa mereka terlalu sedikit menolong, sedangkan pada hemat guru-guru itu mereka dituntut terlalu banyak pekerjaan. Guru-guru telah menyatakan saling solider dan berpendapat bahwa mereka tidak dapat lagi bekerja di Danau-danau Wissel. Kendati telah diadakan berbagai usaha mediasi, mereka tetap berpegang pada keputusannya untuk kembali ke pantai. Selama bulan Agustus mereka semua berangkat ke Biak.
Dengan demikian lowonglah tenaga pengajar di kesebelas tempat yang sudah didirikan sekolah-sekolah. Maka terpaksa diputuskan, bahwa di tiga tempat yang paling penting yaitu Enarotali, Waghete dan Yaba, pastor sendiri akan mengajar di depan kelas, sehingga subsidi oleh pemerintah tetap terjamin. Sementara itu pembagian kerja yang pernah disepakati dengan CAMA, di sana sini menjadi masalah. (bdk. Jan Slot, “Fransiskan Masuk Papua Jilid I”, Red, hal. 209).

Di beberapa tempat yang menurut kesepakatan diperuntukkan bagi misi, CAMA mulai juga dengan sekolah alkitab. Masalah itu menjadi semakin mendesak, ketika menjelang bulan-bulan akhir tahun 1950.
Berdasarkan permasalahan ini, pater Kammerer di Enarotali mengadakan pembicaraan dengan pendeta Kenneth Troutman dari zending CAMA, Pertemuan ini dipimpin oleh kontrolir Meyer Ranneft. Dalam pertemuan ini dibicarakan juga kesepakatan terdahulu mengenai pembagian daerah yang telah disepakati sebelum perang. Tetapi tak seorang-pun dari yang bersangkutan ini mengetahui dengan tepat kesepakatan tersebut yang memang hanya bersifat lisan dan tak pernah dituliskan. Mengenai hal ini mereka berdua memutuskan untuk menyurat kepada atasan masing-masing: Pater

Kammererer ke Hollandia dan Troutman ke Makasar. Ketika tiba jawaban dari kedua belah pihak, bahwa tidak diinginkan lagi adanya sebuah ‘agreement’, maka tertutuplah kemungkinan untuk mengacu kepada kesepakatan yang dahulu pernah dibuat. Kesepakatan ini tidak berlaku lagi.
Bagaikan seorang malaikat penyelamat, tiba-tiba muncullah Yaba, pada permulaan 1951, uskup baru dari Merauke, Mgr. Tillemans. Dengan berjalan kaki dari Mimika, yang dikunjungi Setelah tahbisannya menjadi uskup, tibalah ia di daerah Danau-danau Wissel. Walaupun sekarang tidak lagi termasuk daerah vikariatnya, namun wilayah itu mempunyai arti yang istimewa baginya, karena dirinya adalah misonaris pertama di wilayah itu. Dia membawa tujuh orang katekis bersama de ngan tujuh orang lain lagi, yang akan membantu dalam membangun perumahan. Tambahan lagi, tidak lama sebelumnya juga pater P. Drabbe MSC tiba di Enarotali untuk mengerjakan katekismus dalam bahasa Ekari. Juga Pater Steltenpool, yang karena sebuah konflik dihukum oleh Cremers dengan dipindahkan ke Manokwari, sekarang tiba kembali di wilayah Enarotali. Apalagi, barusan tiba juga dari Merauke Bernardus Goo, seorang Ekari, dan Martinus Zonggonau, seorang Moni. Selama masa perang, mereka ini mengungsi bersama Pater Tillemans. Sekarang mereka akan bekerja di antara sukunya sendiri. Dengan demikian kelihatanya kekurangan tenaga mulai terpecahkan.

Tetapi Mgr. Tillemans mengingatkan bahwa katekis-katekis yang telah di bawanya serta bukanlah tamatan sekolah kateketik. Beberapa dari mereka hanya dapat membacakan katekismus. Untuk sementara sebaiknya dipandang sebagai eksperimen yang layak untuk dilakukan. Meskipun “katekis” ini akan membuat kesalahan, namun kiranya lebih baiklah berbuat sesuatu dari pada tidak berbuat apa-apa. Segera dua orang pater dan empat orang katekis menuju Tigi, untuk menghuni kembali pos-pos di sana yang sementara itu kosong. Mereka itu bersama-sama juga menjadi gugus pembangun, yang selama minggu-minggu pertama tidak mengerjakan hal lain kecuali membangun rumah-rumah untuk guru, semua menurut satu model yang sama, 5 x3,6 meter. Untuk ini pater Nouwen menjadi pimpinannya. Dengan demikian dalam kurun waktu kurang dari dua bulan terselesaikan lima rumah guru, sebagai pengganti bangunan lama, yang telah ambruk sama sekali karena begitu lama ditinggalkan kosong (bdk. Benny Giay, “Zakheus Pakage and His Communities”, hal 62).

Pada tahun 1951 datanglah Pater Steltenpool, OFM di Enarotali disinalah ia mulai membuka kebun demi menunjang kebutuhan makanan.Tahun 1951 sebagian besar daerah-daerah di tempat tersebut sudah dibuka sekolah oleh para Fransiskan. Daerah-daerah itu ialah: Enarotali, Timila, Kugapa, Uwebutu, Wagete, Yaba, Meyepa, Deai dan Ayata. Hal ini bukanlah perkara yang muda karena membutuhkan banyak biaya dan juga tenaga. Pada tahun yang sama, Pater Leo, OFM sangat sibuk menuliskan bahasa Ekari yang sampai saat ini hanya terdapat dalam bahasa lisan. Hal ini bertujuan agar para Misionaris Fransiskan dapat mengajar orang dalam bahasa mereka sendiri. Awal tahun 1952 beberapa daerah seperti, Enarotali, Waghete, Kugapa, Daratan Kamu, Epouto dan Mapia telah mendapat pastor yang melayani umat di tempat-tempat tersebut. (bdk. “Sejarah Gereja Indonesia Jilid III. A, KWI 1974, hal 656).

 

4. Tibalah Para Suster Yang Siap Membantu Karya Misi

Pada waktu itu diterima berita, bahwa dari Belanda akan datang suster-suster untuk asrama di Eupoto. Pater Noiwen, OFM dipercayakan untuk menyiapkan segalanya. Asrama masih harus dibangun, sekaligus dengan rumah suster, begitupula dengan sekolah dan bangunan-bangunan sampingan. Perabotanpun masih harus diadakan. Kayu yang diperlukan untuk semuanya itu masih tegak berdiri sebagai pohon-pohon dewasa di dalam hutan. Karena itu dari Kokonau dia membawa serta tujuh orang penebang kayu, mempersiapkan perlengkapan di Yaba dan dengan diperlengkapi tenda, Pater Noiwen, OFM berangkat ke hutan itu juga, yang pernah dihuninya selama bulan pertama ketika baru mulai menetap di danau-danau itu. Kali ini dia tinggal di sana tujuh Minggu dalam rumah kainnya, sampai jumlah pohon yang ditebang itu dirasa sudah mencukupi. (bdk. Jan Slot, “Fransiskan Masuk Papua Jilid I”, Red, hal. 212-213).

Sekolah direncanakan berpola asrama. Pengasuhan anak-anak asrama akan dipercayakan kepada suster-suster Kerasulan Ordo ketiga dari Brummen, yaitu sebuah serikat sekuler yang didirikan pada tahun 1936. Mereka itu adalah Sr. Fried Gerards, Sr. Anna Penners dan Sr. Carla Holla. Setelah lama perjalanan, tibalah mereka di Enarotali pada 14 Mei 1952. Waktu itu perumahan untuk mereka di Epouto belum selesai. Pater Noiwen, OFM belum juga menyelesaikan pembangunan tersebut ia jatuh sakit. Menurut dokter di Enarotali ia harus sesegera mungkin diterbangkan ke Hollandia utnuk berobat, karena sakitnya semakin para. Tak disangka beberapa Minggu di Hollandia (sekarang dikenal dengan nama Jayapura), ia kahirnya dijemput oleh saudari maut badani pada 14 Agustus 1952 dalam usia 31 tahun. Ia makamkan di Jayapura pada hari berikutnya, tepat pada hari raya Maria diangkat ke Surga (bdk. Laporan di NS 22 (1952), Necrologium “Provinsi Fransiskus Duta Damai Papua” Tahun, 2020).

5. Membuka Misi Baru Ke Arah Barat

Sementara itu Pater Steltenpool, OFM sudah mulai dengan sebuah sekolah di Ugapa, yang setalah beberapa bulan berjalan mendapat lebih dari 50 murid. Orang dewasa itu dikumpulkannya pada hari Minggu di tempat terbuka untuk mengadakan sembayang bersama.

Beberapa kepala Desa antara lain, Yonas Mote, bekerjasama dengan sang pastor dalam mengumpulkan orang-orang itu. (bdk. Jan Slot, “Fransiskan Masuk Papua Jilid I”, Red, hal. 214). Rencana Pater Steltenpool, OFM yaitu menempatkan guru-guru mulai dari Ugapa, sampai ke Mapia. Pada setiap jarak berjalan kaki satu hari, ia menempatkan seorang guru, untuk dengan demikian langka demi langka memasuki daerah Mapia, dimana kepala suku Auki Tekege tinggal.
Pada saat itu tidaklah berarti, bahwa daerah Mapia tidak diperhatikan dan hanya dibiarkan begitu saja. Wilayah itu cukup padat penduduknya dan misi terlalu banyak berhutang budi kepada Auki Tekege. Dialah yang pertama menerima seorang pastor pada tahun 1935 dan memperkenalkannya dengan penduduk danau-danau Wissel. Pada tahun 1951 pergilan Pater Steltenpool, OFM bersama dengan Pater Boerma, OFM dan dokter Boelen untuk mengunjungi Auki (bdk. C. Zwartjes, OFM, “missiegeschiedenis van het Mappiagebied”, 1961, ST, hal 77).
Setelah sekian lama berkarya di daerah Paniai. Akhirnya pada bulan Februari 1952 tibalah di sana seorang Pater baru yang siap menjalankan tugasnya. Ia adalah Pater Engelbert Smits, OFM, dia juga adalah pastor pertama yang menetap di Modio. Dalam hal ini kepala suku Auki Tekege mempunyai peranan yang cukup besar, di mana ia menyuruh beberapa orang dewasa (kurang lebih 60 orang) untuk membantu pastor memikul barang-barangnya di Obano.

Bersama dengan Pater Steltenpool, OFM, Pater Smits, OFM menjelajahi daerah sekitar. Sesudah beberapa Minggu Pater Steltenpool kembali ke Ugapuga. Ketika pada tahun itu dua sekolah yang pertama dibuka, dan datanglah dua orang katekis dari Mimika untuk mengajar di situ. Sudah bertahun-tahun terjalinlah hubungan dagang antara penduduk pegunungan Mapia dengan penghuni pantai dari Mimika. Juga Pastor Smits, OFM sekurang-kurangnya dua kali setahun ke Mimika untuk menjemput katekis-katekis dan mengangkut kebutuhan-kebutuhan hidup. Guru-guru berijazah tidak dapat ditempatkan di daerah pastor Smits ini, karena daerah ini belum berada di bawah pemerintahan, sehingga belum juga bisa ditarik subsidi bagi sekolah-sekolah yang ada di sana. (bdk. C. Zwartjes, OFM, “missiegeschiedenis van het Mappiagebied”, 1961, ST, hal 37). Kendati demikian pen didikan berkembang dengan cepat. Dalam jangka waktu dua tahun, di sana dibuka sekolah katekis enam belas buah, yang dikemudian disusul oleh yang lainnya. Untuk pendidikan lanju, murid-murid terbaik pergi ke Vervolgschool (Sekolah Lanjutan) di Kokonao.

Demi penyediaan makanan dan barang-barang lain yang mutlak perlu, pastor harus dua kali setahun mengadakan perjalanan ke pantai. Perjalanan itu berat sekali. Selama bebera hari orang harus berjalan kaki ke arah bivak perahu. Jika semuanya tepat waktu, maka dari sana naik perahu ke pantai. Tetapi kadang-kadang segalanya gagal. Misalnya bulan Septem ber 1953, bergabunglah dengan kelompok yang seperjalanan itu seorang yang menderita sakit keras disentri. Akibatnya sungguh mengerikan. Di tengah jalan, dalam bivak yang kecil itu, dimana orang-orang duduk dan tidur saling berhimpitan, beberapa orang ketularan, sedemikian parah sehingga bahkan di rumah sakit Kokonao tidak dapat diselamatkan. Setelah kasus-kasus kematian yang pertama ini, pemikul-pemikul, termasuk mereka yang menderita sakit, tidak tahan lagi dan serta merta kembali ke kampungnya. Di tengah jalan dua orang lagi meninggal dunia, di antaranya seorang kepala desa. Masyarakat memang dapat memahami musibah ini, dan tidak begitu saja mempersalahkan pastor.

Sumber:
Benny Giay, “Zakheus Pakage and His Communities”,1995
Bijlmer, “Naar de achterhoek der aarde” (semacam catatan harian), 1941.
C. Zwartjes, OFM, “Missiegeschiedenis van het Mappiagebied”, 1961
Jan Slot, “Fransiskan Masuk Papua Jilid I”, Jayapura: Kustodi Fransiskus Duta Damai Papua, 2012.
Necrologium “Provinsi Fransiskus Duta Damai Papua” Tahun, 2020.
Sejarah Gereja Indonesia Jilid III. A, KWI 1974.

Penulis adalah Mahasiswa Pasca Sarjana STFT Fajar Timur Abepura-Papua

Jumat, 25 Februari 2022

Jangan Lupa: 128 Tahun Misi Perintisan Gereja Katolik di Tanah Papua



Pater Corneles de Cocq d’Armandville pertama kali menginjak kaki di Skroe, Fak-Fak, Papua Barat pada 22 Mei 1894. Sekarang sudah mencapai 128 tahun. Tapi kita tidak pernah rayakan hari misi perintisan gereja katolik di tanah Papua yang amat penting ini.

Felicia Permata Ganggu pernah menulis di majalah Hidup Katolik edisi 25 Juni 2018 dengan judul “Jalan Misi Gereja di Papua” yang merujuk pada catatan Pater Hendricus Haripranata tentang “Berlayar ke Timur, Misi Gereja Katolik di Irian Barat”.

Gereja katolik di Papua mulai menapaki kaki pada abad ke-19. Bertepatan dengan fase dimana pembentukan Prefektur Apostolik Batavia pada 1807.

Mgr. Adam Charles Claensses yang baru saja diangkat sebagai Vikaris Apostolik Batavia berperan penting untuk membuka misi Gereja Katolik di tanah Papua.

Sebelumnya orang hanya tahu sebatas Key, Maluku Utara, Sulawesi dan sekitarnya. Dulu bergabung ke Sulawesi, kemudian dipisahkan untuk gabung dengan Malaku pada 1902.

Hal itu disesuaikan dengan dekrit Roma tertanggal 22 Desember 1902, dengan tujuan supaya daerah sebelah timur Sulawesi, sekarang Maluku dan Papua membuka satu Prefektur Apostolik Nieuw Guinea Belanda.
Misionaris Hati Kudus (MSC) mulai berperan penting disini. Bahkan sampai pada awal abad ke-18 mulai menjelajahi wilayah Papua selatan yang kemudian hari akan menjadi pusat dari awal perkembangan gereja katolik di tanah Papua.

Catatan ini semakin jelas dengan karya Jan Sloot dalam “Fransiskan Masuk Papua” (hal. 43-46). Jan secara bijak menggambarkan bagaimana misi perintisan gereja katolik di tanah Papua dimulai oleh Misionaris dari Tarekat Yesuit (SJ).

Sebelum Pater Cocq, sesungguhnya Pater C. van der Heyden SJ sudah berlayar ke Irian Barat (sekarang Papua). Tapi kapan kedatangannya, kapan ia menginjaki kaki di tanah Papua dan apa saja di lakukan seketika tiba di Skroe belum jelas.

Haripranata, sebagaimana yang dikutip dari Felicia di Hidup Katolik tadi, hanya mencatat bahwa kapal yang ditumpangi Heyden terbakar di Skroe, Fak-Fak, Papua Barat. Bakal sang mending misionaris ini tinggal di situ selama tiga Minggu.

Seharusnya, hari, tanggal, bulan dan tahun dimana Heyden tiba dan injak kaki di Skroe, Fak-Fak, Papua Barat sebaiknya menjadikan sebagai hari misi perintisan gereja katolik di tanah Papua.

Sayangnya, catatan ini perlu membutuhkan waktu yang sangatlah lama untuk harus membokar dalam dokumen gereja katolik di tanah Papua, baik dari kantor-kantor arsip keuskupan, tarekat, ordo dan lainnya.
Mungkin saja Heyden tiba di Papua satu atau dua tahun sebelum Pater Cocq melanjutkan misi Gereja perintisan di tanah Papua.

Bisa juga Heyden datang ke Papua pada tahun 1894 yang sama, tapi beda bulan. Bisa saja tiba diantara 1893, atau tidak Januari hingga Maret 1894. Kita perlu memastikan ini baik-baik ke depan.

Tanggal masuknya Heyden yang tidak pasti ini membuat orang bingung dan bertanya-tanya. Sampai ambil kesimpulan mentah-mentah. Kalau dihitung dari sejak Heyden tiba bisa mencapai lebih dari 128 tahun.

Orang lebih mudah melihat misi perintisan gereja katolik di tanah Papua berdasarkan waktu dimana Pater Cocq d’Armandville menginjaki kaki pertama kali di Skroe tadi.

Kalau merujuk pada jejak langkah Pater Cocq, maka misi perintisan gereja katolik di tanah Papua sekarang sudah mencapai 128 tahun.

Tahun yang sangat tua, 39 setelah Ottow dan Geissler menginjak kaki dan memberkati tanah Papua dalam Tuhan di Mansinam, Manokwari, Papua Barat pada 5 Februari 1855 (166 tahun).

Tapi yang paling miris adalah Skroe, Fak-Fak, Papua Barat menjadi pusat misi perintisan gereja katolik di tanah Papua. Tapi hingga saat ini tidak ada tokoh agama, klerus yang lahir dari kampung Skroe ataupun orang Fak-Fak pada umumnya.

Pertanyaannya: kenapa orang Skroe dan Fak-Fak tidak bisa berkembang, terutama dalam soal penyiapan kaum klerus dari kampung dan kota bersejarah ini?

Apa ada yang salah? Apa dosanya, sehingga menghambat mereka untuk berkembang dan maju? Gereja katolik, para klerus di tanah Papua memang harus mendorong upaya untuk menelusuri hal-hal apa yang menyebabkan itu.

Bila perlu membentuk sebuah tim guna menelusuri dan melakukan rekonsiliasi bagi tokoh-tokoh adat dan gereja, umat katolik di sana. Tempat atau kampung bersejarah itu harus dilindungi dan dilestarikan secara baik.

Para pemuka agama di tanah Papua, baik oh agama, klerus yang lahir dari kampung Skroe ataupun orang Fak-Fak pada umumnya.

Pertanyaannya: kenapa orang Skroe dan Fak-Fak tidak bisa berkembang, terutama dalam soal penyiapan kaum klerus dari kampung dan kota bersejarah ini?

Apa ada yang salah? Apa dosanya, sehingga menghambat mereka untuk berkembang dan maju? Gereja katolik, para klerus di tanah Papua memang harus mendorong upaya untuk menelusuri hal-hal apa yang menyebabkan itu.

Bila perlu membentuk sebuah tim guna menelusuri dan melakukan rekonsiliasi bagi tokoh-tokoh adat dan gereja, umat katolik di sana. Tempat atau kampung bersejarah itu harus dilindungi dan dilestarikan secara baik.

Para pemuka agama di tanah Papua, baik dari kaum awam maupun imam harus mulai menyadari akan hari misi perintisan ini. Bila perlu membentuk tim guna menelusuri sejarah, merumuskan, menetapkan dan merayakan setiap tahun.

Kalau mau ikuti jalan Pater Cocq, puncaknya akan jatuh pada Sabtu, 22 Mei 2022 mendatang. Sekarang kita berada di awal Akhir Februari 2022. Untuk memasuki itu, hanya butuh 10-11 Minggu saja.

Pertanyaannya: apakah kita pernah bertanya kapan hari misi perintisan gereja katolik di tanah Papua atau tidak? Apa kita pernah sadar bahwa kita belum menelaah sejarah, merumuskan dan menetapkan hari misi Gereja Katolik di tanah Papua?

Apakah kita hanya memahami sejarah agama, Allah, Yesus Kristus tanpa memahami sejarah perintisan para misionaris yang membawah misi Gereja Katolik di tanah Papua?

Apakah kita hanya ikut merayakan 5 Februari sebagai hari PEEKABARAN INJIL tanpa kita belum pernah sadar untuk merumuskan, menetapkan dan merayakan 22 Mei sebagai hari misi perintisan gereja katolik di tanah Papua?

Apa yang kita pikirkan tentang 22 Mei 2022 besok? Apakah kita akan merayakan hari misi perintisan gereja katolik di tanah Papua atau tidak? Apakah kita akan membaca sejarah dan merefleksikan atau tidak?

Ingat! Sejarah adalah nafas keselamatan umat manusia. Sejarah yang jelas membuat orang tumbuh dan berkembang secara baik.

Tetapi sejarah yang tidak jelas, kabur dan sengaja dikaburkan, dihilangkan serta ditiadakan merupakan sebuah ancaman terbesar dalam eksistensi kehidupan umat manusia.

Apapun alasannya, sejarah harus selamatkan. Sejarah harus diluruskan. Sejarah harus diingat selalu. Sejarah harus menjadi perhatian utama jika gereja katolik di tanah Papua benar+benar ingin menjadi gereja katolik yang bercorak khas Papua.

Selamat menyambut hari misi perintisan gereja katolik di tanah Papua. Skroe, Fak-Fak, Papua Barat, 22 Mei 1894-Tanah Papua, 22 Mei 2022. Selamat memikirkan untuk 128 tahun gereja katolik masuk di tanah Papua.

 

Sumber rujukan:

1. Hanggu, Felicia Permata. 2018. Jalan Misi Gereja Papua. Hidup Katolik (25 Juni 2018), diakses pada 2020 lalu.

2. Sloot, Jan. 2012. Fransiskan Masuk Papua, Jilid I: Periode Pemerintahan Belanda 1937-1962. Fransiskan Duta Damai Papua.

Link berita terkait:
1. https://www.hidupkatolik.com/2018/06/25/22606/jalan-misi-gereja-papua.php
2. http://mshkatolikpapua.blogspot.com/2013/01/pater-le-cocq-darmandville-sj.html?m=1

Senin, 25 Oktober 2021

Dari Kerk Der Hoop di Mansinam Hingga GKI Harapan Abepura

Kerk de Hoop in Holandia

Proses sejarah lahirnya Gereja Kristen Injili GKI) di Tanah Papua sebagai gereja peninggalan Zending Protestan Belanda ternyata punya fase tersendiri hingga di usianya yang ke 65 tahun (26 Oktober 2021). Dimulai dari sebuah perkumpulan kecil di Belanda bernama ‘Utusan Tukang’ yang didirikan oleh seorang bernama Gosner.
Dia punya misi besar mengutus para utusan tukang yang dididik juga sebagai misionaris Protestan ke daerah-daerah yang dianggap kafir dan belum tersentuh misionaris Eropa kala itu. Gosner dalam wadah utusan tukang, awalnya merekrut sejumlah orang muda Eropa (terutama Belanda) yang punya tekad kuat meninggalkan tradisi sekulerisme Eropa dan memilih mengabdikan diri sepenuhnya menjadi misionaris militan.
Setelah para utusan tukang itu direkrut dan dilatih selama beberapa waktu, mereka akhirnya mendapat undian yang dipilih secara acak. Undian inilah yang akan membawa mereka menginjili wilayah-wilayah yang dianggap gelap, penduduknya masih punya tradisi tribalisme yang kuat, menyembah berhala dan roh kegelapan, punya tradisi perang suku, pengayau kepala dan pemakan daging manusia.
Diantara para utusan tukang Gosner, dari undian yang dipilih juga menghantarkan beberapa orang menginjil di Afrika dan sejumlah tempat lain yang belum mengenal Injil Kristen. Adalah Carl Willian Ottow dan Johan Gotlieb Geissler, dua pemuda Jerman yang pemalu dan saat itu masih minim pengalaman. Mereka berdua diutus ke wilayah di Pasifik Selatan, yakni ke Nieuw Guinea atau Guinea Baru.
Nama Nieuw Guinea berasal dari catatan beberapa pelaut Belanda, salah satunya Jan Carztens yang pernah mengunjungi wilayah tersebut dan memberi nama puncak gunung Jayawijaya yang tertutup salju dengan namanya. Nama dalam bahasa Belanda itu dipilih untuk membedakan nama wilayah ‘Guinea’ di Afrika. Meski demikian, sejumlah pelaut tangguh asal Portugis dan Spanyol, salah satunya Ynigo Ortiz de Retes juga pernah memberi nama “Ilhas dos Papuas’ sebagai nama yang berbeda untuk Papua sebagai daerah penginjilan yang akan dituju dua misionaris Jerman itu.
Dari narasi singkat sejarah yang berhasil dihimpun, diketahui nama Jemaat GKI Harapan Abepura atau dalam bahasa Belanda kata Harapan yang disebut ‘der Hoop’ diambil dari nama Gereja Harapan (Kerk der Hoop) yang mula-mula didirikan di Pulau Mansinam (Maokwari). Gereja Harapan ini merupakan gereja awal yang dirintis dua misionaris Jerman, C.W. Ottow dan J.G. Geissler beberapa waktu setelah tiba di Nieuw Guinea pada 5 Februari 1855.
Setelah misi penginjilan Zending Belanda yang dirintis dua misionaris Jerman itu mengalami perkembangan, misi penginjilan pun diperluas ke sejumlah wilayah Nieuw Guinea hingga mencapai wilayah Tabi dan akhirnya ke Holandia Binnen atau yang saat ini disebut Abepura. Sekitar tahun 1940-an wilayah Holandia Binnen lamban laun menjadi wilayah pusat pemerintahan Netherland Nieuw Guinea.
Di daerah Holandia Binnen ini pun dibangun sejumlah pusat pendidikan dan kesehatan oleh Pemerintah Belanda. Diantaranya, Lagere Administative School (LAS) yang berlokasi di Kotaraja Dalam, Sekolah Theologi I.S. Kijne di Abepura, Sekolah Pamong Praja yang berlokasi di Kampung Yoka dan Rumah Sakit Sentral Holandia Binnen Hospital di Abepura.
Meskipun misi Zending telah berhasil mencapai wilayah Holandia Binnen, namun upaya penyebaran injil secara luas ke beberapa wilayah sekitar masih menemui kendala. Hal ini disebabkan minimnya fasilitas gedung dan personil yang memadai untuk menunjang aktivitas pekarababaran injil. Karena kendala inilah, lahir kelompok kecil yang dibentuk untuk melayani, bersekutu, beribadah dan berdoa.

Persekutuan itu diberi nama ‘Ebenhaezer’ yang dalam Alkitab berarti ‘sampai disini Tuhan. Anggotanya terdiri dari beberapa suku seperti; orang Papua, Manado-Sangihe dan Maluku. Mereka yang tergabung dalam persekutuan ini merupakan para pegawai Pemerintahan Belanda dan masyarakat setempat.

Karena Holandia Binnen saat itu belum memiliki gedung gereja permanen sebagai tempat ibadah sehingga untuk beribadah harus dilakukan berpindah-pindah, maka perkumpulan Ebenhaezer lalu menjadikan sebuah bangunan eks peninggalan Pasukan Sekutu saat PD II sebagai tempat ibadah. Bangunan itu berlokasi di persimpangan Jalan Biak dan Jalan Sekolah Abepura sekarang.
Seiring dengan perkembangan waktu, lokasi tempat ibadah Jemaat Ebenhaezer ini kemudian berpindah ke bangunan eks barak tentara Amerika (Pasukan Sekutu) yang berlokasi dekat SD Negeri 3 Abepura. Tempat ibadah itu lalu berpindah lagi ke eks barak Pasukan Sekutu lain yang terletak di jalan Ayapo Wisma Salahuda Camp China sekarang. Perjalanan peribadatan Jemaat Ebenhaezer ini berlangsung dari tahun 1942 hingga 1952.
Ditengah perjalanan pekabaran injil Jemaat Ebenhaezer, maka pada tahun 1942 hadir jemaat kecil yang pertama kali dipimpin oleh seorang pendeta asal Ambon, yakni Pdt. A. Watimena. Dia menjadi pelayan jemaat pertama. Di tengah kondisi terbatasnya gedung gereja saat itu, pada tahun 1947 dilakukan peneguhan Sidi pertama di wilayah Holandia Binnen.
Akhirnya pada sekitar tahun 1951-1952, tercetus rencana untuk membangun sebuah gedung gereja yang kemudian diberinama dalam bahasa Belanda ‘Kerk der Hoop’ yang artinya ‘Gereja Harapan’. Lokasinya terletak di Jalan Biak, dekat Lingkaran Abepura sekarang. Nama ini diambil karena terinspirasi dari nama Jemaat Harapan sebagai mula-mula di pulau Mansinam.
Proses pembangunan Gereja Harapan Holandia Binnen saat itu dilakukan dengan dukungan para murid dari sekolah teknik rendah atau Lagerre Technic School (LTS) yang berlokasi di Kotaraja Dalam (sekarang SMA Diaspora) yang dipimpin tuan Henk Heinz.
Pembangunan gedung gereja tersebut berlangsung hingga tahun 1953 hingga akhirnya diresmikan tuan DR. Jan Van Baal selaku Gubernur Jenderal Netherland Nieuw Guinea saat itu. Sejak diresmikan, gereja ini berkapasitas 200 orang. Dari gereja inilah nasib dan masa depan pekerjaan pekabaran injil di tanah Nieuw Guinea akan ditentukan. Sebab gereja ini nantinya terpilih sebagai tempat penyelenggaraan Sidang Sinode Zending Pertama yang berlangsung dari tanggal 19-29 Oktober 1956.
Sidang Sinode Pertama itu kemudian menetapkan sejumlah keputusan penting diantaranya; ketetapan Gereja Kristen Injili (GKI) di Nieuw Guinea, tata gereja sebagai landasan hukum pelaksanaan gereja dan penetapan pemimpin gereja. Diputuskan juga perubahan nama dari Gereja Zending di Tanah Nieuw Guinea menjadi Gereja Kristen Injili (GKI) di Tanah Nieuw Guinea dan dipilih seorang pendeta putera Papua asal suku Biak yang bernama Pdt. F.J.S. Rumainum sebagai ketua sinode pertama untuk periode beberapa tahun.
Garis historis inilah yang menghantarkan Jemaat Harapan (Kerk de Hoop) yang juga disebut sebagai Jemaat Mama dalam menghadirkan 8 jemaat mandiri di sekitar wilayah Abepura. Misalnya Jemaat Sion Padang Bulan, Jemaat Pniel Kotaraja, Jemaat Filadelfia Abe Pantai, Jemaat Bukit Zaitun, Jemaat Diaspora Kota Raja Dalam, Jemaat Marthen Luther Kamkey, Jemaat Moses Kali Acai, Jemaat Kairos Kampung Tiba-Tiba, Jemaat Kanaan Koya Barat dan Jemaat Eklesia Arso Delapan.
Gereja ini pun sepanjang sejarahnya telah mengalami 19 kali periodesasi kemajelisan. Sebagai gereja pionir yang missioner, Jemaat GKI Harapan Abepura tidak hanya menghadirkan sejumlah jemaat mandiri, tapi juga telah melahirkan para pemimpin gereja, pemimpin pemerintahan dan pemimpin organisasi lainnya.
Dalam periode sejarahnya hingga saat ini, Jemaat GKI Harapan Abepura terus mengembangkan pelayanan yang terdiri dari pos pelayanan RSUD Abepura, pos pelayanan kilo meter 9 Kampung Nafri dan pos pelayanan Jemaat Emaus yang berlokasi Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Abepura.

𝗦𝗘𝗝𝗔𝗥𝗔𝗛 “𝗟𝗔𝗛𝗜𝗥𝗡𝗬𝗔 𝗘𝗩𝗔𝗡𝗚𝗘𝗟𝗜𝗦𝗖𝗛 𝗖𝗛𝗥𝗜𝗧𝗘𝗟𝗜𝗝𝗞𝗘 𝗞𝗘𝗥𝗞 𝗗𝗜 𝗞𝗘𝗥𝗞 𝗗𝗘𝗥 𝗛𝗢𝗢𝗣, 𝗛𝗢𝗟𝗟𝗔𝗡𝗗𝗜𝗔 𝗕𝗜𝗡𝗘𝗡 𝟭𝟵𝟱𝟲”

 

Gedung Gereja Harapan, Abepura, Kota Jayapura.

Pendahuluan

Pekerjaan Pekabaran Injil di Nieuw Guinea dimulai dari pulau Mansinam, ketika Ottow dan Geissler tiba pada 5 Februari 1855, dengan memanjatkan doa sulung yang berbunyi:”Dengan Nama TUHAN Kami Menginjak Tanah Ini”. Meterai doa ini menjadi dasar pekerjaan para untusan Zending dalam pemberitaan Injil, diseluruh pelosok tanah Papua. Dari “Kerk der Hoop” di Mansinam (1864), Perahu Injil itu bergerak menyusuri pesisir pantai Utara menuju Yende-Roon (1883), Windesi (1889) Maudori, Numfor (1908), Sowek, Korido (1909), dan Tanah Tabi 1910, Biak (1911). Dalam periode 1855-1940/41, pekerjaan Zending menunjukan kemajuan yang cukup pesat, dengan membangun sejumlah pos pelayanan dan sekolah yang berbasis jemaat ditiap kampung di wilayah bagian Utara Tanah Nieuw Guinea dan beberapa daerah di Selatan dan Pegunungan Tengah, khususnya di Wissel Meren, Yali dan Anggruk.

Untuk wilayah Hollandia, Zending UZV sudah menaruh perhatian terhadap kehidupan orang-orang di daerah Hollandia, khususnya masyarakat Tobati, Enggros dan Nafri sudah sejak 1862, namun tidak secara langsung UZV mengirim seorang utusanya di wilayah Tabi, nanti di tahun 1893, G.L.Bink tiba di Teluk Yos Sudarso dan tinggal selam 3 bulan untuk melakukan pencatatan tata bahasa Yotefa. Minat terhadap guru baru disampaikan kepada UZV pada tahun 1908, setelah Zendeling F.J. F. van Hasselt, mengunjungi Teluk Yotefa tahun 1897. Proses pekerjaan Zending baru dimulai dua tahun kemudian yakni pada tahun 1910 di Pulau Metudebi, Kampung Tabati-Enggros.

Jemaat Harapan Abepura, merupakan jemaat kotawi pertama di Hollandia Binnen yang lahir dari buah pelayanan Zending di Nieuw Guinea. Jemaat ini baru dibentuk sekitar tahun 1943 ketika daerah Hollandia dan sekitarnya berada dalam masa-masa akhir PD II. Pelayan jemaat pertama yang melayani persekutun Ebenhaezer tersebut adalah Pdt. W. Watimena, (1943-1949) dibantu dua orang Majelis yaitu, Penatua D. Lanoh dan Penatua P. Watebosi. Buah pelayanan dari persekutuan ini adalah terlaksananya peneguhan Sidi Jemaat Pertama sebagai jemaat inti, yang berlangsung pada bulan Maret 1947. 

Pada Periode 1949-1953, pelayanan yang melayani dalam persekutuan jemaat Ebenhazer adalah Guru Jemaat; Grj. J. B. Jonathan dan Grj. T. Janis, dan pada bulan Maret 1949, diadakan peneguhan Majelis Jemaat periode kedua berjumlah 5 orang, antara lain; Penatua D.Lanoh, Penatua P.Watebosi, Penatua F. Kubuan, Penatua E. Mantundoy dan Penatua D. Akwan. Persekutuan Jemaat Ebenhaezer ini terus menjalankan peribadahan dengan berpindah-pindah tempat dan antara tahun 1947-1952, jemaat ini menggunakan wisma Salapuda, sebagai tempat ibadah sambil mencari lokasi untuk pembangunan gedung gereja yang permanen.

Pergumulan untuk memperoleh lokasi tanah guna pembangunan gedung gereja permanen mendapat hasil positif, ketika itu (sekitar tahun 1950-an terjadi komunikasi antara badan pelayan Jemaat dengan para Ondoafi dan Ondofolo Yoka) mendapat respons positif maka lokasi di jalan teluk Etna menjadi tempat pembangunan Gedung Gereja, tanah tersebut diberikan oleh Ondofolo Mesak K. Mebri, maka antara tahun 1952-1953 proses pembangunan gedung gereja pertama berlangsung dan dikerjakan oleh siswa LTS dibawah pimpinan Henk Heynes, di rampungkan antara bulan Januari-Februari, sehingga pada awal bulan baru tepatnya tanggal, 3 Maret 1953 gedung gereja tersebut diresmikan dan persekutuan Jemaat Ebenhaezer berganti nama menjadi “Kerk der Hoop” (Gereja Harapan). Setelah gereja permanen ini dibangun dan dapat digunakan sebagai tempat peribadahan tetap, pelayan jemaat yang melayani adalah Pdt. H. Morimuzendi sebagai pelayan tetap yang pertama, sedangkan susunan Majelis Jemaat masih tetap 5 orang. Buah pelayanan dari majelis periode ketiga ini, pada pada tanggal, 12 Desember 1954 berlangsung peneguhan anggota sidi baru yang kedua berjumlah 72 dalam gereja Kerk der Hoop.

Dengan berdirinya Gedung gereja “Kerk der Hoop” dan adanya pelayan tetap dan majelis maka Gereja ini ditetapkan sebagai tempat pelaksanaan Sidang Sinode Pertama, hasil konfrensi Proto Sinode 1954 di Serui. Maka pada pada tanggal, 18-29 Oktober 1956, di Gedung Gereja Kerk de Hoop di Hollandia Binnen dilaksanakan Pesta Iman Sidang Umum Sinode Zending yang dikenal dengan Sidang Sinode Pertama untuk menggumuli pekerjaan besar yang sudah ada, dalam sebuah lembaga Gereja yang Sah, maka pada tanggal, 26 Oktober 1956 dalam Sidang Sinode Pertama, lahirlah: “Evangelisch Chritelijke Kerk” atau Lembaga Gereja Kristen Injili di Nieuw Guinea.

Kilas Sejarah: Karya dan Kerja Zending di Nieuw Guinea

Pekerjaan Zending di Tanah Papua (Nieuw Guinea ) terbagi dalam periode-periode yang berhubungan erat dengan karakter dari para pekerja di daerah-daerah dimana para Zending bekerja, dan semuanya berada dalam satu organisasi yang mengorganisirnya. Para utusan Zending telah bekerja selama 101 tahun, pada resort-resort yang telah dibuka diseluruh Tanah Papua, dalam kurung waktu 1855-1956. Karya dan kerja para Zending ini telah dirangkum dalam tiga aspek dan membagi pekerjaan Zending ini dalam empat (4) periode.

Periode Pertama ( 1e Periode ) 1855-1880 (25 Tahun)

Suatu perserikatan ,,pekerja Kristen,, (De Christen Werkman), dimana untuk pertama kali mengirim Ottow dan Geissler, melangsungkan pengalaman selama 21/2 tahun dan tiba pada tangal, 5 februari 1855 di Mansinam di Teluk Doreh dangan menginjakan kaki di atas pulau itu. Dalam tahun 1862, datang dua (2) orang Zendeling masing-masing J.L.Van Hasselt dan Otterspoor. Kedua orang Zendeling ini adalah utusan pertama dari U.Z.V (Utrechtse Zendlings Vereniging) atau perhimpunan pekabaran Injil di Utrecht dengan tibanya kedua Zendeling ini, maka pada tahun-tahun berikutnya mereka merangkul semua pekerjaan Zending di tangan mereka dan mengerjakannya.

Orang mulai bekerja di Mansinam dan Kwawi di Teluk Doreh, tetapi perjalanan mereka belum sampai di Roon dan Meoswar yang terletak di sebelah Selatan Teluk Cenderawasih, karena perjalanan pada hari-hari itu sangat riskan. Dalam 1866, Post Zendeling ketiga di Andai di buka, terletak di bawah kaki pegunungan Arfak. Dibukanya Post Zendeling di Manukwari pada tahun 1872 dan post ini ditempati oleh Zendeling Bink, di post Zendeling ini, Bink bekerja selama 12 tahun dan pada tahun 1884, Ia berpindah ke pulau Roon. Para Zendeling Eropa ini tinggal Papua, mengkonsentrasikan diri untuk pekerjaan itu dan mereka juga meminjam tenaga medis untuk dikerjakan disitu membantu para Zending dibidang kesehatan. 

Pada tahun 1857, Zending membuka sekolah-sekolah kecil, dimana didalamnya yang mengajar dan memberikan mata pelajaran kepada para siswa adalah nyonya-nyonya dari para Zendeling. Pada tahun 1865 datanglah seorang pekerja pembantu dari suku Jawa asal Depok, dan pada tahun 1870 datanglah seorang dari Sangir yang mempunyai keahlian dalam pemeliharan kapal-kapal yang rusak dapat diperbaiki, dia bekerja bersama para Zendeling ini sehingga pada akhirnya ia diutus sebagai pembawa berita khabar baik ke daerah pengunungan.

Dalam tahun 1865 dilaksanakan pembaptisan pertama terhadap dua (2) orang perempuan bekas budak asal daerah Karon yang diselamatkan oleh Zendeling Call Wilhelm Ottow dan Johann Gottlob Geissler. Pada tahun yang sama dibangunnya sebuah gedung gereja di pulau Mansinam dengan diberi nama : Gereja Harapan (Kerk der Hope). Dalam tahun 1864 terjadilah satu gempa bumi yang sangat dahsyat melanda, Teluk Doreh, Pulau Mansinam. Gempa bumi yang dahsyat ini juga mengakibatkan air pasang diteluk Doreh yang tinggi. Setelah gempa bumi yang melanda daerah itu, Zendeling Ottow mengalami sakit dan terpaksa harus meninggalkan Nieuw Guinea (Tanah Papua). Hanya Geissler yang tinggal sendiri dan alat komunikasi yang biasanya menghubungi pulau Jawa juga tidak berfungsi lagi dan juga kapal layar penghubung antar pulau dan pesisir pantai juga rusak.

Zendeling Geissler bekerja di Mansinam dan Kwawi sejak 1855-1870 dengan mengalami berbagai hal, baik yang menyenangkan maupun yang penuh tantangan. Peperangan /hongi antara satu suku, dengan suku yang lain terus berlangsung. Pelayaran dalam pekabaran Injil dalam Teluk Cenderawasih sangat berbahaya karena penuh dengan bajak lauk dan hal ini merupakan suatu tantangan yang berat dalam pemberitaan Injil Tuhan di kawasan itu dan sekitarnya. Dalam kurung waktu tersebut datanglah tenaga bantuan dari negeri Belanda di bidang pertanian, yaitu Tn. Kamps, dan di tempatkan di pulau Meoswar dan cukup sukses dan pada akhirnya juga dia diberangkatkan ke daerah Andai untuk membuka lahan untuk padi ladang dan cukup sukses. Selama 5 (lima) tahun, Kamps bekerja di Andai membantu penduduk di situ namun pada akhirnya belian sakit dan meninggal jasatnya di makam di Andai karena komunikasi pada waktu itu sangat sulit untuk diberangkatan ke Belanda.

Berbagai kesakitan dan epidemic melanda kehidupan para Zendeling dalam tahun 1861 menyeranglah epidemin Bangka babi (pokkenepidemie), tahun 1871 menyeranglah penyakit dysenterie (dysenterie-explosie ). Dalam mengakhiri periode I, yang berjangka 25 tahun terdapat banyak sekali jumlah anggota keluarga dari pada Zendeling yang meninggal dunia karena berbagai macam penyakit dan epidemic yang melanda daerah pekebaran Injil itu. Hal ini tidak hanya terjadi buat para Zendeling dengan keluarganya, tetapi juga kepada penduduk setempat yang telah diselamatkan dan yang sudah dibaptiskan.

Periode ke 2 ( 2e Periode ) 1880-1905, (25 Tahun )

Pada periode ke-2, masih banyak hal yang harus dikerjakan oleh para Zendeling di Manokwari dan daerah sekitarnya, dengan berpindahnya beberapa Zendeling ke Teluk Wondama (Wondamen baai) yaitu; Roon dan Windesi. Para Zendeling memandang bahwa salah satu masalah terpenting adalah Pendidikan bagi orang Papua, berkaitan dengan itu, tibanya nyonya van Balen dan nyonya van Hasselt Jr, sangat membantu pekerjaan para Zendeling. 

Ketika tahun 1890 kapal K.P.M (KoningKlijke Paketvaart Maatschappy (kapal perusahan pelayaran kerajaan Belanda), membuka jalur pelayaran laut dan tiba di Nieuw Guinea (Tanah Papua), K.P.M menjadi sarana transportasi yang sangat membantu mengkomunikasikan antara daerah pulau-pulau, persisir dan tanah besar. Sehingga dapat mempermudah pekerjaan Zending, maka dikirimlah dua orang pelajar asal Papua ke sekolah pendidikan guru atau SGA (Kweek School) di Depok (Jawa Barat), kedua orang tersebut adalah ; Petrus Kafiar dan Timotius Awendu(10). Dalam waktu yang sama tibalah juga para penolong (helpers) atau para guru-guru dari Ambon dan Sangir untuk mengabdi bersama para Zendeling. K.P.M, juga melanjutkan misi pelayaran ini hingga tiba di Teluk Hoembolt (pada tahun 1892 dan 1893) dan menjalin kontak dengan baik, sehingga dikemudian hari pekerjaan pekebaran Injil terus mengalami perkembangan.

Kehadiran pemerintah pada tahun 1898 yang berkedudukan di dua tempat yaitu: Manokwari dan Fak-fak, membuka tempat yang tidak dikenal dan tidak aman menjadi aman. Pemerintah dapat bekerja dengan aman karena para Zendeling telah menjalankan misinya mendahului pemerintah, dimana penduduk setempat telah bekerja bersama-sama dengan para Zendeling dalam membawah dan menyebarluaskan kabar baik yang dibawah oleh Zendeling itu di daerah mereka. 

Periode ini dinilai oleh para Zendeling berjalan baik dari pada periode pertama, 25 tahun yang lewat. Hal ini diharapkan untuk mempersiapkan segala sesuatu mengangkat misi pelayanan para Zendeling memasuki 50 tahun pekerjaan Zendeling di Nieuw Guinea (di Tanah Papua). Sudah ada 5 post Zendeling: Manokwari, Kwawi, Andai, Roon dan Windesi. Orang Papua yang menjadi Kristen pada waktu itu berjumlah 260 orang, dan kebanyakan dari meraka berdiam di Mansinam. Dalam usia 50 tahun Zendeling di Nieuw Guinea, para Zendeling yang bekerja berjumlah 23 orang bersama-sama dengan masing-masing isteri (Nyonya mereka), dan jumlah yang meninggal dunia adalah 10 orang, di makamkan di post-post pelayanannya di Nieuw Guinea (Tanah papua), dan 9 orang pekerja Zending yang kembali ke tanah asal mereka, kebanyakan karena wabah penyakit yang merupakan epidemik yang melanda daerah pekebaran Injil Tuhan di Nieuw Guinea.

Periode ke-3: 1906-1940, (34 Tahun)

Periode ketiga merupakan tahap ekspansi besar-besaran didalam pergantian masa kerja. Terletak pada suatu titik balik yang besar, terjadi di Roon dan dengan suatu kekuatan yang dahsyat dalam memperluas pekerjaan Zendeling di Nieuw Guinea. Dengan hadirnya kedua utusan Zending yaitu; D.B. Starrenberg (1907) di Roon dan F.J.F. van Hasselt (1924) di Mansinam, dimana terwujudnya hasil pekerjaan pertama yang terpenting dapat dipetik dari hasil pekerjaan yang panjang bertahun-tahun di Nieuw Guinea. Penyebaran pekerjaan Zendeling diikuti oleh suatu tempo yang cepat dalam tahun 1908-1909, Supiori-Maudori, Korido, Sowek dan Biak di jangkau dan diduduki, tahun 1910 bagian Utara–Timur Nieuw Guinea dijangkau dan diduduki, pada tahun 1911 West Nieuw Guinea, Vogel Kop (Kepala Burung) dan Raja Ampat pada tahun 1913.

Satu institusi pendidikan pada saat itu belum ada dan juga hal yang sangat berat adalah tidak ada biaya untuk mengirim anak-anak untuk bersekolah di daerah lain diluar Nieuw Guinea. Atas dasar kondisi itu, maka pada tahun 1918 di Mansinam dibukalah sebuah sekolah pendidikan guru yang pertama (Eerste Kweekschool) bagi calon-calon guru dan para penginjil sebagai (voorgangers) atau perintis. Tahun 1923, sekolah ini ditangani dan dikelolah oleh Ds. I.S.Kijne, dan pada tahun 1924, lembaga pendidikan pertama ini dipindahkan ke Miei.

Berikut ini adalah suatu perkembangan dari dunia pendidikan, dimana mengalir suatu arus bantuan tenaga guru (pendidik) dari Ambon (Maluku) dan Sangir, namun pada kemudian hari arus bantuan pendidikan ini dikurangi setelah Zending mendirikan sekolah yang menyiapkan sumber daya manusia (tenaga) pengajar dan pendidik sendiri, sehingga akhirnya menghentikan bantuan tenaga pengajar dan pendidik. Para Zending juga membuka sekolah tukang dan kursus jahit-menjahit untuk anak-anak perempuan. Dan ini merupakan pengetahuan rangkap yang disiapkan oleh Zendeling kepada pengajar dan pendidik orang asli Papua. Sejak tahun 1908 Pulau Yapen dimasuki oleh para Zendeling dan tahun 1924 Post Zending dibangun disana. Pada saat itu juga rencana pembukaan lahan untuk penanaman bibit kopi di daerah Ambaidiru oleh Ds. Boat.

Tahun 1922 para Zendeling memasuki pulau Wakde dan kemudian ke Sarmi dan berikutnya pada tahun 1924 di Genyem. Tahun 1930 daerah Fak-Fak dijangkau dan dimasuki oleh Gereja Protestan Maluku. Sedangkan di tahun 1933 pekerjaan Zending di Sorong berjalan sendiri. Dibuka pula poliklinik untuk melayani masyarakat yang sakit setiap pagi, dan para nyora (istri zending) menerima dan memelihara anak-anak kecil, yang disebut; pleegkinderen “anak piara”. Mereka juga memperhatikan kesehatan dari para calon guru dan istri-istri mereka. Keadaan pelayanan kesehatan ini lebih terwujud dijalankan ketika tiba dari negeri Belanda seorang suster bernama M. Glastra di Serui, tahun 1931, dan setahun kemudian (1932) tibalah seorang Dokter Zending yang pertama bernama Bierdrager, dari negeri Belanda.

Pada periode ketiga ini, satu hal yang sangat sulit dihadapi para Zendeling adalah angkutan laut dan alat komunikasi ke resort-ressort untuk mengetahui dan mengontrol pekerjaan dari para Zending yang bertanggungjawab di pos-pos. Pergumulan ini terjawab ketika akhir dari periode ke-3, para Zending memiliki 6 buah motor boot, sebagai sarana transportasi. Setelah perang dunia ke-2 dibebaskan sejumlah Zendeling Eropa yang disebut dalam pelayan-pelayan firman Tuhan dan bersama dengan mereka disiapkan juga satu kekuatan dari sejumlah tenaga pribumi (inheemse) sebagai rekan kerja dalam pekerjaan zendeling di Nieuw Guinea.

Periode ke-4: 1940-1956 (16 Tahun)

Periode ke-4 merupakan periode menuju kepada pembangunan gereja yang berdiri sendiri. Setelah meninggalkan suatu peristiwa dahsyat yang mengejutkan yaitu Perang Dunia II (PD-II), dimana baik orang pribumi maupun belasan Zendeling Eropa menjadi korban ketika itu, sehingga pada tahun 1946 untuk kelanjutan pekerjaan itu mereka duduk bersama memikirkan dan menetapkan suatu gereja Tuhan yang mandiri sendiri, dengan nama “Evangelisch Christelijke Kerk” (Gereja Kristen Injili) atau The Evangelical Christian Church.

Sejumlah Zendeling tetap bersikap merendah pada waktu itu, satu orang pelajar Papua dikirim ke Sekolah Theologia Menengah (Middelbare Theologische School) di Soe (Timor) dan pelajar tersebut adalah Ds. F.J.S. Rumainum, yang saat itu menjadi pelayan jemaat di Resort Biak-Numfor. Setelah PD-II dibukalah sekolah-sekolah sambung bagi perempuan dan laki-laki (anak-anak gadis dan anak-anak putera), (vervolgscholen voor meisjes en jongens) dari kedua jenis sekolah ini yang menamatkan siswa akan melanjutkan ke sekolah pendidikan bagi guru sekolah kampung (opleiding scholen voor dorps-onderwijzers) (OVVO) selama 2 tahun, pada tahun 1958 berubah nama menjadi ODO (Opleiding Scholen voor Dorps Onderwijzers), 3 tahun. Setelah itu siswa yang berprestasi akan melanjutkan pendidikan ke Kweekschool (sekolah pendidikan guru) dan pendidikan bagi guru jemaat di Serui yang diberinama RAZ (Rotenelansen Aen Zee) lamanya pendidikan 9 bulan. 

Siswa lulusan dari Meisjes Vervolgschool dan Jongens Vervolgschool) dapat melanjutkan pendidikannya ke (het medisch personel in de gouvernements ziekenhuizen) rumah-rumah sakit milik pemerintah. Tamatannya menjadi perawat-perawat dan juga sebagai assiten Dokter. Semua mereka ini dibawa didikan dan bimbingan para tenaga dari Eropa (Islandia dan Swiss) dan yang sudah disiapkan oleh Zendeling di Oegstgeest, namun tidak mempengaruhi kepemimpinan Gereja Kristen Injil.

Persekutuan gereja Babtis Meconit Belanda (De Doopsgezinde Vereniging tot Evangelisatieverbreidingnam ca), pada tahun 1950 membuka post pertamanya di Resort Inanwatan dengan berkerja sendiri dengan harapan akan suatu masa depan untuk mencapai Gereja yang mandiri. Pada tahun 1954 lahirlah Proto Sinode dari Gereja Kristen Injili di Nieuw Guinea di Serui. Pada kesempatan itu disetujui untuk dibukanya sebuah sekolah Theologia yang pertama di Serui (Eerte Middelbare Theologische School), dimana ada 40-an anak Papua dididik menjadi calon pendeta.

Berikut ini nama-nama Resort yang telah disiapkan apabila kedepan Gereja Kristen Injili akan berdiri sendiri (21).;

Resort Hollandia-Nimboran

Resort Sarmi

Resort Japen-Waropen

Resort Miei

Resort Manokwari

Resort Biak-Numfor

Resort Sorong

Resort Inanwaan

Resort Teminabuan, Ayamaru

Resort Merauke, Fak-Fak (untuk waktu yang akan datang).

Pekerjaan Gereja Protestan Maluku yang bekerja di Merauke dan Fak-Fak, sebagaimana juga seperti yang bekerja di pusat pemboran minyak di Sorong dibawah keluar dengan nama Sinode dari Gereja Protestan Maluku (GPM). Dengan suatu perbedaan setelah perang, tibalah Badan Sinode lain dari Amerika dan Australia dalam satu konfrensi missionary untuk membentuk suatu persekutuan dan mempunyai kepentingan untuk melayani. Dari resort-resort tersebut di atas, suatu hal yang menjadi tugas utama mereka adalah membetulkan daerah pelayanan dan sekitarnya dimana telah tiba (datang) ratusan pekerja Zendeling yang bekerja di Nieuw Guinea.

Disini terdapat satu maksud dan tujuan, bahwa pada bulan oktober 1956 lahirlah Gereja Tuhan dengan nama “Christelijke Kerk” yang akan berdiri sendiri. Gereja ini akan menghimpun semua orang (umat Tuhan) Kristen Protestan di seluruh Nieuw Guinea dan yang hidup dalam damai dan sukacita. Jemaat-jemaat berbahasa Belanda yang berada di kota-kota, seperti; Merauke, Fak-Fak, Sorong, Manokwari, Biak, Serui dan Hollandia dan sekitarnya akan bekerja keras membantu pertumbuhan resort-resort dan klasis-klasis. Para pekerja Zendeling yang berbahasa Belanda yang berasal dari Nederlands Hervormende Kerk mempunyai satu ikatan organisasi gereja yang diberinama “Contactgroep”.

Badan Zending di Nieuw Guinea, telah membentuk resort-resort di daerah-daerah pelayanan Zending. Tiap resort dikepalai oleh seorang pendeta Zending. Tiap tahun ketua Zending yang berkedudukan di Kwawi (Manokwari), mengumpulkan semua pendeta dan pekerja Zending dari tiap resort dalam konfrensi atau persidangan, guna membahas segala hal yang menyangkut pekerjaan Zending. Hal-hal yang menjadi pembahasan pokok dalam setiap persidangan adalah pekerjaan pekabaran injil, persekolahan/ pendidikan, kesehatan/ pengobatan, keuangan dan pembangunan, dipikirkan dan dibahas secara bersama-sama melalui musyawarah.

Badan Zending yang memegang pekerjaan di Nieuw Guinea, berkedudukan di kota Utrecht- Belanda, dengan nama; Utrechtse Zending Vereniging (UZV), setelah perang dunia II usai, badan-badan Zending dikumpulkan dalam satu badan yang disebut; Zending der Nederlandse Hervormde Kerk (ZNHK), yang menggabungkan Zending-zending dari gereja Hervormd Belanda dan yang bekerja di Indonesia melalui Dewan Zending Oegstgeest, tahun 1951. Adapun nama-nama ketua Zending yang bertugas di Nieuw Guinea adalah; Pendeta J.L. van Hasselt, (1863-1907), dan digantikan oleh putranya pendeta F.J.F. van Hasselt, Jr yang memulai kerja tahun 1894 dan pensiun tahun 1931. Kemudian digantikan oleh Pdt. D.B. Starrenburg, tahun 907-1924, setelah pensiun digantikan oleh Pendeta J. Wetstein, periode 1924-1942. 

Pada periode 1942-1945 yang merupakan masa ujian bagi pekerjaan Zending di Nieuw Guinea, saat itu dipimpin oleh I.S. Kijne, (1948-1953), dan dilanjutkan oleh Pdt. R.G. ten Kate, (1953-1955) yang bekerja sementara hingga tiba Dr. F.C. Kamma, menggantikannya sebagai ketua Zending pada periode 1945-1956. Pada periode inilah pergumulan untuk membentuk Lembaga Gereja Kristen Injili di Nieuw Guinea dipersiapkan. Peta :

Pekerjaan Zending di Pulau Nieuw Guinea Barat dan Nieuw Guinea Timur

Proto Sinode dan Sidang Sinode Umum Zending Di Nieuw Guinea.

Menuju Sidang Sinode Umum Zending di Hollandia 1956, berlangsunglah sebuah konfrensi Zending di Serui, 1954, sebagai agenda persiapan, atau yang dikenal dengan Sinode Persiapan/Proto Sinode. Maka penulisan ini akan mendeskripsikan proses konfrensi Sinode Persiapan di Serui. Dan proses pelaksanaan Sidang Sinode Umum di Hollandia Binnen, tahun 1956 Sinode Persiapan (Proto Sinode) 13-24 September 1954 di Serui.

Pembentukkan Bakal Gereja Kristen Injili di Nieuw Guinea, diawali dengan dilaksanakannya konfrensi Zending di yang disebut dengan proto sinode (sinode persediaan), pada 13-24 September 1954 di Serui. Para pendeta-pendeta dan guru jemaat yang hadir sebagai peserta konfrensi antara lain (25) :

Resor Hollandia/Nimboran: Pdt. R.G. ten Kate S.H. Ketua Lapangan Zending Irian Barat. : Pdt. A.M. Middag. Pdt. S. Liborang; Pdt. Mori Muzendi.

Resor Sarmi ; Gr. Djem Hoor; Gr. Djem Awes.

Resor Japen/Waropen: Pdt. G.J. Clay; Pdt. M.Abaa; Pdt. F. Huwae

Resor Biak/Numfor; Pdt. F.J.S. Rumainum, RSB (PSW) Brinkman, Pdt. Tenlima, Penatua A. Krey.

Resor Miei : Pdt. H. van Arkel, Pdt. Warisjo

Resor Manokwari : Pdt. O. Ewoldt, Gr. Djem G. Rumaropen

Resor Sorong ; Pdt. H.L. Osok, Penatua Kaihatu

Resor Teminabuan ; Pdt. H. E. R. Marcus dan Nyonya, Gr. Djem. R. Rumbiak

Resor Inanwatan ; Pdt. Messie, Pdt. Wattimuri

Urusan Umum Persekolahan Kristen ; N. Vam der Stoep

Sekolah Teologia : Pdt. J.P. Kabel

Persekolahan : Gr. P. Bothoff, Nona Gr. Huis in het Veld

Abepura (Kota Baru Dalam) : Pdt. J. Sierat; Pen. N. van der Stop

Utusan Zending : Dokter Evenhuis

Kesehatan : Suster Land

Pertanian : Gr. J.J. Jansen

Penasihat-Penasihat ; Dr. G.P.H. Locher Utusan DPNH; Pdt. J. Drost Abepura; Pen. Den Dulk Djem. Belanda. Pimpinan Synode: Pdt. R.G. ten Kate, S.H (Ketua), Pdt. A.M. Middag (Sekretaris 1), Pdt. J. Tenlima (Sekretaris 2) Dr. G.P. P.H. Locher (Penasehat)

Tamu-Tamu : Tuan Mellis M.A.F, Rev. Veldhuis U.F.M, Rev. Gesswein R.B.M.U, Rev. Levestrand-TEAM, Pdt. E. Gijsbers (Wakil GPM)

Agenda pertemuan dalam konfrensi tersebut di atas adalah membahas persiapan pembentukkan organisasi Gereja Kristen Injili Di Nieuw Guinea, kelengkapan organisasi yang disebut Tata Gereja, yang terbagi kedalam enam bab, antara lain: Iktisar Tata Gereja GKI Di Nieuw Guinea.

Bab I. Pasal 1. Pengakuan; Pasal 2. Amanat; Pasal 3. Tata; Pasal 4. Tugas-Tugas Pendeta; Pasal 5. Tugas-Tugas Guru Djemaat; Pasal 6. Tugas-Tugas Penginjil; Pasal 7. Tugas-Tugas Penatua/ti; Pasal 8. Tugas-tugas Syamaset/et; Pasal. 9. Susunan Organisasi

Bab II. 1. Tentang Djemaat; 

Bab III. 2. Tentang Klasis; 

Bab IV. 3. Tentang Resor 

Bab V.4. Tentang Gereja; 

Bab VI. Usulan-usulan Perubahan, dsb.

Peraturan Klasis Berbahasa Belanda, Peraturan Pemilihan; a. Anggota Majelis, Anggota Sidang Klasis, Anggota Synode Resor, Anggota Synode Umum, Peraturan Keuangan, Keuangan Jemaat, Keuangan Klasis, Keuangan : 1. Resor, 2. Dana Lektur (Toko Buku), Synode Umum, b. Anggaran, c. Perhitungan dan Penyahutan

Setelah konfrensi Sinode Persediaan di Serui selesai, 24 September 1954, ditetapkanlah waktu pelaksanaan Sidang Sinode Umum yang pertama untuk memutuskan berdirinya lembaga Gereja Kristen Injili di Nieuw Guinea.

Pelaksanaan Sidang Sinode Umum Pertama, 18-29 Oktober 1956 di Hollandia Binnen

Pesta Iman menuju Gereja yang mandiri telah tiba. Kamma menyebutnya, Ajaib di Mata Kita, Ketika Tertentu. Setelah melewati masa ujian diawal-awal perjumpaan Zending dengan kehidupan manusia Papua serta pada waktu perang dunia kedua memporakporandakan pekerjaan Zending di Nieuw Guinea. Pada tanggal, 18-29 Oktober 1956, berlangsunglah pesta Iman yaitu Sidang Sinode Umum Pertama di Hollandia Binnen di gedung “Kerk der Hope” (sekarang GKI Harapan Abepura).

Deskripsi selanjutnya adalah prosesi pelaksanaan Sidang Sinode Umum pertama di Kerk der Hope Hollandia Binnen, 18-29 Oktober 1956. Namun dalam deskripsi ini penulis hanya menceritakan awal pembukaan Sidang Sinode Umum, yang berlangsung pada tanggal, 18 Oktober 1956.

Hari Pertama Sidang Sinode Umum Zending, telah dimulai 18 Oktober 1956. Proses Registrasi Peserta yang di undang oleh Dr. F.C. Kamma, adalah utusan-utusan dari tiap resort dan tamu berdatangan mendaftarkan namanya ada meja penerima tamu. Proses registrasi pesertapun berlangsung, utusan-utusan dari tiap resort dan tamu-undangan mendaftarkan diri, dimulai dari; Resort Hollandia-Nimboran; Pendeta A.Middag., Pendeta S. Liborang., Pdt. H. Morimuzendi. Resort Sarmi; Pendeta D.J. Baars., Guru Jemaat P.Joku. Resort Biak-Numfor; Pendeta F.J.S. Rumainum., Pendeta J. Mandowen., Pendeta J. Tenlima., Penatua A. Krey. Resort Japen-Waropen; Pendeta.H. J. de Ridder., Pendetat. M. Abaa.,Pdt. F.Huwae., Pdt. D. Auparay. Resort Miei; Pendeta Worisjo., Guru Jemaat. N. Manuputtij. Rsort Manokwari; Pendeta B. Burwos., Pendeta M. Jewun. Resort Sorong; Pendeta E. Osok., Pendeta J. Fonanlaber., Pendeta R. Rumsaur., Guru Jemaat T.A. Omkarsba. Resort Teminabuan; Pendeta J. S. Titaheruw., Pendeta. R.E. H. Marcus. Resort Inanwatan; Pendeta E. Wattimurij., Pendeta L. Parinussa.

Utusan dari klasis berbahasa Belanda; Pendeta E. Gijsbers. Dari Sekolah Theologia; Ds. I.S. Kijne. Hadir sebagai penasehat-penasehat; Tuan. P. de Bruin (pemimpin persekolahan)., Pendeta E. Durkstra., Pendeta J.P. Kabel. Sebagai tamu undangan hadir; Pendeta E. Gijsbers (G.P.M. Fak-Fak., Pendeta B. Lokolo (G.P.M. Sorong)., Penatua M.Kabes, Jemaat Fak-Fak Kota., Penatua A. Namsau, Jemaat PAM/Kooi/Kaimana. Penatua J. Mahuse Jemaat Merauke., Pendeta Dr.G. P.H. Locher (Badan pemimpi Zeding) dan Pendeta Dr. A.G. ten Kate (Manokwari). Ketua Panitia, Dr. F.C. Kamma.

Pagi hari yang cerah pada 18 Oktober 1956, waktu menunjukan pukul 10.30, bertempat di gereja pusat Kerk der Hope di Hollandia Binnen, Sidang Sinode Umum Zending di Nieuw Guinea dibuka, dipimpin oleh ketua Pendeta Dr. F.C. Kamma dengan menyanyi Nyanyian Rohani 167: 1 “Di Atas Satu Alas”, sambil berdiri disusul dengan pembacaan Alkitab Efesus 3 : 12-21. Inti pokok dari bacaan ini dititik beratkan pada permulaan “Pekabaran Injil di Tanah Nederlands Nieuw Guinea dengan banyak air mata tetapi lutut yang terlipat memohon pimpinan Allah. Dengan yang mana ditabur dengan sukar dan putus harap, tetapi jalan Tuhan itu rahasia dan ajaib. Dimana pada hari ini kami dapat mulaikan Synode Umum yang pertama dari Gereja Kristen Injili di Nederlands Nieuw Guinea”. Dalam hal ini anggota-anggota Synode diajak supaya tetap beriman dan bekerja dengan setia menurut panggilan dalam suasana yang sukar ini.

Kemudian persidangan didoakan dengan pengucapan syukur dan memohon pimpinan dan bantuan Tuhan dalam persidangan dan dalam Gereja muda yang berdiri sendiri ini. Sesudah itu menyanji Nyanyian Rohani 167 : 3 & 5 sambil berdiri.

Ketua mengucapkan selamat datang kepada para hadirin dan terutama kepada saudara Dr. Locher yang selaku utusan dari Dewan Gereja Hervormd dan utusan dari Gereja Gereformeerd, G.P.M dan Doopsgezind. Sebelum persidangan dilanjutkan maka kepada para utusan dibagi-bagikan acara persidangan agar diketahui bagaimana jalannya persidangan selanjutnya. Lalu nama utusan-utusan dari semua resort diserahkan kepada panitia yang terdiri dari saudara Liborang, Ten Kate dan Abaa, akan memeriksa hadir-tidaknya utusan-utusan supaya dimaklumkan dan disahkan oleh persidangan sebagai yang merupakan Badan Synode yang pertama dari Gereja Kristen Injili di Nederlands Nieuw Guinea. Demikian Badan Synode merupakan utusan-utusan resort-resort, tamu undangan yang telah disebutkan diawal.

Sesudah nama-nama para utusan dibacakan lalu disahkan oleh ketua dengan berkata: “Sehabis keperiksaan daftar utusan-utusan telah nyata, bahwa segala sesuatu sesuai dengan Tata Gereja kita”. Maka sebab itu; “Persidangan Synode umum dari Gereja Kristen Injili di Nederlands Nieuw Guinea Pertama ialah persidangan yang sah”. Pembentukkan Gereja Kristen Injili di Nederlands Nieuw Guinea telah selesai sekarang; sejak ini badan-badan gerejani dirupakan dari dalam Gereja sendiri akan memimpin hidup dan pekerjaannya.

Dengan sendirinya kedudukan dan tugas Zending di Nieuw Guinea menjadi lain. Bukan Zending lagi melainkan Synode Umum ini memimpin GKI di Nederlands Nieuw Guinea. Maka sebab itu dari ketika ini Gereja Kristen Injili di Nederlands Nieuw Guinea berdiri sendiri. “Allah yang berkuasa, bagiNyalah kemuliaan didalam Sidang Jemaat dan didalam Kristus Yesus turun-temurun selama-lamanya. Amin”.

Sesudah itu menyanyi Nyanyian Rohani 11; “Kami Puji Engkau Hu”, lalu saudara Kijne dipersilahkan mendoakan Gereja dengan badannya yang telah dibentuk dalam tugas selanjutnya. Kemudian Panitera saudara Pendeta A.M. Middag membaca surat-surat pengucapan selamat yang telah dikirim dari Gereja-gereja.

Pembacaan Surat-Surat Ucapan Selamat oleh Panitera

Dalam Roma 1: 16, Rasul Paulus mempunyai keyakinan yang kokoh dalam Injil, karena Injil adalah Kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang percaya. Telah mendasari tekat yang kuat dari para penginjil utusan Zending Belanda dan Jerman yang dipelopori oleh Ottow dan Geissler. Doa sulung yang dipanjatkan bersama ketika sauh tertambat di pulau Mansinam, 5 Februari 1855, telah terwujud seiring jalannya waktu dan zaman, didasari oleh pusara-pusara para Zending dan penginjil yang terlupakan membuahkan hasil setelah 101 Zending berkarya di Nieuw Guinea. Dari Kerk der Hoop di Mansinam, perahu Injil menambatkan Sauh di Kerl der Hoop di Hollandia Binnen.

Pernyataan selamat pun disampaikan oleh melalui surat-surat kawat dari berbagai mitra gereja dan Pemerintah yang selanjutnya dibacakan oleh Panitera. Adapun surat-surat tersebut berasal dari : 1). General Synode Der Nederlandse Hervormde Kerk, Belanda. 2). Dewan Gereja-Gereja di Indonesia (DGI). 3). Badan Pekerja Synode Gejera Protestan Maluku. 4). Gouverneur van Nederlands Nieuw Guinea dan Zending Lutheran Mission American Lutheran Church.

Berikut kutipan beberapa surat ucapan selamat atas Lahirnya “EVANGELISCH CHRITELIJKE KERK” dalam Sidang Sinode Umum Zending di Hollandia Binnen 1956.

GENERALE SYNODE DER NEDERLANDSE HEVORMDE KERK

Gambar : Palu Sidang Sinode Zending Umum Pertama dan Logo GKI di Tanah Papua

No. 201.885/6571 ‘s                  Gravenhage, 6 Agustus 1956

Kepada

Synode Umum Yang Pertama

Dari Gereja Kristen Injili di Nieuw Guinea,

p/a Dr. F.C.Kamma

Kota Raja Hollandia Binnen, Nieuw Guinea

Saudara-saudara dalam Tuhan kita Yesus Kristus,

Berhubungan dengan saudara-saudara berhimpun sebagai Synode Umum yang pertama dari Gereja Kristen Injili di Nieuw Guinea maka kami mengirim surat ini kepada saudara-saudara akan menyatakan kegembiraan syukur kami mengingat Gereja saudara-saudara, sebagai Gereja Yesus Kristus, berdiri sendiri.

Akan mengabarkan Injil Kerjaan dan akan menanam Gereja Tuhan, maka tenaga Zending bersama anak-istrinya, keluar dari Gereja kami dan kami pergi ke negeri saudara-saudara. Saudara-saudara maklum akan kesusahan dan kesukaran yang ditemui mereka, akan perjuangan dan kebimbangan mereka, dan terutama akan iman bertekun mereka. Iman itu menuju ke Kerajaan Allah, yang akan datang juga di tanah saudara-saudara, walaupun berpuluh-puluh tahun lamanya rumahnya dan sebaliknya yang tampak kubur mereka, yang letaknya pada pantai-pantai tanah saudara-saudara, masih menyaksikan korban yang dikorbankannya. Oleh karena mereka dan oleh karena pengganti mereka, yang sampai kini pergi dari Gereja kami memberitakan selamat dalam Yesus Kristus, kami merasa tergabung secara istimewa dengan saudara-saudara. Dan karenanya kami mengucapkan syukur kepada Allah.

Karena sekarang ini pelaksanaan aturan gerejani selesai, maka kami sampaikan surat ini kepada saudara-saudara. Kami mengerti, bahwa kejadian itu ialah hal yang amat penting bagi kehidupan gerejani dan gereja saudara-saudara. Sebab dengan penyelesaian aturan itu Gereja saudara-saudara berdiri sendiri, artinya mulai sekarang gereja saudara-saudara bukan lagi dipimpin pendeta-pendeta yang diutus gereja kami, melainkan saudara-saudara yang memimpinnya ialah saudara-saudara yang bersidang disini sebagai utusan dari segala resor-resor gereja di Nieuw Guinea.

Telah Allah menanam dan menumbuhkan Gereja-Nya, telah Ia mulai didalam kamu suatu pekerjaan yang baik, dan iapun akan menyudahkan dia, sehingga sampai kepada hari Kristus Yesus.

Saudara-saudara yang terhormat… itu bukan berarti bagi kami, bahwa pekerjaan Pekabaran Injil, yang dilakukan Gereja kami dalam tanah saudara-saudara, telah berakhir. Kami sudi-seperti biasa sampai akan membantu dengan mengutus tenaga-tenaga Zending dan dengan mengirim tenaga, akan tetapi mulai sekarang ini bukan lagi Dewan Pekabaran Injil Gereja kami saja yang akan menentukan lama dan jumlah bantuan itu.

Mulai sekarang ini segala pendeta utusan akan dapat mengerjakan pekerjaannya diantara Saudara-saudara hanya dengan persetujuan saudara-saudara saja, menurut aturan yang saudara-saudara insyaf akan hal itu. Akan tetapi walaupun demikian saudara-saudara memutuskan pada Proto Synode di Serui, pada tahun 1954, akan menyambutnya dalam iman bahwa Tuhan Gembala Gereja yang memanggil saudara-saudara untuknya. Itulah sebabnya kami mohon kepada Allah, pohon segala anugerah, yang sudah memanggil kamu untuk kemuliaanNya yang kekal itu didalam Kristus Yesus, kiranya Tuhanlah menjadikan kamu sempurna dan tetap dan kuat dan beralas. Bagi Allah yang berkuasa melakukan dengan berlebih-lebih dari pada barang apa yang kita mohonkan atau sangkakan, menurut kuasaNya yang bekerja didalam kita, bagiNyalah kemuliaan didalam sidang jemaat dan didalam Kristus Yesus turun-temurun selama-lamanya. Amin.

Salam Persaudaraan

a.n. Generale Synode Nederlandse Hervormd Kerk

G. de Ru, Ketua.

E. Emmen, Panitera

Surat berikut yang dibacakan pula dalam kesempatan itu, pada Sidang Synode Umum Pertama Gereja Kristen Injili di Nederlands Nieuw Guinea, adalah surat kiriman dari Dewan Gereja-Gereja di Indonesia. Berikut isi suratnya.

DEWAN GEREJA-GEREJA DI INDONESIA

(National Council of Chruches in Indonesia).

No. 658/ES        Djakarta, 2 Oktober 1956

Kepada yang Mutabir

Badan Pekerja,

Bakal Gereja Kristen Injili di Irian Barat

Kota-Raja-Holladia Binnen

Saudara-saudara yang Mutabir,

Terima kasih atas surat Ketua Badan Pekerja Bakal Gereja Kristen Injili di Irian Barat, yang memberitahukan tentang Synode Umum pertama yang akan diadakan pada tanggal, 16-31 Oktober.

Kami menyesal bahwa pemberitahuan ini baru sekarang dan bahwa saudara-saudara menganggap hal DGI tidak dapat mengutus seorang ke Irian sebagai suatu ketentuan yang sudah pasti. Jika kami dapat undangan untuk sidang synode ini lebih dahulu, maka kami rela mencoba mengutus seorang.

Betapapun juga kami tetap mendoakan Saudara-saudara sekalian. Doa kami untuk Synode Gereja saudara-saudara akan kami naikkan khusus pada waktu sinode berlangsung. Terutama pada pagi hari Senin, 22 dan 29 Oktober, akan dinaikan jika pegawai-pegawai PGI berkumpul untuk berbakti bersama, doa kami akan naikkan kepada Tuhan kita dalam Yesus Kristus, supaya Ia menunjukkan jalan yang baik untuk Gereja di Irian Barat.

Kami berterima kasih terlebih dahulu atas nyanyian Saudara akan mengirim kepada kami urusan baru serta laporan dari sidang synode. Kami harap saudara juga terima baik segala pengiriman kami.

Salam Persaudaraan

A.n. Badan Pekerja Dewan Gereja-Gereja di Indonesia,

Nn. Mr. A.L.Fransz

Secretaris

Surat berikut yang dibacakan oleh Panitera, saudarah Middag adalah berasal dari Badan Pekerja Synode Gereja Protestan Maluku. Berikut isi suratnya.

GEREJA PROTESTAN MALUKU

Badan Pekerja Synode Ambon

…326/8/80a                 Ambon, 30 Agustus 1956

Kepada,

Synode Umum Gereja Kristen Injili

di Irian Barat.

d/p/ Dr. G.P. Locher.

Saudara-saudara dalam Tuhan kita Yesus Kristus,

Kami bersukacita dalam Tuhan, bahwa dapat sampaikan salam kami dalam Yesus Kristus kepada Synode Umum yang pertama dari Gereja Saudara-saudara dengan perantara Dr. G.P. H. Locher.

Salam ini pun juga kami sampaikan kepada sekalian Penjabat Anggota Gereja Saudara-saudara.

Sesungguhnya kami bersukacita, karena dapatlah kami berkata-kata dalam iman, bahwa Tangan Kasih Allah setia memegang kita dan kemuliaannya senantiasa melimpah ketengah-tengah bangsa manusia, yang dalam saudara-saudara dan kami terpanggil dan mempunyai satu saja panggilan.

Synode Umum yang saudara-saudara langsungkan untuk membentuk Gereja Kristen Injili di Irian Barat adalah bukti yang nyata dari pada pekerjaan tangan Kasih Allah itu. Didalam Gereja ini Tuhan hendak menghimpunkan orang-orang percaya kepadaNya dari antara bangsa manusia di Irian, supaya bersama-sama dengan segala gereja di atas muka bumi, kita sanggupkan olehNya pada memberitakan Kabar Selamat bagi seluruh dunia:

“JESUS KRISTUS ADALAH TUHAN JURUSELAMAT MANUSIA DAN PENGHARAPAN DUNIA”

Kami berdoa, kiranya Saudara-saudara dan kami pun beroleh kesempatan untuk melaksanakan amanat Tuhan kita Jesus Kristen sebagaimana disunatkan dalam Injil Matius fatsal 28 ayat 19, 20 dan Kisah Perbuatan Rasul-rasul pasal 1 ayat 8.

Pada akhirnya kami ucapkan selamat bersidang bagi saudara-saudara, kiranya Roh Tuhan memimpin Persidangan Synode Umum yang pertama Gereja Kristen Injili di Irian Barat.

“Kiranya Anugerah Tuhan kita Yesus Kristus dan Kasih Allah dan Persekutuan Roh Kudus menyertai kita dan Gereja-gereja Kristus di muka bumi”.

Badan Pekerja Synode Gereja Protestan Maluku

Ketua : Sekretaris,

(Pend. F. H. de Fretes) (Pend. D. Louhenapessy)

Pembacaan surat berikut adalah berasal dari Gouverneur van Nederlands Nieuw Guinea, yang pada saat itu dipimpin oleh J. van Baal. Berikut isi suratnya yang dibacakan oleh panitera.

GOVERNEUR VAN NEDERLANDS NIEUW-GUINEA

Hollandia, 13 Oktober 1956

Kepada Synode Umum

Bakal Gereja Kristen Injili

Di Nederlands Nieuw Guinea

Pada permulaan perundingan-perundingan, Tuan-tuan, saya merasa diri terdorong mengucapkan betapa saya hidup serta dengan pekerjaan besar, dimulai sekarang ini oleh tuan-tuan. Pada saat ini tuan-tuan hendak membentukan dan mewujudkan suatu fasal kehidupan rohani yang sangat penting dengan mendirikan Gerejamu sendiri. Saya mengucapkan pengharapan supaya hal ini dengan berkat Allah dipimpin akan memperdalam dan mengembangkan kepercayaan Kristen dalam daerah kerajaan ini.

Pembangunan Gereja Kristen sendiri ialah juga suatu langkah yang penting dalam pengembangan kemasyarakatan di Nieuw Guinea. Artinya peristiwa ini, ialah bahwa dunia baru yang memasuki Nieuw Guinea pada suatu lapangan memperoleh suatu bentuk cara Nieuw Guinea sendiri yang berdiri sendiri. Hal ini dapat dianggap sebagai suatu permulaan penuh pengertian, bahwa diantara segala sesuatu yang masuk disini yang berjuang akan mendapat bentuknya dan hidupnya sendiri. Gereja yang dimuka dan yang pertamalah mendapat bentuk itu.

Beridirinya sendiri Gereja itu ialah suatu hal yang dipandang pemerintah di negeri ini dengan minat dan kesetujuan hati besar. Maksud pemerintah ialah memajukan kuat-kuat hal berdiri sendiri dari daerahnya kerajaan ini. Saya dapat menyatakan setentu-tentunya kepada tuan-tuan, bahwa Pemerintah Nederland, disokong oleh keyakinan kebanyakan orang rakyat Nederland, akan melangsungkan segala sesuatu yang dapat melaksanakan maksud itu. Dalam hal ini tidak akan diterimanya bahwa lain orang memerintanginya dalam tugas ini dengan tuntutan yang tak berdasar akan mempunyai tanah dari daerah kerajaan ini. Nederland dan tak usah bersangsi tentang hal ini – menjabat pemerintahan atas tanah ini sampai kepada waktu segenap kehidupan bangsa Nieuw Guinea akan beralih dan menentukan sendiri nasib kenegaraan dengan jalan yang sungguh dapat ditanggung.

Moga-moga Tuhan memberkati segala perundingan tuan-tuan

De Gouverneur van Nederlands Nieuw Guinea

J. van Baal

Ucapan selamat berikut datang melalui surat yang dibacakan oleh Panitera, berasal dari Zending Lutheran Mission Nieuw Guinea, American Lutheran Church.

Zending Lutheran Mission New Guinea 

17 Oktober 1956

American Lutheran Church

Dr. F.C. Kamma,

Ketua Synode G.K.I. di N.N.G.

Hollandia Binnen

Tuan Dr. Kamma dan Sobat-sobat dari G.K.I

Saya suka ambil kesempatan ini untuk mengucapkan selamat kepadamu dengan Nama Tuhan kita Yesus Kristus.

Saya rasa beruntung kalau kiranya saya mungkin hadir bersama-sama dengan kamu pada peristiwa yang baik pembentukan Synode Gereja baru di Nieuw Guinea Barat. Sayang sekali oleh keadaan yang tidak mengizinkan saya datang, dengan begitu saya kirim selamat dengan surat ini.

Zending Luther di Nieuw Guinea dan kami punya Gereja Luther Injili memohon berkat Tuhan atas peristiwa pendirian Gereja..Kiranya Tuhan selalu hadir dengan FirmanNya dan RohNya supaya kamu menjadi perkakas yang baik akan meneruskan kehendak Tuhan dengan Gerejamu.

Salam istimewa kepada orang yang melawat kami disini.

Saudaramu dalam Kristus,

John Kuder, Ketua.

Pembacaan surat-surat ucapan selamat oleh Panitera dalam pembukaan Sidang Sinode Umum Zending pertama pada 18 Oktober 1956, merupakan bentuk pengakuan dewan-dewan gereja di dunia yang mempelopori pekerjaan Pekabaran Injil ke seluruh dunia yang dikerjakan Hevormde Kerk di Eropa dan American Lutheran Church. Dengan demikian lahirnya GKI di Nieuw Guinea dalam Sidang Sinode Umum 1956 memiliki kedudukan yang sejajar dengan lembaga-lembaga gereja dalam sebuah Negara yang telah diakui dan ditetapkan dalam undang-undang dasar Negara di seluruh dunia.

Refleksi 62 Tahun GKI di Tanah Papua

Sidang Sinode umum yang berlangsung 18-29 Oktober 1956 di Kerk der Hoop Hollandia Binnen, adalah momentum sejarah, lahirnya pemimpin Papua hasil dari buah pekabaran Injil sejak 1855. Para pekerja zending telah membebaskan, mengajar, membimbing dan mempersiapkan manusia Papua untuk memasuki suatu peradaban baru dalam hirarki organisasi legal formal untuk menata, merawat dan mempersiapkan kader untuk melanjutkan tongkat estafet pekabaran injil di milenum baru.

Belajar dari sejarah, karya dan kerja para Zending Belanda dan Jerman, serta para penginjil dari Sangie Talaud, Ambon dan Papua, memberikan makna bagaimana gereja bekerja dengan penuh tanggung jawab, taat, setia, sabar dan dengar-dengaran di dunia untuk membawa perubahan dalam kehidupan umat manusia, membebaskan dan memerdekakan orang Papua dari belenggu keterbelakangan, belenggu kebodohan dan belenggu penindasan dalam konteks teologi pembebasan.

Enam puluh dua tahun sejak pengakuan Gereja-Gereja Dunia menyatakan selamat, untuk menghargai usaha dan kerja Zending di Nieuw Guinea selama 101 tahun, dan menyerahkan tongkat estafet pekerjaan pekabaran injil dibawah bendera Organisasi GKI di Nieuw Guinea, 1956, setelah tahun 1969 para pekerja Zending serta suluruh bentuk, wujud dan dasarnya dirubah dalam wajah integrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia. GKI dan orang Papua kehilangan dasar dan roh berpijak ketika tabir kesulungannya diterobos oleh Persekutuan Gereja-gereja Indonesia, menjadikan rumah Papua tidak bertuan bagi manusia Papua.

 

Catatan Referensi

F.J.F.van Hasselt, Di Tanah Orang Papua (In Het Land Van Op Papoeas), diterjemahkan oleh Zeth Rumere dan Ot. Loupatty, Penerbit Yayasan Timotius Papua, 2002.

J.Rouws, Onze Zendingsvelden Nieuw Guinea (Ladang-ladang Penginjilan Kita di Nieuw Guinea), diterjemahkan oleh Fred Athaboe,SH. Penerbit. Zending Studie Raad, (1919), .

F.J. Rumainum, Sepuluh Tahun GKI Sesudah Seratus Satu Tahun Zending di Irian Barat, Diterbit: Kantor Pusat GKI, Sukarnapura, 1966,.

N.V. Drukkerij v/h C. de Boer Jr, : Vademecum voor Nederlands Nieuw Guinea, 1956. In Sameweking met het ministerie van overzeese rijksdelen uitgegeven door het Nieuw Guinea Instituut te Rotterdam.

J. Mamoribo, Ottow dan Geissler, Rasul Irian Barat, Jayapura, 1971, Hal.10-13.

J. Mamoribo, Ibid, Hal.18-23,lihat juga, F.J.F. van Hasselt, In Het Land Van Op Papoeas, diterjemahkan oleh Zet Rumere dan Ot Loupatty, dengan judul: Di Tanah orang Papua, Penerbit. Yayasan Timotius Papua, 2002.

F.J.F. Rumainum, Guru Petrus Kafiar, diterbitkan oleh, Kantor Pusat Gereja Kristen Injili di Irian Barat, Sukarnapura, 1966,

N.V. Drukkerij v/h C. de Boer Jr, Op.Cit. Hal. 72, Lihat juga, N.G. J. van Schouwenburg, Een Euw Evangelie Op Nieuw Guinea, terbitan; Raad Voor De Zending van De Net. Herv.Kerk Oegstgeest, 1955, Diterjemakan dengan judul; Satu Abad Injil di Nieuw Guinea, oleh, Jan H. Ramandei, diterbitkan Kadepag, Kab. Jayapura, 2005.

Tarmidja Kartawidjaya,dkk, Sejarah Pendidikan Daerah Irian Jaya, 1855-1980, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Irian Jaya, 1981.

Notulensi Sidang Sinode Umum, Pertama di Hoolandia Binnen, 18-29 Oktober 1956



FORMULIR KONTAK

Nama

Email *

Pesan *