Pater Corneles de Cocq d’Armandville pertama kali menginjak kaki di Skroe, Fak-Fak, Papua Barat pada 22 Mei 1894. Sekarang sudah mencapai 128 tahun. Tapi kita tidak pernah rayakan hari misi perintisan gereja katolik di tanah Papua yang amat penting ini.
Felicia Permata Ganggu pernah menulis di majalah Hidup Katolik edisi 25 Juni 2018 dengan judul “Jalan Misi Gereja di Papua” yang merujuk pada catatan Pater Hendricus Haripranata tentang “Berlayar ke Timur, Misi Gereja Katolik di Irian Barat”.
Gereja katolik di Papua mulai menapaki kaki pada abad ke-19. Bertepatan dengan fase dimana pembentukan Prefektur Apostolik Batavia pada 1807.
Mgr. Adam Charles Claensses yang baru saja diangkat sebagai Vikaris Apostolik Batavia berperan penting untuk membuka misi Gereja Katolik di tanah Papua.
Sebelumnya orang hanya tahu sebatas Key, Maluku Utara, Sulawesi dan sekitarnya. Dulu bergabung ke Sulawesi, kemudian dipisahkan untuk gabung dengan Malaku pada 1902.
Hal itu disesuaikan dengan dekrit Roma tertanggal 22 Desember 1902, dengan tujuan supaya daerah sebelah timur Sulawesi, sekarang Maluku dan Papua membuka satu Prefektur Apostolik Nieuw Guinea Belanda.
Misionaris Hati Kudus (MSC) mulai berperan penting disini. Bahkan sampai pada awal abad ke-18 mulai menjelajahi wilayah Papua selatan yang kemudian hari akan menjadi pusat dari awal perkembangan gereja katolik di tanah Papua.
Catatan ini semakin jelas dengan karya Jan Sloot dalam “Fransiskan Masuk Papua” (hal. 43-46). Jan secara bijak menggambarkan bagaimana misi perintisan gereja katolik di tanah Papua dimulai oleh Misionaris dari Tarekat Yesuit (SJ).
Sebelum Pater Cocq, sesungguhnya Pater C. van der Heyden SJ sudah berlayar ke Irian Barat (sekarang Papua). Tapi kapan kedatangannya, kapan ia menginjaki kaki di tanah Papua dan apa saja di lakukan seketika tiba di Skroe belum jelas.
Haripranata, sebagaimana yang dikutip dari Felicia di Hidup Katolik tadi, hanya mencatat bahwa kapal yang ditumpangi Heyden terbakar di Skroe, Fak-Fak, Papua Barat. Bakal sang mending misionaris ini tinggal di situ selama tiga Minggu.
Seharusnya, hari, tanggal, bulan dan tahun dimana Heyden tiba dan injak kaki di Skroe, Fak-Fak, Papua Barat sebaiknya menjadikan sebagai hari misi perintisan gereja katolik di tanah Papua.
Sayangnya, catatan ini perlu membutuhkan waktu yang sangatlah lama untuk harus membokar dalam dokumen gereja katolik di tanah Papua, baik dari kantor-kantor arsip keuskupan, tarekat, ordo dan lainnya.
Mungkin saja Heyden tiba di Papua satu atau dua tahun sebelum Pater Cocq melanjutkan misi Gereja perintisan di tanah Papua.
Bisa juga Heyden datang ke Papua pada tahun 1894 yang sama, tapi beda bulan. Bisa saja tiba diantara 1893, atau tidak Januari hingga Maret 1894. Kita perlu memastikan ini baik-baik ke depan.
Tanggal masuknya Heyden yang tidak pasti ini membuat orang bingung dan bertanya-tanya. Sampai ambil kesimpulan mentah-mentah. Kalau dihitung dari sejak Heyden tiba bisa mencapai lebih dari 128 tahun.
Orang lebih mudah melihat misi perintisan gereja katolik di tanah Papua berdasarkan waktu dimana Pater Cocq d’Armandville menginjaki kaki pertama kali di Skroe tadi.
Kalau merujuk pada jejak langkah Pater Cocq, maka misi perintisan gereja katolik di tanah Papua sekarang sudah mencapai 128 tahun.
Tahun yang sangat tua, 39 setelah Ottow dan Geissler menginjak kaki dan memberkati tanah Papua dalam Tuhan di Mansinam, Manokwari, Papua Barat pada 5 Februari 1855 (166 tahun).
Tapi yang paling miris adalah Skroe, Fak-Fak, Papua Barat menjadi pusat misi perintisan gereja katolik di tanah Papua. Tapi hingga saat ini tidak ada tokoh agama, klerus yang lahir dari kampung Skroe ataupun orang Fak-Fak pada umumnya.
Pertanyaannya: kenapa orang Skroe dan Fak-Fak tidak bisa berkembang, terutama dalam soal penyiapan kaum klerus dari kampung dan kota bersejarah ini?
Apa ada yang salah? Apa dosanya, sehingga menghambat mereka untuk berkembang dan maju? Gereja katolik, para klerus di tanah Papua memang harus mendorong upaya untuk menelusuri hal-hal apa yang menyebabkan itu.
Bila perlu membentuk sebuah tim guna menelusuri dan melakukan rekonsiliasi bagi tokoh-tokoh adat dan gereja, umat katolik di sana. Tempat atau kampung bersejarah itu harus dilindungi dan dilestarikan secara baik.
Para pemuka agama di tanah Papua, baik oh agama, klerus yang lahir dari kampung Skroe ataupun orang Fak-Fak pada umumnya.
Pertanyaannya: kenapa orang Skroe dan Fak-Fak tidak bisa berkembang, terutama dalam soal penyiapan kaum klerus dari kampung dan kota bersejarah ini?
Apa ada yang salah? Apa dosanya, sehingga menghambat mereka untuk berkembang dan maju? Gereja katolik, para klerus di tanah Papua memang harus mendorong upaya untuk menelusuri hal-hal apa yang menyebabkan itu.
Bila perlu membentuk sebuah tim guna menelusuri dan melakukan rekonsiliasi bagi tokoh-tokoh adat dan gereja, umat katolik di sana. Tempat atau kampung bersejarah itu harus dilindungi dan dilestarikan secara baik.
Para pemuka agama di tanah Papua, baik dari kaum awam maupun imam harus mulai menyadari akan hari misi perintisan ini. Bila perlu membentuk tim guna menelusuri sejarah, merumuskan, menetapkan dan merayakan setiap tahun.
Kalau mau ikuti jalan Pater Cocq, puncaknya akan jatuh pada Sabtu, 22 Mei 2022 mendatang. Sekarang kita berada di awal Akhir Februari 2022. Untuk memasuki itu, hanya butuh 10-11 Minggu saja.
Pertanyaannya: apakah kita pernah bertanya kapan hari misi perintisan gereja katolik di tanah Papua atau tidak? Apa kita pernah sadar bahwa kita belum menelaah sejarah, merumuskan dan menetapkan hari misi Gereja Katolik di tanah Papua?
Apakah kita hanya memahami sejarah agama, Allah, Yesus Kristus tanpa memahami sejarah perintisan para misionaris yang membawah misi Gereja Katolik di tanah Papua?
Apakah kita hanya ikut merayakan 5 Februari sebagai hari PEEKABARAN INJIL tanpa kita belum pernah sadar untuk merumuskan, menetapkan dan merayakan 22 Mei sebagai hari misi perintisan gereja katolik di tanah Papua?
Apa yang kita pikirkan tentang 22 Mei 2022 besok? Apakah kita akan merayakan hari misi perintisan gereja katolik di tanah Papua atau tidak? Apakah kita akan membaca sejarah dan merefleksikan atau tidak?
Ingat! Sejarah adalah nafas keselamatan umat manusia. Sejarah yang jelas membuat orang tumbuh dan berkembang secara baik.
Tetapi sejarah yang tidak jelas, kabur dan sengaja dikaburkan, dihilangkan serta ditiadakan merupakan sebuah ancaman terbesar dalam eksistensi kehidupan umat manusia.
Apapun alasannya, sejarah harus selamatkan. Sejarah harus diluruskan. Sejarah harus diingat selalu. Sejarah harus menjadi perhatian utama jika gereja katolik di tanah Papua benar+benar ingin menjadi gereja katolik yang bercorak khas Papua.
Selamat menyambut hari misi perintisan gereja katolik di tanah Papua. Skroe, Fak-Fak, Papua Barat, 22 Mei 1894-Tanah Papua, 22 Mei 2022. Selamat memikirkan untuk 128 tahun gereja katolik masuk di tanah Papua.
Sumber rujukan:
1. Hanggu, Felicia Permata. 2018. Jalan Misi Gereja Papua. Hidup Katolik (25 Juni 2018), diakses pada 2020 lalu.
2. Sloot, Jan. 2012. Fransiskan Masuk Papua, Jilid I: Periode Pemerintahan Belanda 1937-1962. Fransiskan Duta Damai Papua.
Link berita terkait:
1. https://www.hidupkatolik.com/2018/06/25/22606/jalan-misi-gereja-papua.php
2. http://mshkatolikpapua.blogspot.com/2013/01/pater-le-cocq-darmandville-sj.html?m=1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar