Foto: Daun Gatal |
BILA ada
teka – teki tentang ‘daun apa yang terkenal di tanah Papua’? Mungkin jawabannya
ada lima. Kalau bukan ‘daun suanggi’, ‘daun bungkus’, ‘daun perempuan’ ‘daun
isap darah mati’, maka jawabannya yang terakhir pasti ‘daun gatal’.
Daun gatal
yang dimanfaatkan sebagai tanaman obat tradisional dan dipasarkan di pasar
tradisional adalah daun dari tanaman perdu famili Urticaceae yang
terdiri atas beberapa spesies. Meskipun demikian, daun gatal yang umumnya dijual di pasar
tradisional berasal dari spesies Laportea decumana (roxb.) chew.
“Spesies ini
juga punya nama lain atau sinonim, tergantung aturan taksonomi mana yang kita
ikuti, bisa juga disebut Laportea Indica,”tutur Ir. M.J. Sadsoeitoeboen, M.Si;
yang kerap disapa ibu Rita, dosen taksonomi tumbuhan jurusan Biologi UNIPA.
Ia
menambahkan ada spesies lain yang tengah batang daunnya berwarna putih
(Dendronicde Sp) ataupun yang kecil (Laportea interupta) walau pemanfaatannya
cukup berbeda.
Sepengetahuannya, pemanfaatan tradisional tanaman ini tak hanya di Manokwari, tetapi juga di Jayapura dan Maluku. Kini pemanfaatannya di Manokwari pun tak lagi milik orang asli Papua tetapi juga dimanfaatkan oleh warga non-Papua.
Sepengetahuannya, pemanfaatan tradisional tanaman ini tak hanya di Manokwari, tetapi juga di Jayapura dan Maluku. Kini pemanfaatannya di Manokwari pun tak lagi milik orang asli Papua tetapi juga dimanfaatkan oleh warga non-Papua.
Tumbuhan
famili Urticaceae umumnya memang memiliki kandungan kimiawi seperti monoridin, tryptophan, histidine, alkaloid,
flavonoid, asam formiat dan authraguinones. Asam semut ini sendiri terkandung
di dalam kelenjar ‘duri’ pada permukaan daun. Saat ‘duri’ tersebut mengenai
tubuh, asam semut dalam kelenjar itu
terlepaskan dan mempengaruhi terjadinya pelebaran pori – pori tubuh. Pelebaran
pori – pori ini rupanya meransang peredaran darah. Itulah sebabnya pemanfaat
daun gatal umumnya merasa pegal – pegal mereka lenyap ataupun merasa lebih
baik.
“Sayangnya,
ekstraksi dalam bentuk salep ataupun pemakaian daun gatal dalam bentuk
non-segar di masa mendatang demi alasan kepraktisanhingga kini belum ada.
Pemanfaatan
daun gatal di Papua rupanya tak hanya dipakai oleh masyarakat yang tinggal
di kampung tetapi juga dimanfaatkan oleh kalangan kota. Tengok saja
cerita dari Yafet Syufi, 39 tahun, Dekan
Fakultas Sastra UNIPA yang asli
kabupaten Tambrauw ini. Ia sudah merasakan manfaat tanaman ini sejak kanak –
kanak , “Su pakai sejak sekitar umur 5 tahun, tahun 1976 ka begitu.
Waktu itu
orang tua di kampung yang ajar pake.” katanya. Syufi mengakui awalnya ia sempat
menangis dan kaget dengan efek pemakaian tanaman ini. Proses transfer
pengetahuan dari orang tuanya pun berlangsung dengan berbagai proses yang
berbeda.
Kadang
sewaktu mereka berjalan di hutan dan ia dikenalkan dengan tanaman perdu ini,
kadang juga sewaktu sakit dan melihat langsung pemanfaatannya. Yang pasti Syufi
tak lupa menjelaskan sensasi rasa gatal saat menggosokan daun ini pada bagian
tubuh yang pegal, “Nanti rasa gatal macam ingin bagaruk badan, tapi cuma sekitar 3 – 4 menit begitu. Tra
lama trus hilang, yang ada cuma bentol–bentol merah seperti terkena ulat bulu
dan rasa hangat yang menjalar di bagian tubuh yang digosok” lanjutnya.
Daun gatal
dipakai dengan cara menggosokan daun gatal secara langsung pada bagian tubuh
yang terasa pegal dan lelah. Bahkan daun ini juga digunakan sebagai medium
‘baca’ alias ritual magis terkait kepercayaan lokal. Ia juga secara pribadi
pernah menggunakannya sebagai obat sakit kepala. Saat itu beberapa kerabatnya
memakaikannya daun gatal dengan cara membungkuskannya di kening dan kepalanya. Biasanya daun akan
dilepas usai sakit kepalanya terasa lebih ringan. Pak Syufi tak lupa
menambahkan informasi tentang jenis daun gatal yang ia ketahui.
Sepengetahuannya ada tiga jenis daun gatal berdasarkan tempat tumbuh: dataran tinggi dan dataran rendah. Gatalnya
pun lebih ‘menggigit’ dibandingkan dengan daun gatal yang tumbuh di dataran
rendah. Daun gatal yang tumbuh di
dataran rendah lebih pendek dan ada yang daunnya agak kecil dan memanjang
bentuk daunnya.
Hasil temuan
– temuan penelitian etnobotani dalam skripsi beberapa mahasiswa UNIPA .
Misalnya, Daun gatal sebagai pereda nyeri dan penghilang pegal digunakan oleh Suku Meyah di distrik Masni, Manokwari (penelitian Johanis Paulus Kilmaskossu) dan
suku Maybrat di distrik Mare, Sorong (penelitian Frengki Hara) yang menyebutnya
‘Afa ati’.
Bahkan pada
suku Meyah, Daun gatal yang disebut ‘meciwi’ ini dapat digunakan dalam proses
persalinan sebagai obat penghilang nyeri pada ibu yang akan melahirkan. Umumnya
dengan menumbuk halus daun ini dan membalurkan pada beberapa bagian tubuh. Selain itu berdasarkan penelitian Ir. M.J.
Sadsoeitoeboen, M.Si, daun gatal spesies
Dendronicde Sp dimanfaatkan oleh Orang Papua sebagai tumbuhan untuk
melatih peningkatan penciuman anjing berburu.
Biasanya,
batang tengah daun gatal dipotong menjadi potongan kecil dan memasukannya ke
hidung anjing yang hendak dijadikan anjing berburu, diusahakan hingga anjing
tersebut bersin ataupun hidungnya berdarah. Setelah itu, anjing diciumkan
dengan bau daging ataupun buruan tertentu. Hidung anjing berburu menjadi sangat peka dengan bau mangsa
buruan.
Sebagai
komoditas barang dagangan di pasar tradisional di Papua, harganya
bervariasi antara Rp 3.000 – 5.000,-
tergantung dari pasokan daun gatal saat itu. Umumnya dijual oleh penjual
asli Papua dari suku beerbagai suku. Tanaman ini biasanya
didapatkan dengan dua cara; memanen langsung dari alam ataupun dari hasil
budidaya.
“Beli di
sana tuh segar karna langsung petik. Lain deng di pasar tuh biasanya su kena
matahari jadi agak layu sedikit,”.
Prospek
budidaya tanaman ini rupanya dibenarkan juga oleh Rita karena bagaimanapun saat
ini pemanfaatan daun gatal masih terkait dengan kebutuhan di lapangan.
Penanamannya pun tak sulit dan tak membutuhkan perawatan yang intensif. tanaman daun gatal yang ditanam di halaman belakang
rumahnya seprang dokter. Bibitnya didapatkan dari kerabatnya ini tumbuh subur dengan tinggi
berkisar antara 75 – 180 centi meter.
Membeli
langsung di kebun, selain kualitas daun yang dapatkan lebih segar, dengan harga
Rp.5.000, pembeli dapat membawa pulang sekitar 25 lembar daun gatal. Sayang,
tidak setiap hari orang datang membeli. “Hanya yang tahu saja, kaka. Kalo tahu
baru dong datang beli di sini,”kata Dokter itu.
Daun gatal
memang bermanfaat namun, jangan sampai salah asal pakai daun gatal. Jika salah,
malah bisa demam dan merasakan gatal yang panas dan menyiksa, seperti bila
tersentuh daun gatal babi atau daun gatal lainnya (semisal Laportea Interupta).
“Kalo tong
terlanjur kena gigit daun gatal babi, harus cepat ambil tanah dan gosok ke
bagian tubuh yang kena daun itu. Biasanya langsung hilang. Kalo tidak, bisa
berhari – hari rasa gatal skali,”. Tanah yang diambil pun
jangan terlalu kering ataupun terlalu basah.Rasa gatal itu akan
lenyap segera.
Daun gatal
sebagai tanaman obat khas Papua rupanya bermanfaat bagi komunitas masyarakat Papua. Semoga kelak tanaman ini terus
dibudidayakan dan bisa menembus masuk supermarket besar dan tak hanya terhampar
di atas – atas lapak tanah pasar tradisional.
***Uwapo Wiyai***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar