Rabu, 09 Desember 2015

Dampak Negatif dari Pilkada lansung


Foto: Doc Pribadi
Sedikitnya ada tiga dampak besar pemilihan kepala daerah secara langsung yang membuat banyak pihak prihatin.

Ketiganya adalah penggunaan uang yang semakin marak dari waktu ke waktu untuk membeli suara konstituen, tidak adanya jaminan pasangan calon terbaik akan menang dan akibat biaya kampanye yang besar maka hasil pilkada sulit dipisahkan dari perilaku koruptif kepala daerah terpilih.

Menurut Guru Besar Institut Ilmu Pemerintahan yang juga mantan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Ryaas Rasyid, tiga dampak besar pilkada langsung itu secara kumulatif akan secara otomatis mematikan ekspektasi publik akan hadirnya pemerintahan yang baik di Indonesia.

“Harapan untuk percepatan kesejahteraan rakyat telah didistorsi oleh sistem pilkada langsung,” ujar Ryaas.

Dia mencontohkan dampak besarnya biaya kampanye yang kemudian mengakibatkan kepala daerah sulit lepas dari perilaku koruptif tergambar jelas dalam data terakhir yang dilansir Kementerian Dalam Negeri, bahwa ada 160 kepala daerah yang telah dan akan dibawa ke pengadilan.

“Kesemuanya terkait dengan korupsi APBD. Perlu dicatat bahwa semua kepala daerah yang bermasalah ini adalah hasil dari pilkada langsung,” katanya.


Pilkada Langsung tidak Menciptakan Kesejahteraan Rakyat
Semarang,undip.ac.id- Dari pelaksanaan pemilukada langsung pada saat ini yang menyebabkan dampak negatif diantaranya Biaya politik yang sangat tinggi,katub korupsi di level lokal maupun nasional, jual beli jabatan di tingkat lokal, menurunnya moralitas baik penyelenggara negara maupun rakyat dan konflik pemilukada terlihat bahwa pelaksanaan pemilukada langsung tidak mampu menciptakan kesejahteraan rakyat,bahkan bahaya yang paling besar adalah semakin rusaknya moral para penyelenggara negara dan rakyat ,sehingga dapat dikatakan antara kemanfaatan dan kemedaratannya lebih banyak kemadaratannya hal itu disampaikan oleh Ketua Program Magister Ilmu Hukum Undip Dr. Retno Saraswati, SH.Mhum pada Orasi Ilmiah dengan tema “Reorientasi Hukum Pemilukada yang Mensejahterakan Rakyatnya” dalam rangka Dies Natalis FH Undip ke-57,Kamis(9/1) di Dekanat FH Kampus Undip Tembalang.

Retno mengatakan sudah saatnya dengan fenomena pelaksanaan pemilukada yang demikian,menuntut segera peran negara untuk segera mengambil tindakan untuk mengevaluasi bahkan merubah hukum pemilukada yang tidak mensejahterakan rakyatnya”, ujarnya. ”Sistem pemilihanan kepala daerah sebagaimana diatur dalam UU No.32 Tahun 2004 inipun janganlah dilihat sebagai bangunan final, melainkan yang secara terus-menerus dibangun untuk mencapai tujuan nasional”.

Retno menjelaskan sebenarnya sistem apapun yang akan dipilih oleh negara dalam penyelenggaraan pemerintahannya tidak ada yang salah maupun tidak ada yang benar, yang tepat adalah yang sesuai dengan kondisi dan situasi negara itu sendiri serta pilihan sistem tersebut harus bermuara pada tujuan negara yang bersangkutan”, urainya.

”Demikian juga sistem pemilihan kepala daerah langsung yang terjadi di Indonesia antara dampak posistif dan negatifnya , lebih banyak dampak negatifnya oleh karena itu sistem pilkada baik provinsi,kabupaten maupun kota dikembalikan pada sistem yang sama yakni pemilihan kepala daerah oleh DPRD atau pemilu secara tidak langsung.

“Dengan pilkada melalui DPRD (tidak langsung ) janganlah dianggap sebagai kemunduran demokrasi,kareana partisipasi politik masyarakat tidak hanya sekedar dilihat saat memberikan hak suaranya, namun yang paling utama langkah ini memang pantas untuk diambil untuk pembenahan sistem politik baik di level pemerintahan maupun masyarakat biasa yang selanjutnya dituangkan dalam hukumnya.

Retno menambahkan bahwa disisi lain pertimbangan diambil langkah demikian kareana kultur politik masyarakat belum siap disamping itu selama perekonomian masyarakat masih labil maka sikap politik masyarakat sangat mudah dibeli dengan uang. Memang tidak ada yang menjamin kalau pilkada diserahkan kepada DPRD, money politics bisa dihentikan akan tetapi setidaknya pengawasan bisa lebih dipermudah karena orangnya sedikit sehingga ruang kontrolnya lebih mudah”, pungkasnya.

Penulis mencatat, ada sejumlah kelemahan menonjol yang bisa direnungkan sebagai bahan kewaspadaan. Pertama, pilkada dalam era liberalisasi politik dengan kekuatan partai politik yang masih dominan, memungkinkan sekali yang bisa bertempur di sana adalah mereka yang memiliki kapital ekonomi dan politik yang kuat. Para pengusaha yang sekaligus dekat dengan partai politik, atau para incumbent yang kaya, adalah yang paling besar mendapatkan peluang masuk dalam bursa pencalonan pilkada.

Jadi, bukan figur-figur yang kompeten dalam kacamata kepemimpinan modern yang bisa masuk di sana, tetapi justru mereka yang berkategori orang-orang kaya yang berpeluang besar ikut masuk dalam bursa pilkada. Sementara orang-orang kaya itu, dulu adalah yang justru selalu menjadi bagian dari objek kebijakan pemerintah. Artinya, mereka yang selalu diatur, yang didisiplinkan dan ditata dalam menjalankan kegiatan bisnisnya. Tetapi sekarang, mereka adalah yang akan tampil sebagai pengatur. Sisi inilah yang merupakan salah satu aspek kelemahan yang menonjol.

Kapitalisme politik, dalam kerangka menyempurnakan kapitalisme ekonomi, kemungkinan akan menemui momentumnya, dan di kemudian hari tidak mustahil akan menjadi problem baru kita. Hal itu senada dengan teori “MPM” yang merupakan kepanjangan dari Money – Power – More Money. Teori itu mengingatkan kepada kita akan arti pentingnya pengaruh kapital dalam proyek demokrasi yang ujung-ujungnya kelas menengah yang diuntungkan. Di titik itulah kewaspadaan publik tetap harus terjaga, agar pilkada yang agak berbau kapitalistik ini tidak menimbulkan ekses bagi melunturnya interest kepala daerah ke publik.

Kedua, pilkada langsung memang bisa melahirkan problem kelembagaan baru yang di suatu titik nanti bisa menodai demokrasi lokal. Itu terjadi karena kepala daerah yang dihasilkan dari sistem pilkada langsung, posisinya akan semakin kuat, begitu pula dalam hal legitimasinya. Bukankah penelitian di beberapa negara Amerika Latin membuktikan bahwa ketika posisi eksekutif menjadi semakin kuat, justru potensial sekali kembali melahirkan otoritarianisme. Itu terjadi karena eksekutif merasa memiliki legitimasi yang sama-sama kuat dengan DPRD, sementara eksekutif tidak bisa dijatuhkan parlemen.

Itu sebabnya, menjaga keseimbangan agar otoritarianisme tidak lahir pascapilkada mesti selalu menjadi kewajiban bagi siapa pun yang menjadi bagian dari kekuatan masyarakat sipil. (24)


Pilkada Tak Langsung
Ada sejumlah alasan mengapa usulan pilkada oleh DPRD ini perlu mendapat perhatian serius dan perlu dicoba lagi dengan cara dan pengawasan yang lebih baik. Apalagi, cara ini juga diperbolehkan secara hukum alias konstitusional.

Pertama, pilkada langsung yang sudah berlaku sejak era pascareformasi ini punya banyak kelemahan. Tak bisa dimungkiri, pilkada langsung telah menimbulkan dampak buruk pada masalah hukum. Sebagai bukti konkret, sedikitnya 309 kepala daerah produk pilkada langsung tersangkut masalah hukum. Mereka rata-rata dijebloskan penjara karena diduga terlibat kasus korupsi. Tentu fenomena ini sangat ironis saat pemerintah sedang giat-giatnya melakukan upaya dalam pemberantasan korupsi. Selain itu, sudah bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa pilkada langsung ternyata juga diliputi banyak sekali politik uang (money politic ). Fenomena suap-menyuap yang telah lazim terjadi di masyarakat pada setiap pilkada ini tentu pada gilirannya akan merusak moral bangsa ini.

Pilkada oleh DPRD memang tidak serta-merta secara langsung akan menghapus politik uang. Politik uang mungkin tetap akan ada, namun potensinya bisa diminimalisasi. Pengawasan terhadap politisi nakal pada pelaksanaan pilkada tak langsung ini akan lebih mudah karena jumlahnya sedikit ketimbang harus mengawasi seluruh masyarakat yang punya hak memilih. Aparat hukum bisa mengawasi lebih ketat politisi tersebut. Jika terbukti melakukan tindakan tercela, tinggal dijerat secara hukum. Pilkada tak langsung ini setidaknya bisa meminimalisasi kerusakan moral yang sudah cukup parah akibat politik uang di masyarakat.

Kedua, pilkada langsung juga memiliki potensi lebih besar untuk terjadi konflik horizontal di masyarakat. Pengalaman selama ini pelaksanaan pilkada langsung banyak menimbulkan masalah dan gejolak di masyarakat. Pilkada oleh DPRD ini diharapkan bisa mengurangi potensi konflik tersebut. Apalagi, sejauh ini pelaksanaan pilkada bisa dipastikan selalu berujung konflik kubu antarpasangan dengan membawa kasus ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Ketiga, pilkada langsung butuh dana besar. Pilkada tak langsung dinilai bisa menghemat anggaran negara yang bisa digunakan untuk membiayai sektor-sektor penting lain bagi kesejahteraan rakyat. Kalau sama-sama sah secara hukum, kenapa kita tidak memilih pelaksanaan pilkada yang efektif dan efisien tersebut dibanding hanya mengejar cap demokrasi, namun belum tentu membawa kebaikan bagi negara ini. Karena itu, bukan hal tabu dan buruk untuk memunculkan lagi sistem pilkada tak langsung dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Intinya, kita jangan alergi untuk menerima usulan yang bisa menyejahterakan negara ini.

Rusak Akibat Pilkada Langsung
Harmoni dan sistem nilai yang berakar pada kearifan budaya lokal sudah mengalami kerusakan parah karena masyarakat di hampir semua daerah terkotak-kotak oleh sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung. Mengembalikan pilkada kepada DPRD merupakan bagian dari upaya mengakhiri pengotak-kotakan masyarakat.

Terkotak-kotak warga di berbagai daerah akibat pelaksanaan pilkada langsung tak bisa ditutup-tutupi lagi. Pengotak-kotakan itu sulit dihindari karena tokoh-tokoh lokal yang bertarung dalam kontestasi pilkada lazimnya mengerahkan dukungan dari keluarga besar, kerabat, suku, dan warga dari desa atau kampung tempat lahir sang calon. Pengotak-kotakan itu tidak otomatis berakhir pascapilkada. Ketidakpuasan dari calon yang dinyatakan kalah selalu menyisakan sentimen negatif terhadap calon yang menang bersama pendukungnya.

Sentimen negatif seperti itu mudah menimbulkan gesekan. Sebagian warga Bali tetap tidak respek terhadap Gubernur I Made Mangku Pastika yang dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai pemenang pemilihan gubernur Bali pada 2013. Sebagian warga Jawa Timur pun kurang lebih berperilaku sama dalam menyikapi kemenangan Soekarwo, apalagi setelah MK menolak gugatan Khofifah Indar Parawansa, pesaing Soekarwo. Apalagi jika pengotak-kotakan warga dalam pilkada langsung itu diwarnai aksi kekerasan berdarah.

Akan muncul dendam yang tak berkesudahan. Juni 2008, Maluku Utara dilanda kerusuhan akibat pilkada langsung. Pendukung pasangan Abdul Gafur-Abdur Rahim Fabanyo bentrok dengan polisi. Kerusuhan pecah setelah menteri dalam negeri menetapkan pasangan Thaib Armayn- Abdul Ghani Kasuba sebagai pemenang. Di Tana Toraja, Pilkada Juni 2010 bahkan menelan korban tewas akibat bentrok kedua kubu pendukung pasangan. Kekerasan berdarah juga terjadi dalam Pilgub Bali. Seorang pendukung Made Mangku Pastika bernama Made Pasek Bendana terluka akibat ditebas senjata samurai.

Rangkaian contoh kasus ini menggambarkan kerusakan yang sudah terjadi akibat pelaksanaan pilkada langsung. Artinya, ekses pilkada langsung bukan hanya terlihat dari biaya politik yang begitu tinggi. Salah satu kerusakan paling parah akibat pilkada langsung adalah menyisakan disharmoni dalam masyarakat serta hilangnya sistem nilai yang diadopsi masyarakat setempat secara turun-temurun. Padahal, harmoni dan sistem nilai yang berakar pada kearifan budaya lokal itu secara historis justru telah menjadi faktor penguat ketahanan warga setempat.

Ekses pilkada langsung bermunculan di berbagai daerah karena figur-figur peserta pilkada bersama komunitas pendukungnya belum dipersiapkan untuk berperilaku demokratis dan fair dalam menyikapi hasil perhitungan suara. Tidak mengherankan jika gugatan hasil pilkada menumpuk di MK. Dalam beberapa kasus, pilkada bahkan cenderung dijadikan persoalan hidup-mati sehingga para pendukung masing-masing kubu sering didorong untuk berhadap-hadapan. Pertanyaannya, akankah gejala terkotak-kotak masyarakat itu akan terus dibiarkan?

Ada kecenderungan bahwa pengotak- kotakan warga akan terus berulang setiap daerah menyongsong hajatan pilkada. Tidak ada yang bisa memberi jaminan bahwa pengotak-kotakan masyarakat itu bisa dihilangkan dalam rentang waktu tertentu. Kalau kecenderungan yang berbahaya ini dibiarkan, artinya negara memelihara potensi konflik dalam skala yang sangat mengerikan. Karena itu, harus ada upaya memulihkan harmoni antar kelompok masyarakat di berbagai daerah.

Persatuan masyarakat dan sistem nilai yang turun-temurun telah diikat oleh kearifan budaya lokal harus direvitalisasi. Demokratisasi pada akhirnya memang harus diwujudkan, tetapi demokratisasi tidak boleh mencabut setiap individu dari akar budaya lokal. Kebebasan berpendapat serta kebebasan memilih dan dipilih jangan sampai menghancurkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam semangat musyawarah- mufakat sebagai sistem nilai yang telah memelihara persatuan dan kesatuan warga bangsa selama ini.

Asas Manfaat
Karena itu, pilkada oleh DPRD perlu diberlakukan kembali. Mekanisme ini harus dipahami sebagai upaya bersama mewujudkan kembali harmoni antarkelompok masyarakat di berbagai wilayah di Tanah Air. Pilkada oleh DPRD sama sekali tidak menghilangkan daulat rakyat sebab anggota DPRD dipilih oleh rakyat. Memang, tidak ada yang sempurna dari mekanisme pilkada langsung maupun pilkada oleh DPRD. Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing- masing dan ini telah dibahas para ahli dalam beberapa kesempatan akhir-akhir ini.

Berangkat dari pemahaman itu, tentu harus ada keberanian untuk melihat dan menilai mekanisme apa yang paling banyak mendatangkan manfaat. Nah , karena pilkada langsung sudah terbukti menimbulkan banyak kerusakan, tentu saja mekanisme pemilihan ini harus dihentikan dulu. Sebagai salah satu jalan keluar, pilkada oleh DPRD menjadi alternatif yang paling ideal. Ini bukan sekadar pilihan sekumpulan politisi di Senayan (DPR RI). Pilihan ini setidaknya sudah direkomendasi oleh organisasi keagamaan terkemuka. PP Muhammadiyah menolak pilkada langsung karena tidak membawa banyak manfaat.

Muhammadiyah meminta supaya pilkada, khususnya tingkat gubernur, dipilih oleh DPRD. Menurut kajian hukum PP Muhammadiyah, gubernur adalah perpanjangan tangan dari pemerintah pusat. Sekretaris Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Ibnu Sina Chandranegara menegaskan, ”Muhammadiyah pada kajian akademisnya berkesimpulan bahwa pelaksanaan pilkada langsung, khususnya tingkat provinsi dan gubernur, ternyata tidak membawa hasil dan manfaat yang banyak.” Senada, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj menegaskan NU mendukung pilkada oleh DPRD.

Posisi dan sikap NU ini diputuskan dalam Musyawarah Nasional dan Konferensi Besar NU di Cirebon, Jawa Barat, pada 2012. ”Ini keputusan para ulama sepuh yang dengan jernih menilai mudarat (dampak buruk) pilkada langsung sudah jelas, sementara manfaatnya belum tentu tercapai,” kata Said Aqil. Para ulama menilai, pilkada langsung maupun pilkada tidak langsung sama-sama memiliki kelemahan. Namun, para kiai yang mengalami langsung kondisi di lapangan menilai efek negatif yang ditimbulkan oleh pilkada langsung lebih besar dari pilkada tak langsung, terutama terkait biaya yang besar dan konflik horizontal akibat perbedaan dukungan.

Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) pun menyarankan pemilihan gubernur oleh DPRD, sementara pemilihan bupati/wali kota tetap secara langsung oleh rakyat. Menurut Gubernur Lemhannas Budi Susilo Soepandji, pandangan Lemhanas ini didasarkan pada kajian Lemhannas pada 2007. Rekomendasinya, pemerintah dan DPR lebih baik menyetujui usulan agar pemilihan gubernur melalui DPRD dan pemilihan bupati/wali kota dilaksanakan secara langsung. Cukup jelas bahwa harus ada yang diperbaiki terkait mekanisme pilkada.

Mekanisme pilkada langsung juga ideal, tetapi dia telah menimbulkan kerusakan yang sangat mengkhawatirkan karena penerapannya dipaksakan yakni ketika sebagian masyarakat, termasuk penyelenggara pilkada, belum cukup siap untuk menghargai hakikat dari one man one vote. Pilkada justru sering dijadikan ajang atau pasar jual-beli suara. Demokrasi perwakilan yang diwarnai semangat musyawarah-mufakat sejatinya tradisi Indonesia. Tradisi ini sama sekali tidak mengharamkan beda pendapat atau beda pilihan. Akhirnya, demi tujuan bersama yang lebih besar dan strategis, selalu ada kemauan bermusyawarah untuk bermufakat.

Sejarah Indonesia sarat dengan praktik demokrasi perwakilan serta semangat musyawarah-mufakat. Di atas tradisi itulah eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap kokoh dan terjaga. Jangan korbankan rakyat demi periuk nasi dari proyek pilkada langsung atas nama kepentingan rakyat dan demokrasi. Kita tahu, penghapusan proyek pilkada langsung tersebut berarti hilang pula kontrak dan peluang rezeki bagi pengamat dan akademisi asongan yang selama ini dimanfaatkan para calon kepala daerah. Lalu, perusahaan dan lembaga yang hidupnya dari hasil survei juga akan gulung tikar.

Para pengacara yang selama ini main di lahan sengketa pilkada juga akan gigit jari. Media cetak, elektronik seperti TV dan radio, media online , advertising dalam dan luar ruang juga terancam kekurangan pendapatan. Termasuk para bandar dan tukang ijon akan kehilangan lahan. Rencana pengalihan pilkada langsung ke pilkada DPRD memang akan mengganggu kepentingan banyak pihak. Wajar kalau mereka yang terganggu itu ngotot dan pasang badan dengan berbagai cara agar pilkada langsung tersebut tetap dilanggengkan. (***)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FORMULIR KONTAK

Nama

Email *

Pesan *