Foto: Doc Pribadi |
Sedikitnya
ada tiga dampak besar pemilihan kepala daerah secara langsung yang membuat
banyak pihak prihatin.
Ketiganya
adalah penggunaan uang yang semakin marak dari waktu ke waktu untuk membeli
suara konstituen, tidak adanya jaminan pasangan calon terbaik akan menang dan
akibat biaya kampanye yang besar maka hasil pilkada sulit dipisahkan dari
perilaku koruptif kepala daerah terpilih.
Menurut
Guru Besar Institut Ilmu Pemerintahan yang juga mantan Menteri Dalam Negeri dan
Otonomi Daerah Ryaas Rasyid, tiga dampak besar pilkada langsung itu secara
kumulatif akan secara otomatis mematikan ekspektasi publik akan hadirnya
pemerintahan yang baik di Indonesia.
“Harapan
untuk percepatan kesejahteraan rakyat telah didistorsi oleh sistem pilkada
langsung,” ujar Ryaas.
Dia
mencontohkan dampak besarnya biaya kampanye yang kemudian mengakibatkan kepala
daerah sulit lepas dari perilaku koruptif tergambar jelas dalam data terakhir
yang dilansir Kementerian Dalam Negeri, bahwa ada 160 kepala daerah yang telah
dan akan dibawa ke pengadilan.
“Kesemuanya
terkait dengan korupsi APBD. Perlu dicatat bahwa semua kepala daerah yang bermasalah
ini adalah hasil dari pilkada langsung,” katanya.
Pilkada Langsung tidak Menciptakan Kesejahteraan
Rakyat
Semarang,undip.ac.id-
Dari pelaksanaan pemilukada langsung pada saat ini yang menyebabkan dampak
negatif diantaranya Biaya politik yang sangat tinggi,katub korupsi di level
lokal maupun nasional, jual beli jabatan di tingkat lokal, menurunnya moralitas
baik penyelenggara negara maupun rakyat dan konflik pemilukada terlihat bahwa
pelaksanaan pemilukada langsung tidak mampu menciptakan kesejahteraan
rakyat,bahkan bahaya yang paling besar adalah semakin rusaknya moral para
penyelenggara negara dan rakyat ,sehingga dapat dikatakan antara kemanfaatan dan
kemedaratannya lebih banyak kemadaratannya hal itu disampaikan oleh Ketua
Program Magister Ilmu Hukum Undip Dr. Retno Saraswati, SH.Mhum pada Orasi
Ilmiah dengan tema “Reorientasi Hukum Pemilukada yang Mensejahterakan
Rakyatnya” dalam rangka Dies Natalis FH Undip ke-57,Kamis(9/1) di Dekanat FH
Kampus Undip Tembalang.
Retno
mengatakan sudah saatnya dengan fenomena pelaksanaan pemilukada yang
demikian,menuntut segera peran negara untuk segera mengambil tindakan untuk
mengevaluasi bahkan merubah hukum pemilukada yang tidak mensejahterakan
rakyatnya”, ujarnya. ”Sistem pemilihanan kepala daerah sebagaimana diatur dalam
UU No.32 Tahun 2004 inipun janganlah dilihat sebagai bangunan final, melainkan
yang secara terus-menerus dibangun untuk mencapai tujuan nasional”.
Retno
menjelaskan sebenarnya sistem apapun yang akan dipilih oleh negara dalam
penyelenggaraan pemerintahannya tidak ada yang salah maupun tidak ada yang
benar, yang tepat adalah yang sesuai dengan kondisi dan situasi negara itu
sendiri serta pilihan sistem tersebut harus bermuara pada tujuan negara yang
bersangkutan”, urainya.
”Demikian
juga sistem pemilihan kepala daerah langsung yang terjadi di Indonesia antara
dampak posistif dan negatifnya , lebih banyak dampak negatifnya oleh karena itu
sistem pilkada baik provinsi,kabupaten maupun kota dikembalikan pada sistem
yang sama yakni pemilihan kepala daerah oleh DPRD atau pemilu secara tidak
langsung.
“Dengan
pilkada melalui DPRD (tidak langsung ) janganlah dianggap sebagai kemunduran
demokrasi,kareana partisipasi politik masyarakat tidak hanya sekedar dilihat
saat memberikan hak suaranya, namun yang paling utama langkah ini memang pantas
untuk diambil untuk pembenahan sistem politik baik di level pemerintahan maupun
masyarakat biasa yang selanjutnya dituangkan dalam hukumnya.
Retno
menambahkan bahwa disisi lain pertimbangan diambil langkah demikian kareana
kultur politik masyarakat belum siap disamping itu selama perekonomian
masyarakat masih labil maka sikap politik masyarakat sangat mudah dibeli dengan
uang. Memang tidak ada yang menjamin kalau pilkada diserahkan kepada DPRD,
money politics bisa dihentikan akan tetapi setidaknya pengawasan bisa lebih
dipermudah karena orangnya sedikit sehingga ruang kontrolnya lebih mudah”,
pungkasnya.
Penulis
mencatat, ada sejumlah kelemahan menonjol yang bisa direnungkan sebagai bahan
kewaspadaan. Pertama, pilkada dalam era liberalisasi politik dengan kekuatan
partai politik yang masih dominan, memungkinkan sekali yang bisa bertempur di
sana adalah mereka yang memiliki kapital ekonomi dan politik yang kuat. Para
pengusaha yang sekaligus dekat dengan partai politik, atau para incumbent yang
kaya, adalah yang paling besar mendapatkan peluang masuk dalam bursa pencalonan
pilkada.
Jadi, bukan
figur-figur yang kompeten dalam kacamata kepemimpinan modern yang bisa masuk di
sana, tetapi justru mereka yang berkategori orang-orang kaya yang berpeluang
besar ikut masuk dalam bursa pilkada. Sementara orang-orang kaya itu, dulu
adalah yang justru selalu menjadi bagian dari objek kebijakan pemerintah.
Artinya, mereka yang selalu diatur, yang didisiplinkan dan ditata dalam
menjalankan kegiatan bisnisnya. Tetapi sekarang, mereka adalah yang akan tampil
sebagai pengatur. Sisi inilah yang merupakan salah satu aspek kelemahan yang
menonjol.
Kapitalisme
politik, dalam kerangka menyempurnakan kapitalisme ekonomi, kemungkinan akan
menemui momentumnya, dan di kemudian hari tidak mustahil akan menjadi problem
baru kita. Hal itu senada dengan teori “MPM” yang merupakan kepanjangan dari
Money – Power – More Money. Teori itu mengingatkan kepada kita akan arti
pentingnya pengaruh kapital dalam proyek demokrasi yang ujung-ujungnya kelas
menengah yang diuntungkan. Di titik itulah kewaspadaan publik tetap harus
terjaga, agar pilkada yang agak berbau kapitalistik ini tidak menimbulkan ekses
bagi melunturnya interest kepala daerah ke publik.
Kedua,
pilkada langsung memang bisa melahirkan problem kelembagaan baru yang di suatu
titik nanti bisa menodai demokrasi lokal. Itu terjadi karena kepala daerah yang
dihasilkan dari sistem pilkada langsung, posisinya akan semakin kuat, begitu
pula dalam hal legitimasinya. Bukankah penelitian di beberapa negara Amerika
Latin membuktikan bahwa ketika posisi eksekutif menjadi semakin kuat, justru
potensial sekali kembali melahirkan otoritarianisme. Itu terjadi karena
eksekutif merasa memiliki legitimasi yang sama-sama kuat dengan DPRD, sementara
eksekutif tidak bisa dijatuhkan parlemen.
Itu
sebabnya, menjaga keseimbangan agar otoritarianisme tidak lahir pascapilkada
mesti selalu menjadi kewajiban bagi siapa pun yang menjadi bagian dari kekuatan
masyarakat sipil. (24)
Pilkada Tak Langsung
Ada
sejumlah alasan mengapa usulan pilkada oleh DPRD ini perlu mendapat perhatian
serius dan perlu dicoba lagi dengan cara dan pengawasan yang lebih baik.
Apalagi, cara ini juga diperbolehkan secara hukum alias konstitusional.
Pertama,
pilkada langsung yang sudah berlaku sejak era pascareformasi ini punya banyak
kelemahan. Tak bisa dimungkiri, pilkada langsung telah menimbulkan dampak buruk
pada masalah hukum. Sebagai bukti konkret, sedikitnya 309 kepala daerah produk
pilkada langsung tersangkut masalah hukum. Mereka rata-rata dijebloskan penjara
karena diduga terlibat kasus korupsi. Tentu fenomena ini sangat ironis saat
pemerintah sedang giat-giatnya melakukan upaya dalam pemberantasan korupsi.
Selain itu, sudah bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa pilkada langsung
ternyata juga diliputi banyak sekali politik uang (money politic ). Fenomena
suap-menyuap yang telah lazim terjadi di masyarakat pada setiap pilkada ini
tentu pada gilirannya akan merusak moral bangsa ini.
Pilkada
oleh DPRD memang tidak serta-merta secara langsung akan menghapus politik uang.
Politik uang mungkin tetap akan ada, namun potensinya bisa diminimalisasi.
Pengawasan terhadap politisi nakal pada pelaksanaan pilkada tak langsung ini
akan lebih mudah karena jumlahnya sedikit ketimbang harus mengawasi seluruh
masyarakat yang punya hak memilih. Aparat hukum bisa mengawasi lebih ketat
politisi tersebut. Jika terbukti melakukan tindakan tercela, tinggal dijerat
secara hukum. Pilkada tak langsung ini setidaknya bisa meminimalisasi kerusakan
moral yang sudah cukup parah akibat politik uang di masyarakat.
Kedua,
pilkada langsung juga memiliki potensi lebih besar untuk terjadi konflik
horizontal di masyarakat. Pengalaman selama ini pelaksanaan pilkada langsung
banyak menimbulkan masalah dan gejolak di masyarakat. Pilkada oleh DPRD ini
diharapkan bisa mengurangi potensi konflik tersebut. Apalagi, sejauh ini
pelaksanaan pilkada bisa dipastikan selalu berujung konflik kubu antarpasangan
dengan membawa kasus ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Ketiga,
pilkada langsung butuh dana besar. Pilkada tak langsung dinilai bisa menghemat
anggaran negara yang bisa digunakan untuk membiayai sektor-sektor penting lain
bagi kesejahteraan rakyat. Kalau sama-sama sah secara hukum, kenapa kita tidak
memilih pelaksanaan pilkada yang efektif dan efisien tersebut dibanding hanya
mengejar cap demokrasi, namun belum tentu membawa kebaikan bagi negara ini.
Karena itu, bukan hal tabu dan buruk untuk memunculkan lagi sistem pilkada tak
langsung dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Intinya, kita jangan alergi
untuk menerima usulan yang bisa menyejahterakan negara ini.
Rusak Akibat Pilkada Langsung
Harmoni dan
sistem nilai yang berakar pada kearifan budaya lokal sudah mengalami kerusakan
parah karena masyarakat di hampir semua daerah terkotak-kotak oleh sistem
pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung. Mengembalikan pilkada kepada
DPRD merupakan bagian dari upaya mengakhiri pengotak-kotakan masyarakat.
Terkotak-kotak
warga di berbagai daerah akibat pelaksanaan pilkada langsung tak bisa ditutup-tutupi
lagi. Pengotak-kotakan itu sulit dihindari karena tokoh-tokoh lokal yang
bertarung dalam kontestasi pilkada lazimnya mengerahkan dukungan dari keluarga
besar, kerabat, suku, dan warga dari desa atau kampung tempat lahir sang calon.
Pengotak-kotakan itu tidak otomatis berakhir pascapilkada. Ketidakpuasan dari
calon yang dinyatakan kalah selalu menyisakan sentimen negatif terhadap calon
yang menang bersama pendukungnya.
Sentimen
negatif seperti itu mudah menimbulkan gesekan. Sebagian warga Bali tetap tidak
respek terhadap Gubernur I Made Mangku Pastika yang dinyatakan oleh Mahkamah
Konstitusi (MK) sebagai pemenang pemilihan gubernur Bali pada 2013. Sebagian
warga Jawa Timur pun kurang lebih berperilaku sama dalam menyikapi kemenangan
Soekarwo, apalagi setelah MK menolak gugatan Khofifah Indar Parawansa, pesaing
Soekarwo. Apalagi jika pengotak-kotakan warga dalam pilkada langsung itu
diwarnai aksi kekerasan berdarah.
Akan muncul
dendam yang tak berkesudahan. Juni 2008, Maluku Utara dilanda kerusuhan akibat
pilkada langsung. Pendukung pasangan Abdul Gafur-Abdur Rahim Fabanyo bentrok
dengan polisi. Kerusuhan pecah setelah menteri dalam negeri menetapkan pasangan
Thaib Armayn- Abdul Ghani Kasuba sebagai pemenang. Di Tana Toraja, Pilkada Juni
2010 bahkan menelan korban tewas akibat bentrok kedua kubu pendukung pasangan.
Kekerasan berdarah juga terjadi dalam Pilgub Bali. Seorang pendukung Made
Mangku Pastika bernama Made Pasek Bendana terluka akibat ditebas senjata
samurai.
Rangkaian
contoh kasus ini menggambarkan kerusakan yang sudah terjadi akibat pelaksanaan
pilkada langsung. Artinya, ekses pilkada langsung bukan hanya terlihat dari
biaya politik yang begitu tinggi. Salah satu kerusakan paling parah akibat
pilkada langsung adalah menyisakan disharmoni dalam masyarakat serta hilangnya
sistem nilai yang diadopsi masyarakat setempat secara turun-temurun. Padahal,
harmoni dan sistem nilai yang berakar pada kearifan budaya lokal itu secara
historis justru telah menjadi faktor penguat ketahanan warga setempat.
Ekses
pilkada langsung bermunculan di berbagai daerah karena figur-figur peserta
pilkada bersama komunitas pendukungnya belum dipersiapkan untuk berperilaku
demokratis dan fair dalam menyikapi hasil perhitungan suara. Tidak mengherankan
jika gugatan hasil pilkada menumpuk di MK. Dalam beberapa kasus, pilkada bahkan
cenderung dijadikan persoalan hidup-mati sehingga para pendukung masing-masing
kubu sering didorong untuk berhadap-hadapan. Pertanyaannya, akankah gejala
terkotak-kotak masyarakat itu akan terus dibiarkan?
Ada
kecenderungan bahwa pengotak- kotakan warga akan terus berulang setiap daerah
menyongsong hajatan pilkada. Tidak ada yang bisa memberi jaminan bahwa
pengotak-kotakan masyarakat itu bisa dihilangkan dalam rentang waktu tertentu.
Kalau kecenderungan yang berbahaya ini dibiarkan, artinya negara memelihara
potensi konflik dalam skala yang sangat mengerikan. Karena itu, harus ada upaya
memulihkan harmoni antar kelompok masyarakat di berbagai daerah.
Persatuan
masyarakat dan sistem nilai yang turun-temurun telah diikat oleh kearifan
budaya lokal harus direvitalisasi. Demokratisasi pada akhirnya memang harus
diwujudkan, tetapi demokratisasi tidak boleh mencabut setiap individu dari akar
budaya lokal. Kebebasan berpendapat serta kebebasan memilih dan dipilih jangan
sampai menghancurkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam semangat musyawarah-
mufakat sebagai sistem nilai yang telah memelihara persatuan dan kesatuan warga
bangsa selama ini.
Asas Manfaat
Karena itu,
pilkada oleh DPRD perlu diberlakukan kembali. Mekanisme ini harus dipahami
sebagai upaya bersama mewujudkan kembali harmoni antarkelompok masyarakat di
berbagai wilayah di Tanah Air. Pilkada oleh DPRD sama sekali tidak
menghilangkan daulat rakyat sebab anggota DPRD dipilih oleh rakyat. Memang,
tidak ada yang sempurna dari mekanisme pilkada langsung maupun pilkada oleh
DPRD. Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing- masing dan ini telah
dibahas para ahli dalam beberapa kesempatan akhir-akhir ini.
Berangkat
dari pemahaman itu, tentu harus ada keberanian untuk melihat dan menilai
mekanisme apa yang paling banyak mendatangkan manfaat. Nah , karena pilkada
langsung sudah terbukti menimbulkan banyak kerusakan, tentu saja mekanisme
pemilihan ini harus dihentikan dulu. Sebagai salah satu jalan keluar, pilkada
oleh DPRD menjadi alternatif yang paling ideal. Ini bukan sekadar pilihan
sekumpulan politisi di Senayan (DPR RI). Pilihan ini setidaknya sudah
direkomendasi oleh organisasi keagamaan terkemuka. PP Muhammadiyah menolak
pilkada langsung karena tidak membawa banyak manfaat.
Muhammadiyah
meminta supaya pilkada, khususnya tingkat gubernur, dipilih oleh DPRD. Menurut
kajian hukum PP Muhammadiyah, gubernur adalah perpanjangan tangan dari
pemerintah pusat. Sekretaris Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Ibnu Sina
Chandranegara menegaskan, ”Muhammadiyah pada kajian akademisnya berkesimpulan
bahwa pelaksanaan pilkada langsung, khususnya tingkat provinsi dan gubernur,
ternyata tidak membawa hasil dan manfaat yang banyak.” Senada, Ketua Umum PBNU
KH Said Aqil Siradj menegaskan NU mendukung pilkada oleh DPRD.
Posisi dan
sikap NU ini diputuskan dalam Musyawarah Nasional dan Konferensi Besar NU di
Cirebon, Jawa Barat, pada 2012. ”Ini keputusan para ulama sepuh yang dengan
jernih menilai mudarat (dampak buruk) pilkada langsung sudah jelas, sementara
manfaatnya belum tentu tercapai,” kata Said Aqil. Para ulama menilai, pilkada
langsung maupun pilkada tidak langsung sama-sama memiliki kelemahan. Namun,
para kiai yang mengalami langsung kondisi di lapangan menilai efek negatif yang
ditimbulkan oleh pilkada langsung lebih besar dari pilkada tak langsung,
terutama terkait biaya yang besar dan konflik horizontal akibat perbedaan
dukungan.
Lembaga
Ketahanan Nasional (Lemhannas) pun menyarankan pemilihan gubernur oleh DPRD,
sementara pemilihan bupati/wali kota tetap secara langsung oleh rakyat. Menurut
Gubernur Lemhannas Budi Susilo Soepandji, pandangan Lemhanas ini didasarkan
pada kajian Lemhannas pada 2007. Rekomendasinya, pemerintah dan DPR lebih baik
menyetujui usulan agar pemilihan gubernur melalui DPRD dan pemilihan
bupati/wali kota dilaksanakan secara langsung. Cukup jelas bahwa harus ada yang
diperbaiki terkait mekanisme pilkada.
Mekanisme
pilkada langsung juga ideal, tetapi dia telah menimbulkan kerusakan yang sangat
mengkhawatirkan karena penerapannya dipaksakan yakni ketika sebagian
masyarakat, termasuk penyelenggara pilkada, belum cukup siap untuk menghargai
hakikat dari one man one vote. Pilkada justru sering dijadikan ajang atau pasar
jual-beli suara. Demokrasi perwakilan yang diwarnai semangat musyawarah-mufakat
sejatinya tradisi Indonesia. Tradisi ini sama sekali tidak mengharamkan beda
pendapat atau beda pilihan. Akhirnya, demi tujuan bersama yang lebih besar dan
strategis, selalu ada kemauan bermusyawarah untuk bermufakat.
Sejarah
Indonesia sarat dengan praktik demokrasi perwakilan serta semangat
musyawarah-mufakat. Di atas tradisi itulah eksistensi Negara Kesatuan Republik
Indonesia tetap kokoh dan terjaga. Jangan korbankan rakyat demi periuk nasi
dari proyek pilkada langsung atas nama kepentingan rakyat dan demokrasi. Kita
tahu, penghapusan proyek pilkada langsung tersebut berarti hilang pula kontrak
dan peluang rezeki bagi pengamat dan akademisi asongan yang selama ini
dimanfaatkan para calon kepala daerah. Lalu, perusahaan dan lembaga yang
hidupnya dari hasil survei juga akan gulung tikar.
Para
pengacara yang selama ini main di lahan sengketa pilkada juga akan gigit jari.
Media cetak, elektronik seperti TV dan radio, media online , advertising dalam
dan luar ruang juga terancam kekurangan pendapatan. Termasuk para bandar dan
tukang ijon akan kehilangan lahan. Rencana pengalihan pilkada langsung ke
pilkada DPRD memang akan mengganggu kepentingan banyak pihak. Wajar kalau
mereka yang terganggu itu ngotot dan pasang badan dengan berbagai cara agar
pilkada langsung tersebut tetap dilanggengkan. (***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar