Senin, 14 Desember 2015

Gender dan Agama



BAB I
Pendahuluan
Latar Belakang
Masalah kesadaran gender dalam beberapa dasawarsa belakangan ini, termasuk di Indonesia telah mencuat ke permukaan. Berbagai struktur dan kultur yang selama ini mengabaikan perempuan digugat; dan upaya dekonstruksi terhadap pemahaman dan pelaksanaannya dilakukan.

Salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya kesenjangan gender adalah dikarenakan bermacam-macamnya penafsiran tentang pengertian gender itu sendiri. Seringkali gender dipersamakan dengan sex (jenis kelamin laki-laki dan perempuan), dan  pembagian jenis kelamin laki-laki dan perempuan ini serta peran dan tanggung-jawabnya masing-masing, telah dibuat sedemikian rupa dan berlalu dari tahun ke tahun bahkan dari abad ke abad, sehingga lama kelamaan masyarakat tidak lagi mengenali mana yang  gender dan mana yang sex. Bahkan peran gender oleh masyarakat kemudian diyakini seolah-olah merupakan kodrat yang diberikan Tuhan.

Sebagai akibat dari pembagian peran dan kedudukan yang sudah melembaga antara laki-laki dan perempuan, baik secara langsung –berupa perlakuan/sikap, maupun tidak langsung –berupa dampak suatu peraturan perundang-undangan dan kebijakan, telah menimbulkan berbagai ketidak-adilan. Ketidak-adilan ini telah mengakar dalam sejarah, adat-istiadat, norma hukum ataupun struktur dalam masyarakat.
Ketidak-adilan ini boleh jadi timbul dikarenakan adanya keyakinan dan pembenaran yang ditanamkan sepanjang peradaban manusia dalam berbagai bentuknya, yang tidak hanya menimpa kepada kaum perempuan, akan tetapi juga menimpa kaum laki-laki; walau secara menyeluruh ketidak-adilan gender dalam berbagai kehidupan ini lebih banyak menimpa kaum perempuan.

Perbedaan secara biologis antara laki-laki dan perempuan telah mempunyai impelementasi di dalam kehidupan sosial budaya. Persepsi yang seolah-olah mengendap di dalam bawah sadar seseorang ialah jika seseorang mempunyai atribut biologis, seperti penis pada diri laki-laki atau vagina pada diri perempuan, maka itu juga menjadi atribut gender yang bersangkutan dan selanjutnya akan menentukan peran sosialnya di dalam masyarakat.




Bab II
Pembahasan

A. Pengertian Gender dan agama
1.      Gender adalah pembagian peran kedudukan, dan tugas antara laki-laki dan perempuan ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan sifat perempuan dan laki-laki yang dianggap pantas sesuai norma-norma, adat istiadat, kepercayaan, atau kebiasaan masyarakat.

2.      Agama adalah sebuah koleksi terorganisir dari kepercayaan, sistem budaya, dan pandangan dunia yang menghubungkan manusia dengan tatanan/perintah dari kehidupan

B.Gender dalam Perspektif Agama Kristen
Dalam Undang-Undang Perkawinan pasal 30 disebutkan bahwa keluarga adalah susunan sendi dasar masyarakat. Kalau kita ingin menegakkan kemitrasejajaran antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat, maka harus dimulai dari keluarga. Namun saya percaya, kita akan berhadapan dengan teks-teks agama agama yang ditafsirkan secara tradisional. Maka dalam pendahuluan ini sayua ungkapkan, dalam rangka untuk mewujudkan kemitrasejajaran antara laki-laki dan perempuan, maka kita harus berani secrara kritis mereinterpretasikan dengan memahami kontekstual teks historis kritis. Di lingkungan agama kristen, memang masih cukup banyak penindasan terhadap perempuan. Sebelum tahun 60, perempuan tidak mempunyai hak yang sama untuk ikut  memilih anggota majlis gereja, apalagi menduduki jabatan itu. Baru tahun 67/68 perempuan perempuan mempunyai hak untuk memilih, tetapi belum berhak menduduki.

Kemudian baru tahun 70-a ada anggota majelis gereja perempuan dan itupun jumlahnya masih sangat langka. Baru tahun 90-an ada pendeta perempuan. Jadi memang secara kelembagaan, penghargaan terhadap kesetaraan laki-laki dan perempuan masih dipertanyakan.Keberadaan laki-laki dan perempuan, dalam Al-Kitab, digambarkan bahwa sebenarnya hakekat laki-laki dan perempuan adalah setara. Kejadian 1 ayat (27), Mazmur 8 ayat (59) menggambanrkan bahwa Tuhan menciptakan manusia segambar dengan Allah. Dalam penafisran saya, bukan berarti Tuhan punya telinga dan sebagainya, tetapi manusia selain merupakan anugerah sebagai mahkluk yang mulia, juga mempunyai kewajiban untuk mencerminkan citra Allah yang mulia. Dalam Kejadian 2 ayat (15-18) disebutkan ; “Tuhan menciptakan manusia di taman Eiden untuk mengusahakan dan memelihara Eiden. Saya mempunyai penafisran baru bahwa Eiden itu bukan merupakan suatu tempat, tetapi merupakan sebuah kondisi, yang kita sebagai orang yang beriman menggambarkannya sebagai salam, salom,sahdu dan sandu. Suasana di mana relasi manusia dengan Allah, relasi manusia dengan sesama, dengan lingkungan terjadi harmonisasi.
Ditegaskan khususnya dalam di Kejadian 2 ayat (18); “Tidak baik manusia itu seorang diri saja, aku memberikan penolong yang sepadan dengan dia.” Teks ini secara tradisional ditafsirkan hadirnya seorang perempuan bagi laki-laki. Saya mencoba melakukan reinterpretasi bahwa manusia jangan merasa sombong. Maksudnya orang sadar bahwa dalam mengelola Eiden ini dia membutuhkan orang lain serta bagaimana orang menerima kehadiran orang lain sebagai penolong yang diberikan oleh Allah dan punya kedudukan yang sama. Hal ini mempunyai konteks umum dan khusus. Konteks umum adalah bagaimana orang menerima kehadiran orang lain sebagai penolong, bukan sebagai rival yang harus disingkirkan. Sedangkan dalam konteks khusus adalah bagaimana seseorang menyambut istri atau suami. Sedangkan dalam hal panggilan untuk berkeluarga, secara ekplisit Yesus mengajarkannya dalam Mattius 19, ayat (1-12).  Secara garis besar bisa dipaparkan; Yang pertama,bagaimana menjaga agar keluarga itu lestari dan kekal. Yang kedua, bagaimana jika memang harus terjadi perceraian.

Dalam ayat 12 disebutkan; “Ada orang yang yang tidak dapat kawin karena memang ia lahir demikian dari rahim ibunyadan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain. Ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena kerajaan Allah.” Jadi orang dapat membuat keputusan demikian demi pengabdian pada Tuhan, sesama dan lingkungan. Secara kelembagaan tidak ada ketentuan selibat.

Di zaman Yesus, terdapat tiga mazhab, yaitu Mazhab Farisi, Mazhab Bilel dan Mazhab Sama’i. Mazhab Bilel merupakan pengaruh dari Hamaliel. Dalam mazhab ini, perempuan diletakkan pada posisi yang rendah, sehingga laki-laki boleh menceraikan perempuan dengan alasan apa saja.

Terkait dengan masalah tersebut, Yesus memberikan pengajaran; “Tidakkah kamu membaca bahwa Tuhan menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan. Sebab itu laki-laki meninggalkan ayah dan ibunya bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging, mereka bukan lagi dua melainkan satu. Karena itu apa yang telah dipersatukan oleh allah tidak boleh diceraikan oleh manusia.”

Jawaban Yesus ini akan saya sistemasir dalam empat prinsip dasar penghayatan perkawinan. Pertyama, dari teks bahwa Allah menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan. Dalam hal ini saya menangkap bahwa orang mengahayati perkawinan itu dalam kesadaran diri sebagai ciptaan Allah yang terhormat. Dengan kesadaran bahwa saya adalah ciptaan Allah yang punya kehormatan, maka saya akan memperlakukan istri saya juga dalam pengkudusan dan kehormatan. Jadi perkawinan bukan hanya kebutuhan biologis semata. Pasangan saya bukan sekedar alat pemuas bagi saya, pasangan saya adalah manusia yang harus saya kuduskan dan saya hormati.
Kedua, bahwa teks ini disusun di zaman yang sangat kental dengan budaya patriarkhi. Yang dikatakan meninggalkan ayah dan ibunya hanya laki-laki, seharusnya semua. Menurut tafsiran ugal-ugalan saya terhadap teks Matius 19 itu adalah bahwa  perempuan juga harus meninggalkan ayah dan ibunya bersatu dengan suaminya.Sebenarnya pelaksanan dalam masyarakat protestan, perempuan juga meninggalkan orangtuanya, tetapi mereka masih sangat takut untuk melakukan teks kritik, sehingga tidak berani secara ekplisit mengeluarkannya. Meninggalkan ayah dan ibunya itu bukan berarti meninggalkan kekerabatan dan tanggungjawabnya untuk menghormati orangtua, tetapi mandiri. Orang yang sudah berani menikah berarti dia juga harus sudah berani mandiri, baik secara materiil maupun mandiri secara spiritual.Yang ketiga, dalam teks dikatakan bahwa keduanya menjadi satu daging, mereka tidak lagi dua melainkan satu.

Hal ini berarti bahwa Yesus mengajarkan bahwa perkawinan merupakan satu kesatuan yang utuh dalam ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Hal ini senada dengan Undang-Undang Perkawinan, terutama pasal 1 yang berbunyi; “Hakekat perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga bahagia.” Ikatan lahir batin di sini harus dipahami secara utuh, buikan hanya ikatan lahir atau batin saja. Ikatan lahir saja tanpa ikatan batin berarti tidak utuh, tetapi ikatan batin tanpa iktan lahir juga tidak bisa. Dalam Kurintus 7 ayat (3 dan 4) dinasehatkan demikian; “Hendaknya suami memenuhi kewajibannya terhadap istrinya demikian istri terhadap suaminya. Istri tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi suaminya, demikian pula suami tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi istrinya.” Hal ini berarti ikatanm dalam perkawinan bukan hanya ikatan batin saja. Yang keempat, Dalam teks dikatakan bahwa apa yang telah dipersatukan Allah jangan diceraikan. Di sini Yesus mengajarkan bahwa perkawinan itu bagian dari karya Allah. Dalam Undang-Undang Perkawinan pasal 2 disebutkan, “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan, tiap-tiap perkawinan disahkan oleh Undang-Undang.” Undang-Undang Perkawinan kita cukup tegas menyatakan bahwa perkawinan adalah peristiwa religius. Kesadaran bahwa perkawinan merupakan karya Allah ini menuntut sebuah tanggungjawab, yaitu jika saya merusak perkawinan berarti saya merusak karya Allah. Namun di sisi lain, kita harus optimis jika perkawinan itu karya Allah berarti Tuhan akan memberi jalan keluar jika terjadi permasalahan.

Tanggung Jawab Mewujudkan Keluarga Bahagia dan Kekal Dalam Undang-undang perkawian dijelaskan bahwa tujuan perkawianan adalah mewujudkan keluarga yang bahagia. Namun jika kita mau jujur, seringkali tujuan itu kita lupakan. Ketika kita asyik dengan karier kita, maka keluarga kita bukan rumah, tetapi karier kita. Dalam Protestan, tuntunan untuk mewujudkan keluarga bahagia ini terdapat dalam Mazmur 128 ayat (1-3) yang berbunyi: “Berbahagialah setiap orang yang takut akan Tuhan, yang hidup menurut jalan yang ditunjukkannya. Apabila engkau memakan hasil jerih payah tanganmu, berbahagialah engkau dan baiklah keadaanmu. Istrimu akan menjadi pohon anggur yang subur dalam rumahmu, anak-anakmu menjadi pohon zaitun sekeliling mejamu.”Dalam tafsiran saya terhadap teks tersebut, ada tiga tonggak yang menunjang kebahagiaan keluarga; pertama, bagaimana keluarga itu membangun sikap takut akan Tuhan dan hidup menurut jalan yang ditunjukkan-Nya.

Termasuk juga bagaimana keluarga itu mengambil keputusan etis untuk tetap taat pada Tuhan.Yang kedua, makan dari hasil jerih payah tangan sendiri. Itu sebabnya mengapa dalam keluarga perlu dibangun etos kerja, cinta kerja. Bahkan dalam Amsal 16 ayat (8) disebutkan bahwa lebih baik berpenghasilan sedikit dalam kebenaran, dari pada penghasilan banyak tanpa keadilan. Tonggak ketiga, menjadikan keluarga atau rumah sebagai tempat kembali (home sweet home/ kerasan di rumah). Dalam Mazmur yang telah disebutkan bahwa hal ini diilustrasikan sebagai anggur dan anak sebagai zaitun. Ini adalah metafora untuk menggambarkan fungsi yang positif yaitu menciptakan kehangatan. Keluarga mempunyai fungsi kehangatan (anggur), sehingga suami istri harus saling mendorong untuk mengaktualisasikan diri dalam keluarga. Anggur juga berfungsi untuk mengobati, yang berarti bahwa  keluarga harus berfungsi mengobati bagi masing-masing anggota keluarga.

C. Gender dalam Perspektif Agama Katholik
Dalam perkembangan sejarah, kehidupan diatur oleh kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Dalam keluarga, pada umumnya, pengaturan kehidupan ini diatur oleh laki-laki. Tetapi ada juga, dalam kasus-kasus tertentu perempuan yang menjadi kepala keluarga. Lebih dominannya satu jenis seks, baik itu laki-laki maupun perempuan dapat menimbulkan ketimpangan antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga dan biasanya yang lebih dominan adalah laki-laki. Menghadapi ketimpangan seperti ini, seringkali orang lari pada agama untuk mencari solusi.

Permasalahan gender dalam Katolik tidak terlepas dari konteks tradisi dan budaya, khususnya budaya agama Yahudi. Dalam agama Yahudi, laki-laki mempunyai posisi yang lebih dominan dibandingkan dengan perempuan. Dominasi ini menciptakan ketidakadilan gender. Ketika suatu perbuatan itu dilakukan oleh laki-laki, maka dianggap sebagai suatu kebenaran. Begitu juga di Indonesia, ajaran kristen tidak dapat terlepas dari budaya warga Indonesia.
Dalam Kejadian 2 disebutkan bahwa Allah menciptakan manusia dari bumi. Manusia yang pertama kali diciptakan adalah Adam. Kemudian dari tulang rusuk Adam diciptakanlah Hawa. Kemudian disebutkan bahwa Adam jatuh ke dalam dosa karena Hawa. Teks ini memunculkan pandangan bahwa perempuan adalah manusia kedua. Perempuan juga dipandang sebagai sumber dosa. Katholik mengambil teks ini sebagai dasar pandangan hubungan (relasi) antara laki-laki dengan perempuan. Hubungan ini dipandang hanya berdasarkan jenis kelamin saja. Posisi sub ordinat perempuan seperti inilah yang menjadi dasar pandangan awal gereja mengenai perempuan.

Namun dalam perkembangan selanjutnya, seiring dengan perkembangan zaman, Gereja menolak ketidakadilan gender, baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Gereja memperhatikan dengan serius dasar-dasar ajaran agama, yaitu; tradisi, teologi dan filsafat, kitab suci serta ajaran gereja dengan pastoral lainnya.

1. Aspek Tradisi
Salah satu sumber ajaran iman dan moral Katolik adalah tradisi. Tradisi gereja masih dipengaruhi oleh budaya yang bersifat patriarkhis. Suami merupakan penguasa dalam keluarga. Wanita diletakkan dalam posisi sub ordinat. Hal ini merupakan suatu bentuk ketidakadilan gender yang mendasar. Namun Perjanjian Baru memandang bahwa laki-laki dan perempuan adalah sama, sehingga dengan jelas Perjanjian Baru menolak segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga.
Berdasarkan hal tersebut maka perlu diadakan perubahan penafsiran kitab suci, terutama Kitab Perjanjian Lama.

2. Aspek Teologi dan Filsafat
Dalam Kristen, baik itu Katolik maupun Protestan, pencitraan Allah adalah sebagai Bapak, sehingga muncul pandangan bahwa Allah adalah laki-laki. Hal ini mengontruksikan suatu pemikiran bahwa laki-laki adalah penguasa dalam keluarga sehingga sangat berpotensi

menimbulkan kekerasan dalam rumah tangga.
Sesungguhnya hubungan manusia dengan Allah adalah bersifat personal sehingga Allah
dapat mempersonifikasikan diri sebagai Bapak maupun sebagai Ibu.

3. Aspek Kitab Suci
Untuk memahami Kitab Suci perlu dipahami latar belakang penulis. Dalam Kejadian 2 pasal 2 ayat (5) disebutkan bahwa perempuan merupakan manusia kedua, perempuan sebagai penggoda. Teks normatif ini sangat berpotensi memunculkan kekerasan dalam rumahtangga jika ditafsirkan secara salah. Padahal dalam Kejadian 1 ayat (26) disbutkan bahwa Allah menciptakan laki-laki dan perempuan sama secitra dengan Allah, keduanya adalah baik.
Dalam Kitab Perjanjian Lama, banyak ketentuan-ketentuan yang menempatkan perempuan sebagai mahkluk kedua, dan diposisikan pada posisi yang sub ordinat. Hal ini sangat berpotensi memunculkan kekerasan psikologis dalam keluarga.

Pencitraan perempuan yang cenderung terasa tidak adil gender ini diperbaharui dan diformulasikan kembali dalam Kitab Perjanjian Baru. Dalam Kitab Perjanjian Baru, perempuan mendapat posisi yang sejajar dengan laki-laki. Yesus menempatkan  perempuan pada posisi yang harus dihormati. Bahkan karena dianggap terlalu memuliakan perempuan dan terlalu memperjuangkan perempuan inilah kemudian Yesus ditangkap dan kemudian dihukum salib oleh penguasa pada waktu itu yang memegang faham patriarkal.

4. Aspek Ajaran Gereja
Dalam pandangan Gereja Katolik, perempuan dianggap mempunyai martabat yang sama dengan laki-laki. Mereka mempunyai hak untuk berperan dalam masyarakat. Pengakuan kesejajaran antara laki-laki dan perempuan haruslah dihormati. Gereja mengemukakan sikap keterbukaan dalam keluarga, sehingga interaksi dalam keluarga muncul kesejajaran. Gereja Katolik dengan jelas bersikap tidak toleran terhadap ketidakadilan, termasuk ketidakadilan gender yang berpotensi memicu kekerasan dalam keluarga.

Dalam Katolik ada satu komisi yang melayani urusan keluarga yaitu pastoral keluarga yang bertugas melakukan pendampingan keluarga, untuk menanggulangi munculnya kekerasan dalam rumahtangga, termasuk perceraian.

Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa Gereja Katolik menolak ketidakadilan gender. Tetapi untuk mewujudkan keadilan gender dalam masyarakat masih terdapat hambatan yaitu faktor tradisi patriarkhis.












BAB III
Kesimpulan

Dari uraian-uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa;
1.      Gender adalah pembedaan peran dan tanggung jawab antar perempuan dan laki-laki sebagai hasil konstruksi sosial budaya masyarakat, yang dapat berubah sesuai dengan tuntutan perubahan zaman. Sedangkan seks (jenis kelamin: laki-laki dan perempuan) tidak berubah dan merupakan kodrat Tuhan.
2.      Dalam ajaran agama Islam tidak ada perbedaan antara perempuan dan laki-laki,  baik sebagai hamba Allah, sebagai khalifah di bumi, sebagai hamba yang mempunyai tanggung jawab, sebagai hamba yang terlibat dalam drama kosmis, dan sebagai hamba yang berpotensi meraih prestasi.

3.      Perbedaan di dalam Alqur’an ditemukan dalam masalah waris, kesaksian dan kepemimpinan dalam keluarga.

4.      Kisah-kisah kejadian Adam dan istrinya Hawa dalam Alquran tidak ditemukan secara kronologis, namun pemberitaan yang sangat mirip dengan kitab Kejadian (Alkitab) ditemukan dalam kitab-kitab Tafsir dan Sejarah Islam klasik, dan pemberitaan yang dihubungkan dengan Nabi Muhammad SAW. (Hadis).

5.      Untuk menghindari ketidak-adilan antara perempuan dan laki-laki perlu  penafsiran ulang terhadap nash-nash yang bias gender.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FORMULIR KONTAK

Nama

Email *

Pesan *