BAB I
Pendahuluan
Latar Belakang
Masalah kesadaran gender dalam beberapa
dasawarsa belakangan ini, termasuk di Indonesia telah mencuat ke permukaan.
Berbagai struktur dan kultur yang selama ini mengabaikan perempuan digugat; dan
upaya dekonstruksi terhadap pemahaman dan pelaksanaannya dilakukan.
Salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya
kesenjangan gender adalah dikarenakan bermacam-macamnya penafsiran tentang
pengertian gender itu sendiri. Seringkali gender dipersamakan dengan sex (jenis
kelamin laki-laki dan perempuan), dan
pembagian jenis kelamin laki-laki dan perempuan ini serta peran dan
tanggung-jawabnya masing-masing, telah dibuat sedemikian rupa dan berlalu dari
tahun ke tahun bahkan dari abad ke abad, sehingga lama kelamaan masyarakat
tidak lagi mengenali mana yang gender
dan mana yang sex. Bahkan peran gender oleh masyarakat kemudian diyakini
seolah-olah merupakan kodrat yang diberikan Tuhan.
Sebagai akibat dari pembagian peran dan
kedudukan yang sudah melembaga antara laki-laki dan perempuan, baik secara
langsung –berupa perlakuan/sikap, maupun tidak langsung –berupa dampak suatu
peraturan perundang-undangan dan kebijakan, telah menimbulkan berbagai
ketidak-adilan. Ketidak-adilan ini telah mengakar dalam sejarah, adat-istiadat,
norma hukum ataupun struktur dalam masyarakat.
Ketidak-adilan ini boleh jadi timbul
dikarenakan adanya keyakinan dan pembenaran yang ditanamkan sepanjang peradaban
manusia dalam berbagai bentuknya, yang tidak hanya menimpa kepada kaum
perempuan, akan tetapi juga menimpa kaum laki-laki; walau secara menyeluruh
ketidak-adilan gender dalam berbagai kehidupan ini lebih banyak menimpa kaum
perempuan.
Perbedaan secara biologis antara laki-laki dan
perempuan telah mempunyai impelementasi di dalam kehidupan sosial budaya.
Persepsi yang seolah-olah mengendap di dalam bawah sadar seseorang ialah jika
seseorang mempunyai atribut biologis, seperti penis pada diri laki-laki atau
vagina pada diri perempuan, maka itu juga menjadi atribut gender yang
bersangkutan dan selanjutnya akan menentukan peran sosialnya di dalam
masyarakat.
Bab II
Pembahasan
A. Pengertian Gender dan agama
1. Gender adalah pembagian peran kedudukan, dan tugas
antara laki-laki dan perempuan ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan sifat
perempuan dan laki-laki yang dianggap pantas sesuai norma-norma, adat istiadat,
kepercayaan, atau kebiasaan masyarakat.
2. Agama adalah sebuah koleksi terorganisir dari
kepercayaan, sistem budaya, dan pandangan dunia yang menghubungkan manusia
dengan tatanan/perintah dari kehidupan
B.Gender
dalam Perspektif Agama Kristen
Dalam Undang-Undang Perkawinan pasal 30
disebutkan bahwa keluarga adalah susunan sendi dasar masyarakat. Kalau kita
ingin menegakkan kemitrasejajaran antara laki-laki dan perempuan dalam
masyarakat, maka harus dimulai dari keluarga. Namun saya percaya, kita akan
berhadapan dengan teks-teks agama agama yang ditafsirkan secara tradisional.
Maka dalam pendahuluan ini sayua ungkapkan, dalam rangka untuk mewujudkan
kemitrasejajaran antara laki-laki dan perempuan, maka kita harus berani secrara
kritis mereinterpretasikan dengan memahami kontekstual teks historis kritis. Di
lingkungan agama kristen, memang masih cukup banyak penindasan terhadap perempuan.
Sebelum tahun 60, perempuan tidak mempunyai hak yang sama untuk ikut memilih anggota majlis gereja, apalagi
menduduki jabatan itu. Baru tahun 67/68 perempuan perempuan mempunyai hak untuk
memilih, tetapi belum berhak menduduki.
Kemudian baru tahun 70-a ada anggota majelis
gereja perempuan dan itupun jumlahnya masih sangat langka. Baru tahun 90-an ada
pendeta perempuan. Jadi memang secara kelembagaan, penghargaan terhadap
kesetaraan laki-laki dan perempuan masih dipertanyakan.Keberadaan laki-laki dan
perempuan, dalam Al-Kitab, digambarkan bahwa sebenarnya hakekat laki-laki dan
perempuan adalah setara. Kejadian 1 ayat (27), Mazmur 8 ayat (59)
menggambanrkan bahwa Tuhan menciptakan manusia segambar dengan Allah. Dalam
penafisran saya, bukan berarti Tuhan punya telinga dan sebagainya, tetapi
manusia selain merupakan anugerah sebagai mahkluk yang mulia, juga mempunyai
kewajiban untuk mencerminkan citra Allah yang mulia. Dalam Kejadian 2 ayat
(15-18) disebutkan ; “Tuhan menciptakan manusia di taman Eiden untuk
mengusahakan dan memelihara Eiden. Saya mempunyai penafisran baru bahwa Eiden
itu bukan merupakan suatu tempat, tetapi merupakan sebuah kondisi, yang kita
sebagai orang yang beriman menggambarkannya sebagai salam, salom,sahdu dan
sandu. Suasana di mana relasi manusia dengan Allah, relasi manusia dengan
sesama, dengan lingkungan terjadi harmonisasi.
Ditegaskan khususnya dalam di Kejadian 2 ayat
(18); “Tidak baik manusia itu seorang diri saja, aku memberikan penolong yang
sepadan dengan dia.” Teks ini secara tradisional ditafsirkan hadirnya seorang
perempuan bagi laki-laki. Saya mencoba melakukan reinterpretasi bahwa manusia
jangan merasa sombong. Maksudnya orang sadar bahwa dalam mengelola Eiden ini
dia membutuhkan orang lain serta bagaimana orang menerima kehadiran orang lain
sebagai penolong yang diberikan oleh Allah dan punya kedudukan yang sama. Hal
ini mempunyai konteks umum dan khusus. Konteks umum adalah bagaimana orang
menerima kehadiran orang lain sebagai penolong, bukan sebagai rival yang harus disingkirkan.
Sedangkan dalam konteks khusus adalah bagaimana seseorang menyambut istri atau
suami. Sedangkan dalam hal panggilan untuk berkeluarga, secara ekplisit Yesus
mengajarkannya dalam Mattius 19, ayat (1-12).
Secara garis besar bisa dipaparkan; Yang pertama,bagaimana menjaga agar
keluarga itu lestari dan kekal. Yang kedua, bagaimana jika memang harus terjadi
perceraian.
Dalam ayat 12 disebutkan; “Ada orang yang yang
tidak dapat kawin karena memang ia lahir demikian dari rahim ibunyadan ada
orang yang dijadikan demikian oleh orang lain. Ada orang yang membuat dirinya
demikian karena kemauannya sendiri oleh karena kerajaan Allah.” Jadi orang
dapat membuat keputusan demikian demi pengabdian pada Tuhan, sesama dan
lingkungan. Secara kelembagaan tidak ada ketentuan selibat.
Di zaman Yesus, terdapat tiga mazhab, yaitu
Mazhab Farisi, Mazhab Bilel dan Mazhab Sama’i. Mazhab Bilel merupakan pengaruh
dari Hamaliel. Dalam mazhab ini, perempuan diletakkan pada posisi yang rendah,
sehingga laki-laki boleh menceraikan perempuan dengan alasan apa saja.
Terkait dengan masalah tersebut, Yesus
memberikan pengajaran; “Tidakkah kamu membaca bahwa Tuhan menciptakan manusia
sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan. Sebab itu laki-laki
meninggalkan ayah dan ibunya bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi
satu daging, mereka bukan lagi dua melainkan satu. Karena itu apa yang telah
dipersatukan oleh allah tidak boleh diceraikan oleh manusia.”
Jawaban Yesus ini akan saya sistemasir dalam
empat prinsip dasar penghayatan perkawinan. Pertyama, dari teks bahwa Allah
menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan.
Dalam hal ini saya menangkap bahwa orang mengahayati perkawinan itu dalam
kesadaran diri sebagai ciptaan Allah yang terhormat. Dengan kesadaran bahwa
saya adalah ciptaan Allah yang punya kehormatan, maka saya akan memperlakukan
istri saya juga dalam pengkudusan dan kehormatan. Jadi perkawinan bukan hanya
kebutuhan biologis semata. Pasangan saya bukan sekedar alat pemuas bagi saya,
pasangan saya adalah manusia yang harus saya kuduskan dan saya hormati.
Kedua, bahwa teks ini disusun di zaman yang sangat
kental dengan budaya patriarkhi. Yang dikatakan meninggalkan ayah dan ibunya
hanya laki-laki, seharusnya semua. Menurut tafsiran ugal-ugalan saya terhadap
teks Matius 19 itu adalah bahwa
perempuan juga harus meninggalkan ayah dan ibunya bersatu dengan
suaminya.Sebenarnya pelaksanan dalam masyarakat protestan, perempuan juga
meninggalkan orangtuanya, tetapi mereka masih sangat takut untuk melakukan teks
kritik, sehingga tidak berani secara ekplisit mengeluarkannya. Meninggalkan
ayah dan ibunya itu bukan berarti meninggalkan kekerabatan dan tanggungjawabnya
untuk menghormati orangtua, tetapi mandiri. Orang yang sudah berani menikah
berarti dia juga harus sudah berani mandiri, baik secara materiil maupun
mandiri secara spiritual.Yang ketiga, dalam teks dikatakan bahwa keduanya
menjadi satu daging, mereka tidak lagi dua melainkan satu.
Hal ini berarti bahwa Yesus mengajarkan bahwa
perkawinan merupakan satu kesatuan yang utuh dalam ikatan lahir batin antara
seorang laki-laki dan seorang perempuan. Hal ini senada dengan Undang-Undang
Perkawinan, terutama pasal 1 yang berbunyi; “Hakekat perkawinan adalah ikatan
lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan untuk membentuk keluarga bahagia.” Ikatan lahir batin di sini
harus dipahami secara utuh, buikan hanya ikatan lahir atau batin saja. Ikatan
lahir saja tanpa ikatan batin berarti tidak utuh, tetapi ikatan batin tanpa
iktan lahir juga tidak bisa. Dalam Kurintus 7 ayat (3 dan 4) dinasehatkan
demikian; “Hendaknya suami memenuhi kewajibannya terhadap istrinya demikian
istri terhadap suaminya. Istri tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi
suaminya, demikian pula suami tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi
istrinya.” Hal ini berarti ikatanm dalam perkawinan bukan hanya ikatan batin
saja. Yang keempat, Dalam teks dikatakan bahwa apa yang telah dipersatukan
Allah jangan diceraikan. Di sini Yesus mengajarkan bahwa perkawinan itu bagian
dari karya Allah. Dalam Undang-Undang Perkawinan pasal 2 disebutkan, “Perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan,
tiap-tiap perkawinan disahkan oleh Undang-Undang.” Undang-Undang Perkawinan
kita cukup tegas menyatakan bahwa perkawinan adalah peristiwa religius.
Kesadaran bahwa perkawinan merupakan karya Allah ini menuntut sebuah
tanggungjawab, yaitu jika saya merusak perkawinan berarti saya merusak karya
Allah. Namun di sisi lain, kita harus optimis jika perkawinan itu karya Allah
berarti Tuhan akan memberi jalan keluar jika terjadi permasalahan.
Tanggung Jawab Mewujudkan Keluarga Bahagia dan
Kekal Dalam Undang-undang perkawian dijelaskan bahwa tujuan perkawianan adalah
mewujudkan keluarga yang bahagia. Namun jika kita mau jujur, seringkali tujuan
itu kita lupakan. Ketika kita asyik dengan karier kita, maka keluarga kita
bukan rumah, tetapi karier kita. Dalam Protestan, tuntunan untuk mewujudkan
keluarga bahagia ini terdapat dalam Mazmur 128 ayat (1-3) yang berbunyi:
“Berbahagialah setiap orang yang takut akan Tuhan, yang hidup menurut jalan
yang ditunjukkannya. Apabila engkau memakan hasil jerih payah tanganmu,
berbahagialah engkau dan baiklah keadaanmu. Istrimu akan menjadi pohon anggur
yang subur dalam rumahmu, anak-anakmu menjadi pohon zaitun sekeliling
mejamu.”Dalam tafsiran saya terhadap teks tersebut, ada tiga tonggak yang
menunjang kebahagiaan keluarga; pertama, bagaimana keluarga itu membangun sikap
takut akan Tuhan dan hidup menurut jalan yang ditunjukkan-Nya.
Termasuk juga bagaimana keluarga itu mengambil
keputusan etis untuk tetap taat pada Tuhan.Yang kedua, makan dari hasil jerih
payah tangan sendiri. Itu sebabnya mengapa dalam keluarga perlu dibangun etos
kerja, cinta kerja. Bahkan dalam Amsal 16 ayat (8) disebutkan bahwa lebih baik
berpenghasilan sedikit dalam kebenaran, dari pada penghasilan banyak tanpa
keadilan. Tonggak ketiga, menjadikan keluarga atau rumah sebagai tempat kembali
(home sweet home/ kerasan di rumah). Dalam Mazmur yang telah disebutkan bahwa
hal ini diilustrasikan sebagai anggur dan anak sebagai zaitun. Ini adalah
metafora untuk menggambarkan fungsi yang positif yaitu menciptakan kehangatan.
Keluarga mempunyai fungsi kehangatan (anggur), sehingga suami istri harus
saling mendorong untuk mengaktualisasikan diri dalam keluarga. Anggur juga
berfungsi untuk mengobati, yang berarti bahwa
keluarga harus berfungsi mengobati bagi masing-masing anggota keluarga.
C. Gender
dalam Perspektif Agama Katholik
Dalam perkembangan sejarah, kehidupan diatur
oleh kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Dalam keluarga, pada umumnya,
pengaturan kehidupan ini diatur oleh laki-laki. Tetapi ada juga, dalam
kasus-kasus tertentu perempuan yang menjadi kepala keluarga. Lebih dominannya
satu jenis seks, baik itu laki-laki maupun perempuan dapat menimbulkan
ketimpangan antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga dan biasanya yang
lebih dominan adalah laki-laki. Menghadapi ketimpangan seperti ini, seringkali
orang lari pada agama untuk mencari solusi.
Permasalahan gender dalam Katolik tidak
terlepas dari konteks tradisi dan budaya, khususnya budaya agama Yahudi. Dalam
agama Yahudi, laki-laki mempunyai posisi yang lebih dominan dibandingkan dengan
perempuan. Dominasi ini menciptakan ketidakadilan gender. Ketika suatu
perbuatan itu dilakukan oleh laki-laki, maka dianggap sebagai suatu kebenaran.
Begitu juga di Indonesia, ajaran kristen tidak dapat terlepas dari budaya warga
Indonesia.
Dalam Kejadian 2 disebutkan bahwa Allah
menciptakan manusia dari bumi. Manusia yang pertama kali diciptakan adalah
Adam. Kemudian dari tulang rusuk Adam diciptakanlah Hawa. Kemudian disebutkan
bahwa Adam jatuh ke dalam dosa karena Hawa. Teks ini memunculkan pandangan
bahwa perempuan adalah manusia kedua. Perempuan juga dipandang sebagai sumber
dosa. Katholik mengambil teks ini sebagai dasar pandangan hubungan (relasi)
antara laki-laki dengan perempuan. Hubungan ini dipandang hanya berdasarkan
jenis kelamin saja. Posisi sub ordinat perempuan seperti inilah yang menjadi
dasar pandangan awal gereja mengenai perempuan.
Namun dalam perkembangan selanjutnya, seiring
dengan perkembangan zaman, Gereja menolak ketidakadilan gender, baik dalam
keluarga maupun dalam masyarakat. Gereja memperhatikan dengan serius
dasar-dasar ajaran agama, yaitu; tradisi, teologi dan filsafat, kitab suci
serta ajaran gereja dengan pastoral lainnya.
1. Aspek Tradisi
Salah satu sumber ajaran iman dan moral
Katolik adalah tradisi. Tradisi gereja masih dipengaruhi oleh budaya yang
bersifat patriarkhis. Suami merupakan penguasa dalam keluarga. Wanita
diletakkan dalam posisi sub ordinat. Hal ini merupakan suatu bentuk
ketidakadilan gender yang mendasar. Namun Perjanjian Baru memandang bahwa
laki-laki dan perempuan adalah sama, sehingga dengan jelas Perjanjian Baru
menolak segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga.
Berdasarkan hal tersebut maka perlu diadakan
perubahan penafsiran kitab suci, terutama Kitab Perjanjian Lama.
2. Aspek Teologi dan Filsafat
Dalam Kristen, baik itu Katolik maupun
Protestan, pencitraan Allah adalah sebagai Bapak, sehingga muncul pandangan
bahwa Allah adalah laki-laki. Hal ini mengontruksikan suatu pemikiran bahwa
laki-laki adalah penguasa dalam keluarga sehingga sangat berpotensi
menimbulkan kekerasan dalam rumah tangga.
Sesungguhnya hubungan manusia dengan Allah
adalah bersifat personal sehingga Allah
dapat mempersonifikasikan diri sebagai Bapak
maupun sebagai Ibu.
3. Aspek Kitab Suci
Untuk memahami Kitab Suci perlu dipahami latar
belakang penulis. Dalam Kejadian 2 pasal 2 ayat (5) disebutkan bahwa perempuan
merupakan manusia kedua, perempuan sebagai penggoda. Teks normatif ini sangat
berpotensi memunculkan kekerasan dalam rumahtangga jika ditafsirkan secara
salah. Padahal dalam Kejadian 1 ayat (26) disbutkan bahwa Allah menciptakan
laki-laki dan perempuan sama secitra dengan Allah, keduanya adalah baik.
Dalam Kitab Perjanjian Lama, banyak
ketentuan-ketentuan yang menempatkan perempuan sebagai mahkluk kedua, dan
diposisikan pada posisi yang sub ordinat. Hal ini sangat berpotensi memunculkan
kekerasan psikologis dalam keluarga.
Pencitraan perempuan yang cenderung terasa tidak
adil gender ini diperbaharui dan diformulasikan kembali dalam Kitab Perjanjian
Baru. Dalam Kitab Perjanjian Baru, perempuan mendapat posisi yang sejajar
dengan laki-laki. Yesus menempatkan
perempuan pada posisi yang harus dihormati. Bahkan karena dianggap
terlalu memuliakan perempuan dan terlalu memperjuangkan perempuan inilah
kemudian Yesus ditangkap dan kemudian dihukum salib oleh penguasa pada waktu
itu yang memegang faham patriarkal.
4. Aspek Ajaran Gereja
Dalam pandangan Gereja Katolik, perempuan
dianggap mempunyai martabat yang sama dengan laki-laki. Mereka mempunyai hak
untuk berperan dalam masyarakat. Pengakuan kesejajaran antara laki-laki dan
perempuan haruslah dihormati. Gereja mengemukakan sikap keterbukaan dalam
keluarga, sehingga interaksi dalam keluarga muncul kesejajaran. Gereja Katolik
dengan jelas bersikap tidak toleran terhadap ketidakadilan, termasuk
ketidakadilan gender yang berpotensi memicu kekerasan dalam keluarga.
Dalam Katolik ada satu komisi yang melayani
urusan keluarga yaitu pastoral keluarga yang bertugas melakukan pendampingan
keluarga, untuk menanggulangi munculnya kekerasan dalam rumahtangga, termasuk
perceraian.
Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa
Gereja Katolik menolak ketidakadilan gender. Tetapi untuk mewujudkan keadilan
gender dalam masyarakat masih terdapat hambatan yaitu faktor tradisi
patriarkhis.
BAB III
Kesimpulan
Dari
uraian-uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa;
1. Gender adalah pembedaan peran dan tanggung
jawab antar perempuan dan laki-laki sebagai hasil konstruksi sosial budaya
masyarakat, yang dapat berubah sesuai dengan tuntutan perubahan zaman.
Sedangkan seks (jenis kelamin: laki-laki dan perempuan) tidak berubah dan
merupakan kodrat Tuhan.
2. Dalam ajaran agama Islam tidak ada perbedaan
antara perempuan dan laki-laki, baik
sebagai hamba Allah, sebagai khalifah di bumi, sebagai hamba yang mempunyai
tanggung jawab, sebagai hamba yang terlibat dalam drama kosmis, dan sebagai
hamba yang berpotensi meraih prestasi.
3. Perbedaan di dalam Alqur’an ditemukan dalam
masalah waris, kesaksian dan kepemimpinan dalam keluarga.
4. Kisah-kisah kejadian Adam dan istrinya Hawa
dalam Alquran tidak ditemukan secara kronologis, namun pemberitaan yang sangat
mirip dengan kitab Kejadian (Alkitab) ditemukan dalam kitab-kitab Tafsir dan
Sejarah Islam klasik, dan pemberitaan yang dihubungkan dengan Nabi Muhammad
SAW. (Hadis).
5. Untuk menghindari ketidak-adilan antara
perempuan dan laki-laki perlu penafsiran
ulang terhadap nash-nash yang bias gender.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar