MD/Photo: Tigi peke, Tibar |
MD-PAGI itu, sang mentari nampak berwajah kemerah – merahan
karena agak malu untuk keluar dari peraduannya, lalu sang ayam pun terus
memanggil sang mentari untuk keluar dari peraduannya. Bukan hanya ayam, para Burung
(Wiguwi) pun saling bersahut – sahutan dipinggir Rumah bertanda mereka sangat
gembira atas datangnya pagi.
Sementara angin tetap berdesir, bertiup, menari – nari
melambai kesana kemari diantara hijaunya pepohonan yang nampak basah namun
kelihatan segar karena sang embun tetap pada tugasnya, memberikan kesegaran
pagi.
Lambat laun akhirnya sang mentari pun mulai bangun dan pelan – pelan mulai menyinari bumi, ayam
tidak lagi berkokok karena mereka harus mencari makan dihutan agar tidak ketinggalan
dari yang lainnya. Demikian pun dengan para Burung (wiguwi) yang juga akhirnya
berhenti setelah bernyanyi dipagi hari
itu.
Setelah hari semakin siang, para warga segera bekerja
ditempat kerja masing – masing. Nampak seorang bapak – bapak segera memakai
capingnya, memanggul cangkulnya, dan bergegas ke ladangnya untuk mencangkul,
dan mencangkul, lalu setelah mencangkul ia segera mendapatkan banyak rupiah
dari Hasilnya. Bagi bapak tersebut, cangkul adalah uang, karena dengan cangkul,
dia dapat menghidupi anak istrinya, menghidupi keluarganya, karena cangkul bagi
dia adalah sumber penghasilnnya.
West Tigi |
Tigi Barat adalah tempat dengan sejuta warna – warni simphoni
alam yang luar biasa, itulah sebuah kampungku, yang barangkali tidak semua
orang dapat mengatakan demikian. Tigi Barat atau Yang sering Dikenal dengan Tibar
itu hanya kampung biasa dengan nuansa pedesaan yang pelosok yang sangat umum seperti
di pelosok lainnya, dan bahkan barangkali ada juga yang mengatakan itu adalah
kampungnya orang – orang primitif, yang tidak peka terhadap zaman.
Ah, biarkan walaupun orang menilai apapun terhadap kampungku,
tetapi bagi sebagian orang, termasuk diriku, Disana Kampungku adalah kampung surga,
atau surganya kampung Tigi Barat, dan barangkali itu hanya dapat dirasakan oleh
segelintir orang saja.
Bayangkan saja, selain indahnya pesona alam berbalut dengan
kealamiannya, kampung ini juga menyimpan potensi sumber daya manusianya, keharmonisan
dan kerukunan bertetangga selalu dijaga, bahkan ketika membangun membuat suatu
pekerjaan pasti mereka bersama menyelesaikannya secara kompak dan tanpa pamrih,
mereka para warga itu secara sukarela membersihkan jalanan kampung agar
terlihat bersih dan nyaman dilewati.
Begitu juga ketika ada tradisi Adat (bakar batu batu) oleh
salah satu penduduk setempat, para warga pun dengan sukarela untuk hadir
merayakan acara tersebut untuk membantu suksesnya tradisi adat tersebut. Inilah
kampungku.
Yang barangkali nuansa gotong royong, yang dibalut dengan nuansa
kekeluargaan dan rasa saling memiliki satu warga dengan warga lain itu masih sangat
kental. Inilah kampungku, yang diantara hijaunnya pepohonan, sepoinya angin yang
berhembus di pematang kebun, Negeri Indah terpesona dipinggir Danau disana
Tersimpan Sejuta Kenangan, yang diwarnai dengan sejuta cerita, Rindu ketika
melihat foto alamku. memandang kedanau Lembah (memi) yang membentang dipinggir danau Tigi memberi
sebuah kecantikan Alam yang terpesona. Abadi akan semua kenangan di Negeri
Tanah Hitam, odeida dengan berbagai tumbuhan yang menghiasi Alamku yang indah.
Ah aku pun jadi berfikir, aku tak ingin keluar dari tempat ini, karena aku
sudah merasa nyaman berada dikampung ini, merasa telah berada disurga.
Penulis adalah: Koteka Son
Penulis adalah: Koteka Son
Tidak ada komentar:
Posting Komentar