Jumat, 15 Januari 2016

Pemekaran dan Proses Pemusnahan Manusia Papua Melalui Pendidikan

MD/Prajurit TNI menjadi guru di Papua

Di atas batu ini saya meletakkan peradaban orang Papua, sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi, akal budi dan marifat tetapi tidak dapat memimpin bangsa ini, bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri,” oleh Pdt. I.S. Kijne, Wasior-Manokwari, tanggal 25 Oktober 1925".

 
BICARA soal pendidikan di Indonesia pasti tidak ada ujungnya. Pernyataan itu kerap muncul di kalangan terpelajar seperti organisasi-organisasi gerakan mahasiswa dan masyarakat. Pendidikan di Indonesia hari ini punya banyak kontroversi, lebih-lebih di kalangan elit institusi pendidikan di Indonesia. Satu hal menarik yang akan saya angkat dalam tulisan ini adalah soal situasi pendidikan di Papua dari kacamata negatif, dalam arti dampak yang kerap timbul dan berakar di Papua. Di samping itu, tulisan ini hendak menunjukkan proses menuju pemusnahan manusia Papua lewat pendidikan. Pemusnahan ini diartikan sebagai sebuah proses luntur dan hilangnya manusia Papua yang sesungguhnya.
 
Sebelumnya, saya sepakat dengan tulisan Johanes Supriyono berjudul “Pendidikan di Papua, Masalah Serius.”[1] Benar, pendidikan di Papua saat ini adalah masalah kompleks yang serius. Ada beberapa poin penting yang sudah diuraikan di dalam tulisan tersebut, soal kisah klasik pendidikan Papua, seperti cerita-cerita tentang gedung sekolah yang reyot, jumlah guru yang sedikit, dan minimnya ketersediaan buku-buku pelajaran di pedalaman. Kisah seperti ini dimiliki bukan saja oleh generasi sekarang. Generasi-generasi sebelumnya sudah lebih dulu mengalami.
 
Tidak banyak yang berbeda dari foto-foto gedung sekolah dasar di pedalaman Papua pada tahun 1980’an dengan yang ada sekarang ini. Boleh jadi, sepanjang sejarah berdirinya sekolah-sekolah di pedalaman, yang punya perpustakaan bisa dihitung jari. Profil sekilas murid-murid pun sama: sedikit yang mengenakan sepatu, seragam yang kumal, dan lusuh. Jumlah guru tidak bertambah secara signifikan. Bahkan, sekolah-sekolah di pedalaman Papua pada umumnya kekurangan guru.
 
Hal lain yang disinggung Supriyono adalah soal semangat pendidikan untuk pembebasan yang belum jadi semangat pendidikan kita. Semangat pendidikan ini antara lain ditandai lewat pemberian ruang utama untuk pengetahuan lokal. Peserta didik dibimbing untuk mengenali dirinya: sejarah, tanah kelahiran, silsilah, dan segala macam pengetahuan yang paling dekat dengan mereka. Semangat pembebasan diawali dengan mengenal diri sendiri dan perlahan mulai mengenali yang lain. Dengan demikian, anak-anak pun pada masanya akan mengerti secara lebih utuh diri mereka sendiri. Tanpa ruang untuk memahami diri sendiri, pendidikan bagi anak-anak Papua hanya akan membuat mereka jadi orang lain.
 
Dalam konstruksi pendidikan di Papua saat ini, di samping kedua masalah mendasar tadi, banyak juga masalah pendidikan yang mendera segala lini kehidupan manusia Papua. Tetapi yang mendasar adalah bagaimana untuk mencerdaskan manusia Papua untuk mengenali diri mereka.
 
Lalu bagaimana kita melihat proses masalah pendidikan yang saat ini dialami oleh orang Papua? Masalah ini adalah masalah riil yang saya sendiri alami. Beberapa poin penting yang perlu kita simak untuk menjawab pertanyaan ini adalah benarkah pendidikan di Papua jadi masalah serius sebab saat ini pendidikan justru menggiring pada proses pemusnahan manusia Papua? Dari sini kita mencoba untuk melihat titik masalah yang kerap timbul berdasarkan proses kerja pemerintah Indonesia.
 
Pemekaran Provinsi, Wilayah dan Kota
Saat ini, sebab utama dari tidak berkembangnya pribumi Papua adalah akibat pemekaran kota dan wilayah yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Salah satu momen penting lain dalam sejarah Papua adalah pembagian “bumi cenderawasih” ini jadi 1 provinsi baru dan puluhan daerah baru. Dalam kosakata pemerintah disebut pemekaran.
 
Sejarah Pemekaran Provinsi Papua dimulai sejak turunnya dua Undang-Undang (UU) yang sama sekali tidak berjalan, yaitu UU Nomor 45 tahun 1999 tentang pemekaran provinsi Papua menjadi tiga provinsi yaitu Provinsi Papua, Papua Tengah dan Papua Barat dan UU Nomor 5 tahun 2000. Setelah gagal dalam memberlakukan kedua UU tersebut, untuk meredam perjuangan nasionalisme Papua untuk merdeka, Pemerintah Indonesia mengeluarkan UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua (UU Otsus) yang ditandangani Presiden Indonesia ketika itu, Megawati Soekarno Putri dan mulai diberlakukan pada 21 November 2001.[2] Namun hingga saat ini, Provinsi Papua hanya dibagi menjadi dua provinsi besar, yaitu Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Tetapi untuk Papua Barat menjadi dasar pemekaran yang dibentuk tanpa payung hukum yang jelas.
 
Yang perlu dipahami di sini adalah, terbaginya kesatuan pulau Papua adalah bukti lain dari terkikisnya integrasi orang Papua dalam bentuk yang berbeda. Pemekaran wilayah dan kota menjadikan orang Papua susah untuk berpikir ke depan akan nasib mereka yang memiliki banyak pemimpin dan impian luhung. Saat ini Provinsi Papua yang besar terbagi jadi dua provinsi besar yang sama-sama menjalankan peran dan fungsi pemerintahan sendiri-sendiri. Kalau kita tinjau dari sejarah orang Papua, kesatuan kebudayaan dari 250 lebih suku yang mengayomi pulau Papua membenarkan integritas dan kesatuan yang masih terbangun. Dampak terpecah-belahnya provinsi, daerah dan kota menjadikan orang Papua tidak mampu bersaing dengan arus globalisasi yang serba cepat datangnya.
 
Disamping itu, pulau Papua sendiri dibagi menjadi puluhan kabupaten dan kota. Dampak negatif utama arus modern yang menimpa masyarakat jauh melebihi yang diterima masyarakat di luar Papua seperti: Jawa, Sumatera, Kalimantan dan lain-lain. Contoh riil seperti di wilayah saya sendiri di Mee-pago. Wilayah Mee-pago dihuni oleh satu suku besar, yaitu suku Mee yang menjalani hidup dengan sistem kekerabatan yang memberikan kesejahteraan bagi suku Mee. Namun setelah diperluas jadi lima kabupaten, konflik internal pun terjadi hingga saat ini. Dengan permasalahan batas wilayah ditambah konflik perebutan jabatan antar elit politik. Masyarakat asli sendiri tidak mampu bersaing dengan orang non-Papua yang datang hanya mencari nafkah dengan membuka usaha-usaha mereka. Keterbelakangan langgeng disebabkan sistem pemekaran yang dibuat oleh pemerintah pusat. Orang Papua dimanfaatkan untuk kepentingan elit politik semata.
 
Pemekaran juga membikin orang Papua menjadi malas untuk berkebun, membuka usaha sendiri, menjadi pendidik, dan lain-lain. Sistem pemekaran membuat orang Papua jauh meninggalkan kebudayaannya sendiri. Hal penting lainnya setelah pemekaran, orang asli Papua sendiri dibentuk untuk berlomba masuk ke dalam birokrasi pemerintahan yang ada.
 
Pemekaran Diterapkan, Guru-Guru Lama di Tarik ke Dinas
Sebelum pemekaran banyak sekali orang asli Papua yang dididik oleh pemerintah kolonial Belanda. Pemerintah kolonial Belanda mendorong orang asli Papua untuk menjadi pendidik dan menularkan ilmunya pada masyarakat. Setelah Pepera 1969, kepentingan Indonesia dan Amerika bersekongkol memanipulasi dan merekayasa Pepera tersebut. Proses penyadaran mental dan intelektual dalam pengetahuan yang didorong Belanda diambil alih Indonesia. Banyak sekali orang-orang, juga generasi ayah saya, yang tersingkir.
 
Setelah Soekarno membuat Papua menjadi satu provinsi dan lima kabupaten di tanah Papua, banyak sekali orang asli Papua bekas didikan Belanda yang tidak lagi menjadi guru. Mereka masuk ke dalam birokrasi pemerintahan pada waktu itu. Sampai saat ini orang Papua dalam sistem pendidikan sangat terjajah oleh peran pemerintah yang begitu ambisius melakukan suatu hal yang bertentangan dengan nilai dan budaya orang Papua setempat. Contoh riilnya di Mee-pago, ayah teman saya, seorang guru yang sudah mengajar pada tahun 1970’an hingga tahun 2009. Setelah 2010, akibat pemekaran wilayah dan kota dibuat oleh pemerintah Indonesia, ia tidak lagi mengajar di sekolah yang dulunya dia mengabdi.
 
Contoh lainnya, di Mee-pago. Pasca pemekaran guru-guru yang lama semua ditarik ke dinas. Hingga saat ini sekolah tersebut hampir ditutup karena tidak ada guru yang mau mengajar. Gedung sekolah pun tidak sama seperti gedung sekolah yang ada di perkotaan dan pedesaan. Hal ini terjadi akibat program pemerintah melalui pemekaran yang memecah-belah proses pendidikan secara sistematis.
 
Pemekaran Diterapkan, Orang Papua Dibentuk Untuk Tidak Mau Menjadi Guru
Pemekaran dibuat oleh pemerintah Indonesia, setelah itu orang Papua dibentuk untuk tidak tertarik menjadi guru. Hal ini terjadi di generasi orang asli Papua saat ini. Korbannya jelas generasi muda Papua. Para murid itu yang pada dasarnya punya hak mendapatkan pendidikan dan pengajaran yang layak[3].Saat ini, seperti yang sudah diuraikan sebelumnya, generasi ayah saya menjadi korban pemekaran, dan generasi saat ini mendapatkan hal yang sama. Pemekaran memberikan ruang yang besar tetapi sistem kerja imperialis membenarkan pembunuhan karakter dan watak orang Papua melalui kerja pemekaran yang dibuat secara sistematis.
 
Meski lapangan pekerjaan mulai tersedia, hampir semua orang, termasuk orang dari luar Papua berlomba menjadi pegawai negeri sipil atau pekerjaan dinas lainnya di Papua. Lapangan pekerjaan malah membunuh kebudayaan dan relasi sosial orang asli Papua. Misalnya, banyak sekali sanak saudara saya sendiri yang setelah selesai kuliah dari perguruan tinggi mengadu nasib ikut pemilihan jadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), ikut ujian CPNS, hingga lapangan pekerjaan lainnya yang serba instan yang dibuat oleh pemerintah. Generasi saat ini dibentuk untuk hidup instan bagai menunggu hujan datang di musim kemarau. 
 
Kurikulum Pendidikan Indonesia yang Bertentangan Dengan Nilai, Budaya, dan Sejarah Orang Papua
Berdasarkan pengalaman saya mengecap pendidikan dari Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah menengah Sekolah Menengah Atas (SMA), saya merasa kurikulum yang ada telah melepaskan orang Papua dari kebudayaan aslinya. Sewaktu kelas 4 SD, saya sudah diajarkan secara keras untuk belajar tentang kerajaan-kerajaan di Jawa, tentang kembalinya Papua dalam Indonesia dari versi Indonesia, belajar tentang kehidupan di Jawa, Sumatera, Kalimantan dan lain sebagainya. Juga belajar soal sejarah candi-candi, seperti Candi Borobudur, Candi Kalasan, dan lain sebagainya.
 
Hal yang kerap melintas dalam benak saya adalah, apakah yang hidup dahulu adalah mereka yang sudah saya belajar dari SD hingga SMA? Ataukah setelah saya selesai sekolah, saya akan dibentuk untuk ikut dengan apa yang mereka terapkan? Juga, apakah saya tidak mempunyai silsilah dan budaya? Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan lainnya yang sering muncul dan terekam dalam ingatan masa lalu saya.
 
Kalau seperti ini, sudah jelas proses pemusnahan karakter merujuk pada hilangnya nalar dan budaya orang Papua. Tentu ini masalah yang merujuk pada hilangnya identitas diri sebagai orang Papua. Tidak mengenali diri sendiri, tidak mengenali lingkungan sosial masyarakat Papua, bahkan tidak mengerti dan memahami eksistensi diri?
 
Kembali untuk memahami tulisan Supriyono di atas. Semangat pendidikan yang membebaskan harus menjadi semangat pendidikan kita. Semangat pendidikan ini antara lain ditandai dengan pemberian ruang utama untuk pengetahuan lokal. Sayangnyapendidikan yang membebaskan itu tidak dirasakan oleh orang Papua sebagai bangsa yang sedang ditindas.
 
Prospek nilai dan norma orang Papua tercermin erat dalam nilai-nilai adat yang mengikat lingkungan sosial orang Papua. Nilai dan norma itu sering dianggap sebagai suatu kekeliar, sebabnya karena kurikulum pendidikan pemerintah yang tidak sesuai dengan kearifan lokal orang Papua. Kehidupan orang Papua diubah untuk tidak mengenali diri sendiri sebagai orang Papua yang mempunyai identitas otonom. Semenjak SD hingga SMA saya tidak pernah mendapatkan pendidikan yang bermuatan budaya Papua.
 
Terkadang juga kita dipaksakan untuk belajar sejarah orang lain. Misalnya, ini tidak menyinggung pembaca atau siapa pun tetapi ini nyata dan perlu untuk kita memahami dan belajar tentang sejarah kemerdekaan Indonesia. Tidak ada satu pun orang Papua yang menjadi pahlawan proklamator Indonesia dan kita dipaksakan untuk belajar tentang hal ini. Tetapi proses sejarah orang Papua yang dimanipulasi oleh Indonesia dan Soekarno demi kepentingan mereka pun tidak diajarkan kepada orang Papua. Seakan yang kita belajar di bangku pendidikan hanyalah hasil rekayasa pemerintah untuk membenarkan bahwa Papua masuk ke Indonesia adalah murni berkat kemenangan Indonesia. Tetapi kita tidak sadar bahwa PBB, Amerika Serikat, dan Indonesia bekerja sama demi kepentingan ekonomi politik, hingga Pepera 1969 direkayasa Indonesia. Banyak sekali orang Papua yang memperjuangkan kebenaran pada saat itu, dibunuh oleh TNI (dulu ABRI) melalui aksi-aksi dan penyampaian pendapat yang mereka lakukan pada saat itu.
 
Memang, pendidikan di Papua dalam proses pembelajaran sangat tidak seksi. Pendidikan di Papua berbasis pada kepentingan kalangan tertentu yang dibuat oleh pemerintah pusat dengan cara-cara yang sistematis untuk membunuh dan memusnahkan watak orang Papua secara bertahap. Hingga sampai saat ini, orang Papua ada yang sudah melupakan budayanya mereka. Tentang silsilah orang Papua yang sesungguhnya pun sudah dimatikan dengan penerpaan pendidikan yang sudah di buat oleh pemerintah Indonesia.
 
Program SM3T dan Indonesia Mengajar, untuk Siapa?
Beberapa waktu lalu saya diikutsertakan dalam sebuah pertemuan mewakili mahasiswa Papua. Pertemuan tersebut membahas pengalaman para sarjana Indonesia yang ikut Program Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM3T) di seluruh Indonesia. Dalam pertemuan itu, para sarjana tersebut menceritakan pengalaman mereka ketika mengajar setahun di tempat mereka mengabdi, satu di antaranya di Papua. Sebagai orang Papua saya diminta menceritakan kondisi pendidikan di Papua. Banyak sekali keprihatinan, suka, duka mereka ketika mengajar di Papua. Mereka menceritakan banyak hal soal kondisi pendidikan riil di Papua menurut apa yang sudah mereka lihat dari kacamata pendidikan dan apa yang sudah mereka buat di Papua.
 
Mereka menceritakan pengalaman-pengalaman mereka sebelum seleksi SM3T dengan latihan naik gunung, melewati rawa, melewati sungai, dan masih banyak lagi. Ada sebuah cuplikan video yang mereka putar pada saat itu dan ini menarik untuk disimak soal pendidikan yang mereka berikan untuk murid orang asli Papua. Dalam video itu, beberapa dari mereka mengajarkan bernyanyi “Gundul-Gundul Pacul”, “Lagu Indonesia Raya dan sebuah lagu yang berasal dari daerah Kalimantan. Mereka mengajarkan tentang pendidikan dan keadaan di luar Papua. Dari pertemuan ini, setelah berpikir kembali tentang apa yang mereka lakukan di sana, saya malah menjadi bingung. Apa yang mereka ajarkan di Papua sangat bertentangan dengan kehidupan dan lingkungan sosial orang Papua yang sesungguhnya.
 
Sekarang kembali pada pemekaran yang dibuat pemerintah Indonesia. Satu alasan penting yang sudah diuraikan di atas, bahwa setelah adanya pemekaran di Papua orang asli Papua dibentuk untuk tidak menjadi guru. Proses itu diteruskan dengan bergulirnya program pemerintah Indonesia berupa program transmigrasi besar-besaran mulai dari Orde Lama, Orde Baru, hingga Reformasi saat ini. Demikian juga dengan program-program seperti SM3T dan Indonesia Mengajar yang berjalan hingga sampai sekarang. Lalu bagaimana dengan generasi Papua yang mau menjadi guru dan mengajarkan tentang pola kehidupan mereka sendiri? Ini menjadi pertimbangan besar setelah semua dibuat konstruktif dan sistematis oleh pemerintah Indonesia.
 
Dari pengalaman yang sudah diceritakan di atas, -pelajaran yang dapat dipetik adalah bagaimana guru-guru dari program SM3T dan Indonesia Mengajar menerapkan pola pendidikan yang bertentangan jauh dari kehidupan sosial budaya masyarakat yang sesungguhnya. Dan ini menyingkirkan dan memerosotkan nilai, budaya, dan sejarah orang Papua yang sesungguhnya. Apakah yang harus dipersalahkan adalah model pelatihan mereka sebelum diberangkatkan? Ataukah mereka harus diseleksi selama satu tahun untuk mengenali bumi Papua yang sebenarnya? Ini harus dilakukan supaya kita dapat memahami secara seksama terlebih dahulu kondisi masyarakat dimana mereka ditempatkan. Memang, pendidikan di Papua sangat tidak membebaskan.
 
TNI Menjadi Jawaban Dalam Pendidikan, Ironis!
Sejak 1 Mei 1963, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui UNTEA menyerahkan Papua kepada Indonesia demi persiapan New York Agreement (Pepera 1969). Tetapi setelah penyerahan tersebut, cepat-cepat Amerika menandatangani kontrak pertama PT Freeport pada tahun 1967, sebelum dilakukannya Pepera 1969, tanpa melibatkan orang Papua sebagai pemilik hal ulayat atas tanahnya sendiri.
Setelah itu, Tentara Nasional Indonesia (TNI) melakukan penyisiran-penyisiran dan kekerasan-kekerasan terhadap rakyat Papua, sebelum persiapan Pepera 1969. Hingga tahun 1969, Pepera dilakukan dengan banyak sekali pelanggaran yang dibuat oleh ABRI (TNI). Hingga Papua diserahkan secara paksa, masuk ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
 
Dalam sejarah singkat ini, yang saya mau sampaikan adalah bagaimana kawan-kawan mahasiswa dan masyarakat non-Papua bisa memahami sejarah orang Papua yang sesungguhnya. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, TNI hadir di atas tanah Papua menjadi trauma masa lalu orang Papua yang dilakukan pada Mei 1963, Pepera 1969, bahkan hingga saat ini.
 
Hampir di seluruh tanah Papua, TNI jadi aktor pembunuhan. Dengan berbagai stigma yang mereka berikan hanya karena orang Papua berambut gimbal maka mestilah ia separatis. Orang Papua yang mengajarkan budaya mereka dikatakan separatis, orang Papua yang melanggar birokrasi pemerintahan Indonesia dituduh makar dan lain sebagainya. Bukan hanya TNI, Polri juga ikut-ikutan melakukan berbagai pelanggaran terhadap kemanusiaa di Papua.
 
Ketakutan tersebut berdampak pada guru-guru orang Papua yang masih tersisa dan disingkirkan oleh pemerintah Indonesia. Kurangnya jumlah tenaga pengajar di Papua menjadi dalih bagi TNI untuk menjadi guru pengganti bagi orang asli Papua. Semua dibuat sistematis dan orang Papua sendiri akan saling menyalahkan satu sama lain.
 
Program SM3T dan Indonesia mengajar di Papua sejalan dengan proses pendidikan yang dilakukan oleh TNI. Kalau pandangannya seperti ini, maka jelas sekali bahwa program semacam ini bukanlah jawabannya. L alu mau dikemanakan orang Papua? Konteks pendidikan membenarkan kenyataan yang realistis saat ini di Papua. TNI datang mengajar, konsekuensinya guru-guru orang asli Papua pun tersingkirkan.
 
Sekarang kalau diamati, soal pendidikan yang diberikan TNI pada para pelajar Papua, jauh dari penerapan pendidikan yang sesungguhnya mesti membebaskan. Pendidikan berkurikulum saja menjadi masalah apa lagi TNI yang mengajar dengan pola mereka yang represif. Yang diajarkan pun paling-paling sekedar cara menyanyikan lagu Indonesia Raya, latihan baris-berbaris, berhitung, dan lain-lain. Semuanya menjauhkan segala bentuk budaya dan sejarah orang Papua. Kenyataan ini terjadi di pegunungan Papua, seperti Puncak Papua, Merauke, Puncak Jaya, Wamena, dan beberapa daerah terpencil lainnya di Papua.
 
Kesimpulan
Dari beberapa uraian singkat di atas, jelaslah bahwa pendidikan di Papua saat ini dalam sebuah proses pemusnahan pada subjek manusia Papua. Pemusnahan watak, cara, dan perilaku orang Papua dengan berbagai program, kebijakan, dan Undang-Undang yang dibuat berdasarkan kepentingan pemerintah Indonesia. Proses panjang tersebut, harus dipatahkan dengan pendidikan yang membebaskan dan radikal.
 
Satu hal penting yang perlu untuk kita orang Papua pahami adalah sama seperti yang diungkapkan oleh Pdt. I.S. Kijne dikutipan di atas. Sampai saat ini menjadi keyakinan orang Papua tentang hal ini. Orang Papua tidak akan berkembang dan bangkit, ketika mereka masih dipimpin orang lain.

Panulis adalah: Anak Koteka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FORMULIR KONTAK

Nama

Email *

Pesan *