Mimbar kemiskinan dan politik hidup |
Selama ini, pendekatan konvensional yang umumnya digunakan para ekonom dalam mengukur kemiskinan adalah dengan menggunakan indikator pendapatan atau konsumsi untuk mendefinisikan dan menentukan garis kemiskinan. Dalam perkembangannya, pendekatan konvensional itu telah banyak ditentang dengan pola pendekatan yang mencoba memasukkan kriteria-kriteria yang lebih luas.
Pemerintah perlu mencermati beberapa kriteria, yaitu pemenuhan kebutuhan pokok dan kapabilitas untuk menjadi dan melakukan sesuatu, yang secara intrinsik berharga bagi seorang manusia dalam kehidupannya. Amartya K Sen (1983) memperkenalkan konsep kapabilitas personal, yakni seseorang seharusnya memiliki sumber daya yang memadai untuk mencapai atau menjalankan seperangkat fungsinya sebagai manusia dalam kehidupannya. Hertel (2006) mencoba menyimpulkan tiga hal mendasar yang mencerminkan definisi hak-hak ekonomi. Hak-hak ekonomi tersebut mencakup hak untuk kecukupan standar hidup, hak untuk mendapat pekerjaan dan hak untuk memperoleh pendapatan dasar. Tentu menjamin mereka yang tidak mampu (anak-anak, pengangguran dan lainnya) agar bisa bertahan hidup.
Sejalan dengan pernyataan Sen di atas, dewasa ini berkembang pemikiran mengenai hak asasi manusia sebagai modal ekonomi. Younis (2004) menunjukkan, pada dasarnya kaum miskin pun memiliki kemampuan untuk mengakumulasi modal (kapital) baik fisik (infrastruktur), keuangan (kredit), maupun manusia (pendidikan). Kenyataannya, masih sedikit sekali perhatian yang diberikan pemerintah terhadap kaum miskin, dalam kaitannya mengenai kemampuan mereka mengakumulasi modal, seperti modal natural, kelembagaan, dan budaya. Hak asasi manusia seharusnya dapat dikatakan sebagai bentuk lain dari modal. Hak asasi manusia ini diperlukan kaum miskin untuk dapat diakumulasi agar bisa terlepas dari jeratan kemiskinannya.
Kemiskinan yang tak berkesudahan melilit bangsa ini memerlukan penanganan serius dari semua pihak. Pendekatan state-centered yang selama ini digunakan dalam mengatasi kemiskinan, sudah seyogianya bergeser ke arah penyelesaian masalah kemiskinan, melibatkan multiaktor dan pluralis. Kaum miskin pun jangan hanya dilihat sebagai masalah dalam angka, tetapi yang lebih penting, memberdayakan dan membuka akses bagi mereka seluas-luasnya untuk dapat berperan aktif dalam kegiatan ekonomi. Yang paling penting, jangan hanya sekadar melaporkan angka-angka kemiskinan, tetapi bagaimana melakukan langkah nyata dan dukungan bagi saudara-saudara kita yang belum beruntung, untuk dapat menjalani kehidupannya sebagai manusia yang bermartabat (Teddy Lesmana, peneliti pada Pusat Penelitian Ekonomi LIPI).
Atkinson dan Bourguignon (1999) menggunakan kerangka berpikir yang sama, tetapi dilihat dari perspektif kesejahteraan. Mereka mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidakcukupan kekuatan untuk mengakses sumber daya ekonomi. Sejumlah kapabilitas yang mutlak dimiliki seorang manusia dalam menjalankan kehidupannya, kemudian diterjemahkan ke dalam sejumlah persyaratan keperluan hidup yang relatif, setiap kelompok masyarakat dengan ukuran standar hidup dipandang layak dalam suatu kelompok masyarakat tertentu.
Setidaknya ada dua fokus perhatian mengenai kapabilitas yang diperlukan seorang manusia. Pertama, kapabilitas menyangkut kemampuan yang bersifat fisik, memerlukan sejumlah kebutuhan hidup yang mutlak diperlukan seperti makanan dan minuman, agar bisa memenuhi persyaratan gizi manusia dalam menjalankan hidupnya. Kedua, kapabilitas seorang manusia dalam menjalankan fungsi sosialnya dalam masyarakat. BAPPENAS menggunakan beberapa pendekatan utama antara lain; pendekatan kebutuhan dasar, pendekatan pendapatan, pendekatan kemampuan dasar, dan pendekatan obyektif dan subyektif.
Pendekatan kebutuhan dasar melihat bahwa kemiskinan sebagai suatu ketidakmampuan seseorang, keluarga dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan minimum, antara lain pangan, sandang, papan, pelayanan kesehatan, pendidikan, penyediaan air bersih dan sanitasi. Kemampuan dasar dinilai bahwa, kemiskinan sebagai keterbatasan kemampuan dasar seperti kemampuan membaca dan menulis untuk menjalankan fungsi minimal dalam masyarakat. Sedangkan pendekatan pendapatan melihat bahwa kemiskinan disebabkan oleh rendahnya penguasaan aset, dan alat-alat produktif seperti tanah dan lahan pertanian atau perkebunan, sehingga secara langsung mempengaruhi pendapatan seseorang dalam masyarakat. Pendekatan ini, menentukan secara kaku standar pendapatan seseorang di dalam masyarakat untuk membedakan kelas sosialnya.
Kemiskinan yang sekarang terus melanda Indonesia secara luas, pengangguran yang membengkak, meningkatnya jumlah balita yang kurang gizi (27 persen dari balita di Indonesia), korupsi yang terus merajalela, pada dasarnya merupakan produk kekuasaan politik. Tentu kemiskinan bukan hal yang dicita-citakan. Kemiskinan adalah kewajiban yang perlu diselesaikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar