TULISAN ini berawal dari kegelisahan penulis ketika membaca laporan-laporan tentang kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi bertahun-tahun di Tanah Papua. Puluhan (dan mungkin) ratusan kasus yang tercatat maupun yang tidak tercatat terus saja terjadi di Bumi Cenderawasih. Maka layaklah ketika banyak orang memberi predikat Papua sebagai “Tanah Bara”.
Insiden-insiden seperti penyiksaaan, penyerangan warga oleh aparat, peluru nyasar, konflik antar-suku sampai dengan penembakan misterius. Misalnya saja dalam Laporan Pemantauan Penembakan Misterius di Papua Januari-Juni 2012, insiden penembakan misterius (Petrus) meningkat dibanding tahun-tahun sebelumnya. Disebutkan berdasarkan catatan KontraS, telah terjadi 18 peristiwa penembakan yang mengakibatkan setidaknya 7 warga sipil dan satu jurnalis tewas, dan 10 orang mengalami luka kritis, (29/Mei/2012).
Belum lagi jika kita melihat berbagai kasus penyiksaan terhadap warga sipil yang terjadi bertahun-tahun sejak 1969. Kasus penyiksaan terakhir yang sempat mendapat perhatian dunia internasional adalah kasus Pdt. Kinderman Gire dan dua video penyiksaan warga oleh aparat yang beredar di Youtube. Dalam Laporan HAM KontraS: Kajian HAM KontraS Terhadap Definisi Penyiksaan di Papua (Studi Kasus Video Penyiksaan Youtube), dikatakan bahwa penyelidikan dan penegakan hukum terkait kasus-kasus diatas belum jelas. Bahkan ada indikasi pembiaran oleh negara yang terjadi.
Penegakan hukum memang terkait erat dengan kesadaran, baik negara maupun masyarakat, untuk menghormati dan menegakkan hukum.Perlakuan kasar, kesewenang-wenangan aparat pada masyarakat dan pelanggaran HAM memang seolah telah menjadi kelaziman dalam keseharian orang Papua. Orang Papua telah melihat dan mengalami kesewenang-wenangan dan superior aparat militer pemerintah selama bertahun-tahun.
Superioritas aparat tersebut diikuti oleh kurangnya pemahaman masyarakat asli Papua tentang hukum dan konsep HAM.Karena masih kurang melek hukum, keluguan orang Papua tersebut acap kali dimanfaatkan oknum aparat hukum untuk berlaku makin menjadi-jadi.
Kekerasan dan pelanggaran HAM atas orang asli Papua oleh oknum aparat terkadang memang berakhir tragis. Seringkali, korban tidak mendapatkan pengakuan akan martabatnya sebagai manusia karena putusan-putusan pengadilan yang tidak adil bagi para korban.
Sejauh yang penulis pelajari dalam laporan-laporan pelanggaran HAM, proses peradilan atas kasus hukum pelanggaran HAM di Papua memang tidak berimbang. Kasus-kasus besar seperti pembunuhan Theys Hiyo Eluay misalnya, penyidikan atas para pelaku tidak mendalam sehingga hanya menjerat pelaku di lapangan dan bukan para pembesar dan otak dibalik insiden tersebut.
Bahkan, hasil vonis yang diberikan juga malah menghina martabat para korban dan meremehkan keadilan bagi kaum lemah.Rata-rata vonis bagi para pelaku insiden kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua berkisar hanya 4 tahun.
Penulis melihat bahwa upaya demi penegakan hukum dan pencegahan pelanggaran HAM di Papua harus juga dilakukan lewat pembinaan masyarakat Papua sendiri. Dengan kesadaran akan kemanusiaan dan hak-haknya di muka hukum, orang Papua akan semakin pro-aktif mempertahankan dirinya dan membela hak-haknya atas nama hukum.
Konsep HAM
Seperti yang dinyatakan dalam Universal Declaration of Human Rights, hak asasi manusia adalah hak dasar yang dimiliki manusia sejak manusia itu dilahirkan.Hak asasi dapat dirumuskan sebagai hak yang melekat dengan kodrat kita sebagai manusia yang bila tidak ada hak tersebut mustahil kita dapat hidup sebagai manusia.
Dalam UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM, disebutkan dalam pasal 1 ayat 1 bahwa Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Hak ini dimiliki oleh manusia sematamata karena ia manusia, bukan karena pemberian masyarakat atau pemberian negara. Maka hak asasi manusia itu tidak tergantung dari pengakuan manusia lain, masyarakat lain, atau negara lain. Hak asasi diperoleh manusia dari Penciptanya, yaitu Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan hak yang tidak dapat diabaikan.
Manusia adalah makhluk Tuhan yang mempunyai martabat yang tinggi.Hak asasi manusia ada dan melekat pada setiap manusia.Oleh karena itu, bersifat universal, artinya berlaku di mana saja dan untuk siapa saja serta tidak dapat diambil oleh siapapun.Hak ini dibutuhkan manusia selain untuk melindungi diri dan martabat kemanusiaanya juga digunakan sebagai landasan moral dalam bergaul atau berhubungan dengan sesama manusia.
Pada setiap hak melekat kewajiban, karena itu selain ada hak asasi manusia, ada juga Kewajiban Dasar Manusia, seperti diatur dalam pasal 1 ayat 2 UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM. Kewajiban Dasar Manusia adalah kewajiban yang harus dilaksanakan demi terlaksana atau tegaknya hak asasi manusia (HAM). Dalam menggunakan Hak Asasi Manusia, kita wajib untuk memperhatikan, menghormati, dan menghargai hak asasi yang juga dimiliki oleh orang lain (sumber: http://anggunendras.blogspot.com/2012/03/pendidikan-kewarganegaraan-1_31.html)
Kekerasan dan Pelanggaran HAM di Papua
Ketika membahas kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi di Papua, memang seakan tak ada ujungnya.Insiden demi insiden terus terjadi, baik yang tercatat maupun yang tidak tercatat. Penyerangan kampung oleh aparat, insiden peluru nyasar, bentrok antar warga dengan aparat, penyiksaan, hingga penembakan misterius dan bentuk-bentuk lain dari pelanggaran HAM terus saja terjadi
Jika dirunut dari sejak integrasi Papua ke Indonesia hingga kini akan ada daftar panjang yang tidak terselesaikan. Jangankan kasus yang tidak tercatat, kasus yang tercatat saja banyak yang belum terselesaikan atau terselesaikan dengan menyisakan rasa tidak adil bagi korban.
Salah satu kasus besar yang menyita perhatian publik adalah kasus pembunuhan Dortheys Hiyo Eluay. Theys adalah mantan ketua Presidium Dewan Papua (PDP), yang didirikan oleh mantan Presiden Indonesia Abdurrahman Wahid sebagai perwujudan daripada status otonomi khusus yang diberikan kepada provinsi Papua. Dalam perjalanannya, PDP memang tidak disukai oleh banyak pihak, terutama para petinggi militer.
Pada tanggal 10 November 2001, Theys Hiyo Eluay diculik dan lalu ditemukan sudah terbunuh di mobilnya di sekitar Koya, Jayapura. Menurut penyidikan Jenderal I Made Mangku Pastika, yang juga memimpin penyidikan peristiwa Bom Bali 2002, ternyata pembunuhan ini dilakukan oleh oknum-oknum Komando Pasukan Khusus (Kopassus)(sumber: Wikipedia.com).
Situs indosiar.com mengabarkan pada Senin 21 April 2002, Mahkamah Militer Tinggi Surabaya menjatuhkan vonis terhadap empat anggota Koppasus yang menjadi terdakwa kasus pembunuhan Ketua Presedium Dewan papua, Theys Hiyo Eluay.Majelis hakim yang dipimpin Kolonel Chk. Yamini menjatuhkan vonis berbeda kepada keempat terdakwa.Namum vonis yang dijatuhkan lebih berat dari pada tuntutan oditur militer yakni 2 tahun penjara.
Letkol Hartomo divonis 3,5 tahun penjara, Kapten Riyonardo divonis 3 tahun penjara, serta Asriyal divonis 3,5 tahun penjara dan Praka Ahmad Zul Fahmi 3,5 tahun penjara dan dipecat dari kesatuannya.Menurut majelis hakim, keempat terdakwa terbukti bersalah secara bersama-sama melakukan penganiayaan terhadap Ketua Presidium Dewan Papua, Theys Hiyo Eluay hingga tewas pada 10 November 2001.
Kasus ini mendapatkan perhatian dunia internasional dan karenanya proses peradilan atas kasus ini merupakan salah satu proses peradilan dengan hukuman berat. Meski demikian, Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal TNI Ryamizard Ryacudu menganggap anggota Kopassus yang dihukum karena melakukan pembunuhan terhadap Ketua Presidium Dewan Papua Theys Hiyo Eluay sebagai pahlawan dan meminta anggota Kopassus tersebut dihukum ringan (sumber: tempo.co.id).
Terlihat dengan jelas adanya kesan pengabaian konsep HAM dalam pernyataan Ryamizard Ryacudu tersebut.Sang Jenderal mungkin tidak paham bahwa HAM (termasuk hak untuk hidup) adalah bagian dari diri setiap orang.HAM itu tidak tergantung dari pengakuan manusia lain, masyarakat lain, atau negara.Hak asasi diperoleh manusia dari Penciptanya, yaitu Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan hak yang tidak dapat diabaikan.
Kasus kekerasan dan pelanggaran HAM berikutnya yang vonis-nya banyak dipertanyakan publik adalah kasus Abepura Berdarah.Kasus Abepura terjadi pada tanggal 7 Desember 2000.Peristiwa bermula dari penyerangan sekelompok orang ke Mapolsek Abepura dan berujung sweeping anggota polisi ke beberapa kampung yang diduga warganya terlibat.Akibat penyisiran aparat Brimob ini, 7 warga sipil tewas dan 74 orang luka. Brigjen Polisi Jhoni saat itu menjadi Dansat Brimob Papua, ditetapkan sebagai terdakwa dan disidangkan.
Putusan atas sidang kasus ini dilakukan pada 9 September 2005, dengan vonis bebas bagi para pelaku. Dalam amar keputusannya, Ketua Majelis Hakim Ad Hoc Jalaludin SH menyatakan Jhoni Weinal Usman tidak terbukti dengan sah melakukan pelanggaran HAM di Abepura.Majelis Hakim menilai terdakwa Brigjen Polisi Jhoni Weinal Usman selaku Dansat Brimobda Papua saat itu telah melakukan tugas sesuai dengan standar operasional protap, sehingga tidak dikategorikan sebagai suatu kesalahan. Majelis Hakim juga tidak mengabulkan tuntutan ganti rugi keluarga korban Papua.
Dalam catatan KontraS, sampai dengan tahun 2012 kekerasan dengan dugaan pelanggaran HAM terjadi dengan stabil dari satu kasus ke kasus lainya. Kasus-kasus lain yang baru-baru ini terjadi, seperti penembakan Wakil Ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB) pada 6 Juni 2012, penembakan 5 warga sipil hingga kritis di lokasi Biliar di Kabupaten Paniai pada 15 Mei 2012 dan pembubaran paksa aksi KNPB yang menyebabkan satu orang tewas di Sentani, Jayapura pada 4 Juni 2012. Kasus-kasus tersebut dan kasus lainya masih belum diusut dan para pelaku masih bebas.
Orang Papua Harus Lebih Paham Hukum dan HAM!
Terkait rangkaian kekerasan yang diduga atau terbukti telah terjadi pelanggaran HAM diatas, penulis bangga ketika ada dua orang pengacara asli Papua yang aktif membela hak-hak orang Papua, mendapatkan penghargaan internasional. Gustaf Kawer dan Olga Hamadi dianugerahi penghargaan Lawyer for Lawyers Awardpada 31 Mei 2013 lalu atas dedikasi mereka membela para korban pelanggaran HAM di Papua.
Dorus Wakum, aktivis HAM Papua menyatakan komiten Gustaf Kawer dan Olga Hamadi tak perlu diragukan lagi.Mereka dari waktu ke waktu mendampingi puluhan hingga ratusan aktivis Papua yang ditahan dengan tuduhan makar oleh negara.Ada atau tidak ada uang, mereka tetap kerja, ini pekerjaan yang sangat luar biasa, banyak orang Papua terbantu dengan pendampingan yang mereka berikan.Wakum berharap, ada banyak pengacara muda lainnya tampil dan bicara seperti Gustaf Kawer dan Olga Hamadi untuk penegakan hukum dan hak asasi manusia di tanah Papua.
Belajar dari begitu banyak kasus pelanggaran HAM di Papua, ada suatu kencenderungan oknum aparat militer atau kepolisian untuk berlaku sesuka-hati.Mengapa?Pertama, karena oknum aparat memperoleh superioritas dari ketidaksadaran orang Papua atas hukum dan hak-nya yang dijamin konvensi internasional dan undang-undang.
Kedua, dari perspektif aparat hukum ada pelanggaran-pelanggaran dari pihak masyarakat yang mengharuskan aparat mengambil tindakan pencegahan untuk menjamin stabilitas keamanan. Terkait hal ini, masyarakat juga harus sadar dan paham bagaimana mengelola kewajiban-nya di depan hukum.
Karena itu, masyarakat Papua harus menjadi masyarakat yang melek hukum. Kesadaran untuk mengelola dan menempatkan diri di muka hukum dan pemahaman akan hak-hak serta kewajibannya dimuka hukum akan (paling tidak) meminimalisasi kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua.
Penulis adalah: Koteka son
Tidak ada komentar:
Posting Komentar