Salah satu Peristiwa Politik Bersejarah Orang Papua. 26 Februari 1999, 100 Tokoh Papua dengan bermartabat dan damai pergi ke Istana Negara Republik Indonesia bertemu Presiden B.J.Habibie.
Pernyataaan orang Papua yang diantar oleh 100 Tokoh Papua yang dinamai 'Tim 100' ke Jakarta di bacakan oleh Tom Beanal dan Herman Wayoi.
Tom Beanal membacakan "Kembalikan Kedaulatan Kami" sedangkan Herman Wayoi membacakan "Quo Vadis Papua".
Presiden RI saat itu, Habibie, mengatakan kepada delegasi Papua yang di wakilkan 100 orang tsb dari berbagai elemen dan komponen: " Pulang dan Renungkan".
Hasil Perenungan itu, 1 Desember 1999, Upacara Resmi Bangsa West Papua di dpn Gedung New Guinea Raad (sekarang Dewan Kesenian) Taman Imbi, Jayapura, bendera Bintang Fajar di kibarkan bersebelahan dengan bendera merah putih dan tidak lebih tinggi dari merah putih.
Dilanjutkan Musyawarah Besar Bangsa Papua, 23-26 Februari 2000 dengan Tema: "Jalan Sejarah, Jalan Kebenaran". Dalam MUBES, mereka menetapkan untuk melaksanakan Kongres Rakyat Papua II.
Kongres Rakyat Papua II dilaksanakan di GOR Cenderawasih Jayapura pada 26 Mei-4 Juni 2000. Kongres Papua II ini di hadiri 20.000ribu orang Papua dari bebagai suku, elemen, komponen baik yang ada di luar negeri maupun dalam negeri. Hasil Kongres Papua II melahirkan beberapa resolusi yang salah satunya adalah "Bangsa Papua telah berdaulat sebagai sebuah bangsa dan negara sejak 1 Desember 1961".
Jakarta tidak bisa menjawab tuntutan MERDEKA orang Papua. Permintaan itu menurut Jakarta terlalu berat untuk dijawab.
Bulan November 2001 adalah bulan yang kelam. Pemimpin Besar Bangsa Papua, Theys Hiyo Eluay, dibunuh oleh Komando Pasukan Khusus (Kopassus) Republik Indonesia. Pasca 10 hari setelah peristiwa ini, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Provinsi Papua disahkan oleh Presiden Republik Indonesia, Megawati pada tanggal 21 November 2001.
OTSUS BUKANLAH GOODWILL / NIAT BAIK JAKARTA kepada orang asli Papua. Pemberian otoritas kekuasaan dalam OTSUS kepada orang Papua karena Jakarta ingin memberikan hak mengelola kekuasaan yang besar kepada orang asli Papua. Jakarta memang agak berat menjawab aspirasi orang Papua yang minta merdeka.
Kesimpulanya, Otsus adalah kompromi politik Jakarta dgn elit politik Papua. Jakarta mencoba menyelesaikan kegagalannya meng-Indonesiakan orang Papua, karena justru yang terjadi adalah rentetan pelanggaran ham berat sistematis dan meluas ( gross violations of human right ), melalui cara menukar keadilan dan kebenaran dengan penyelesain politik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar