Mencermati perkembangan gejolak Papua saat ini, ternyata
tidak semata-mata dilatari kekecewaan para aktivis Papua merdeka atas
ketertinggalan pembangunan di Tanah Papua dalam berbagai aspek. Buktinya, jika
benar itu penyebabnya, mestinya dengan gencarnya perhatian Pemerintah Pusat
melalui Otonomi Khusus dan pelibat-gandaan dana yang dikucurkan untuk membangun
wilayah itu dalam 10 tahun terakhir, gejolak itu akan hilang, atau setidaknya
berkurang.
Tapi faktanya? Tuntutan merdeka dan aksi-aksi gerilyawan
bersenjata justru meningkat berbanding lurus dengan perhatian Negara dan
besarnya dana yang dikucurkan. Gerakan para aktivis Papua saat ini tidak lagi
hanya sekedar bermain di permukaan dengan aksi-aksi damai, long march, dan demo
jalanan, tetapi telah merangsek ke “akar pohon”. Yakni, gerakan mengembalikan status politik wilayah Papua
ke titik nol, lalu meminta REFERENDUM.
Untuk itu maka sejarah integrasi Papua ke dalam wilayah
kedaulatan NKRI harus digugat. Karena menurut mereka, peristiwa politik
internasional terkait integrasi Papua yang terjadi sejak tahun 1949 (Konverensi
Meja Bundar), New York Agreement 1962, PEPERA 1969 hingga Sidang Umum PBB 19
November 1969 yang menghasilkan Resolusi No. 2504 adalah ilegal, dan karenanya
harus digugat ke Mahkamah Internasional.
Untuk tujuan itu, tahun 2008 lalu mereka telah membentuk
perkumpulan pengacara internasional (International Lawyer for West Papua /
ILWP) yang bermarkas di London, menggalang dukungan parlemen dari berbagai
negara (International Parliement for West Papua / IPWP) serta meningkatkan
aktivitas gerakan di Tanah Papua melalui sayap politik (antara lain melalui
pembentukan parlemen daerah) dan sayap militer (TPN-OPM).
Kita ingat, beberapa hari yang lalu di Pengadilan Negeri
Jayapura, Forkorus Yaboisembut, terdakwa kasus makar yang dipilih menjadi
‘presiden negara federasi papua barat’ oleh sebuah forum yang mereka sebut
konverensi rakyat papua-III, kepada wartawan yang meliput sidang itu mengatakan
bahwa dirinya memiliki 35 pengacara dalam dan luar negeri. Di antaranya ada
enam pengacara internasional yang bermarkas di Brussel. Tugas pengacara
internasional itu adalah memberitahukan dan mendaftarkan negara Federal
Republik Papua Barat (yang diproklamirkan oleh Forkorus dkk pada 19 Oktober
2011 itu) ke PBB, serta menggugat aneksasi negeri Papua Barat ke Mahkamah
Internasional.
http://zonadamai.wordpress.com/2012/02/09/negara-papua-telah-didaftarkan-ke-pbb/
Kita tidak tahu dokumen sejarah mana yang akan mereka gunakan untuk mendukung
dalil hukum mereka di Mahkamah Internasional kelak. Namun sebagai bangsa, kita
percaya bahwa Pemerintah Negeri ini dengan semua perangkat yang dimilikinya,
tidak akan tinggal diam untuk menjaga KEDAULATAN wilayah NKRI dari Sabang
sampai Merauke, dari Talaud sampau ke Rote. Bagi kita, bergabungnya wilayah
Papua ke dalam NKRI adalah melalui proses integrasi yang demokratis serta sudah
sesuai mekanisme hukum internasional yang berlaku saat itu. Dan itu sama sekali
jauh berbeda dengan apa yang mereka tuduhkan sebagai aneksasi.
Agar kita tidak terjebak dalam skenario “bualan politik”
para aktivis Papua, berikut ini saya bagikan dokumen resmi Perserikatan
Bangsa-Bangsa tentang sejarah integrasi (bukan sejarah aneksasi) Papua ke dalam
NKRI, yang saya copas dari situs resmi PBB: http://www.un.org/en/peacekeeping/missions/past/unsfbackgr.html
Mengingat panjangnya dokumen tersebut, saya akan turunkan
secara bertahap sebagai bahan referensi para Kompasianer, sekaligus untuk
menjaga semangat nasionalisme kita sebagai sebuah bangsa yang sudah 67 tahun
berdaulat yang bernama Republik Indonesia.
Historical background
Historical background
The territory of West New Guinea (West Irian) had been in
the possession of the Netherlands since 1828. When the Netherlands formally
recognized the sovereign independence of Indonesia in 1949, the status of West
Irian remained unresolved. It was agreed in the Charter of Transfer of
Sovereignty C concluded between the Netherlands and Indonesia at The Hague,
Netherlands, in November 1949 C that the issue would be postponed for a year,
and that "the status quo of the presidency of New Guinea" would be
"maintained under the Government of the Netherlands" in the mean
time. The ambiguity of the language, however, led the Netherlands to consider
itself the sovereign Power in West New Guinea, since this would be a continuation
of the "status quo". Indonesia, on the other hand, interpreted the
Dutch role there to be strictly administrative, with the implication that West
Irian would be incorporated into Indonesia after a year.
The status of the territory was still being disputed when
Indonesia brought the matter before the United Nations in 1954. Indonesia
claimed that the territory rightfully belonged to it and should be freed from
Dutch colonial rule. The Netherlands maintained that the Papuans of West New
Guinea were not Indonesians and therefore should be allowed to decide their own
future when they were ready to do so. The future of the territory was discussed
at the General Assembly's regular sessions from 1954 to 1957 and at the 1961
session, but no resolutions on it were adopted.
In December 1961, when increasing rancour between the
Indonesian and Dutch Governments made the prospect of a negotiated settlement
even more elusive, Secretary-General U Thant, who had been appointed Acting
Secretary-General following the death of Secretary-General Dag Hammarskjöld,
undertook to resolve the dispute through his good offices. Consulting with the
Indonesian and Dutch Permanent Representatives to the United Nations, he
suggested that informal talks take place between the parties in the presence of
former United States Ambassador Ellsworth Bunker, who would act as the
Secretary-General's representative. The parties agreed, and talks were begun in
early 1962.
A sharpening of tension between the two Governments occurred
shortly thereafter, however, when Indonesia landed paratroops in West New
Guinea. The Netherlands charged that the landings constituted an act of
aggression, but Indonesia refuted this on the grounds that "Indonesians
who have entered and who in future will continue to enter West Irian are
Indonesian nationals who move into Indonesia's own territory now dominated by
the Dutch by force". Secretary-General U Thant urged restraint by both
parties but declined a Dutch request to send United Nations observers to the
scene, noting that such action could only be considered if both Governments
made the request. Further incidents were reported by the Netherlands during the
first months of 1962, and there were intermittent lulls in the progress of
Ambassador Bunker's talks.
The Acting Secretary-General was at last able to announce,
on 31 July 1962, that a preliminary agreement had been reached, and that
official negotiations were to take place under his auspices. The final
negotiations were held at United Nations Headquarters under the chairmanship of
the Secretary-General, with Ambassador Bunker continuing to act as mediator. An
agreement was signed at New York by Indonesia and the Netherlands on 15 August
1962. Ratification instruments were exchanged between the two countries on 20
September 1962 and, the next day, the General Assembly took note of the
agreement in resolution 1752 (XVII) of the same date, authorizing the
Secretary-General to carry out the tasks entrusted to him therein.
The agreement provided for the administration of West New
Guinea (West Irian) to be transferred by the Netherlands to a United Nations
Temporary Executive Authority (UNTEA), to be headed by a United Nations
Administrator who would be acceptable to both parties and who would be
appointed by the Secretary-General. Under the Secretary-General's jurisdiction,
UNTEA would have full authority after 1 October 1962 to administer the
territory, to maintain law and order, to protect the rights of the inhabitants
and to ensure uninterrupted, normal services until 1 May 1963, when the
administration of the territory was to be transferred to Indonesia.
The agreement also stipulated that the Secretary-General
would provide a United Nations Security Force (UNSF) to assist UNTEA with as
many troops as the United Nations Administrator deemed necessary. In
"related understandings" to the main agreement, it was established
that United Nations personnel would observe the implementation of the ceasefire
that was to become effective before UNTEA assumed authority. The United Nations
was therefore entrusted with a dual peacekeeping role in addition to its
administrative responsibilities as the executive authority.
Arranging a ceasefire
To pave the way for the arrival in West Irian of UNTEA and
UNSF, a ceasefire between Indonesian and Netherlands forces had to be enforced.
The memorandum of understanding concerning the ceasefire C presented on 15
August 1962 in a note to the Acting Secretary-General from the representatives
of Indonesia and the Netherlands C requested that the Secretary-General
undertake immediately some of the functions outlined in the main agreement, so
as to effect a cessation of hostilities as soon as possible. Such action would
constitute an "extraordinary measure", because the General Assembly
would not be voting on the establishment of UNTEA and UNSF until it convened in
late September.
The Secretary-General responded promptly, stating that he
was prepared to undertake the responsibilities mentioned in the note. The
memorandum on the cessation of hostilities specified that the Secretary-General
would assign United Nations personnel to perform certain tasks, including:
observing the ceasefire; protecting the security of Dutch and Indonesian
forces; restoring the situation in the event of breaches of the ceasefire;
assisting in informing Indonesian troops in the jungle of the existence of the
ceasefire; and providing a non-military supply line to Indonesian troops.
Although there was no explicit reference to military
observers in the memorandum, the Secretary-General selected them to perform
these tasks. Furthermore, he agreed to dispatch them without the prior
authorization of the General Assembly or the Security Council, a step never
before taken by a Secretary-General. Reference was made in the memorandum to
UNSF and its law-and-order maintenance role, with the implication that the
Secretary-General should address this responsibility with all possible speed.
The Secretary-General appointed Brigadier-General (later
Major-General) Indar Jit Rikhye, his Military Adviser, to head the military
observer team that was to supervise all arrangements for the ceasefire. Six
Member States (Brazil, Ceylon, India, Ireland, Nigeria and Sweden) agreed to
provide 21 observers for this purpose. They were drawn from troops of these
nations then serving either in the United Nations Emergency Force or the United
Nations Operation in the Congo.
The observer force was assembled in West Irian within days
of the signing of the agreement at United Nations Headquarters. The observers were
informed at that time that the Netherlands military command had proclaimed a
ceasefire as of 0001 GMT on 18 August 1962, and had ordered its ground forces
to concentrate in the main garrison towns, although air and naval forces
continued to patrol the territory. After a visit to Djakarta by General Rikhye,
contacts were established with the Indonesian troops in the jungle.
In this connection, frequent radio broadcasts on both the
Netherlands-owned and Indonesian stations told the troops that hostilities had
ceased. Printed pamphlets carrying the ceasefire message were dropped from
airplanes over the jungle. Besides supervising the ceasefire, the United
Nations observers helped resupply the Indonesian troops with food and medicines
and helped them regroup in selected places. The effort was successful owing to
the full cooperation of the Indonesian and Netherlands authorities. Aerial
support was given by the Thirteenth United States Task Force for the Far East
and the Royal Canadian Air Force. Most of the emergency supplies were provided
by the Netherlands military command, which also treated any Indonesian troops
who were seriously ill. United Nations aircraft landed supplies in four staging
areas: Sorong, Fakfak, Kaimana and Merauke.
By 21 September 1962, General Rikhye was able to report that
all Indonesian forces in West Irian had been located and concentrated, that
resupply had been assured and that over 500 Indonesian political detainees had
been repatriated in accordance with the memorandum. The observers' mandate had
thus been fulfilled and all actions concerning the cessation of hostilities had
been completed without incident.
(Bersambung)
Selengkapnya :
http://www.kompasiana.com/kanis/dokumen-resmi-pbb-tentang-sejarah-integrasi-papua-bagian-1_550de853813311c62cbc5fba
Mencermati perkembangan
gejolak Papua saat ini, ternyata tidak semata-mata dilatari kekecewaan
para aktivis Papua merdeka atas ketertinggalan pembangunan di Tanah
Papua dalam berbagai aspek. Buktinya, jika benar itu penyebabnya,
mestinya dengan gencarnya perhatian Pemerintah Pusat melalui Otonomi
Khusus dan pelibat-gandaan dana yang dikucurkan untuk membangun wilayah
itu dalam 10 tahun terakhir, gejolak itu akan hilang, atau setidaknya
berkurang.
Tapi faktanya? Tuntutan merdeka dan aksi-aksi gerilyawan bersenjata
justru meningkat berbanding lurus dengan perhatian Negara dan besarnya
dana yang dikucurkan. Gerakan para aktivis Papua saat ini tidak lagi
hanya sekedar bermain di permukaan dengan aksi-aksi damai, long march,
dan demo jalanan, tetapi telah merangsek ke “akar pohon”. Yakni, gerakan
mengembalikan status politik wilayah Papua ke titik nol, lalu meminta
REFERENDUM.
Untuk itu maka sejarah integrasi Papua ke dalam wilayah kedaulatan NKRI
harus digugat. Karena menurut mereka, peristiwa politik internasional
terkait integrasi Papua yang terjadi sejak tahun 1949 (Konverensi Meja
Bundar), New York Agreement 1962, PEPERA 1969 hingga Sidang Umum PBB 19
November 1969 yang menghasilkan Resolusi No. 2504 adalah ilegal, dan
karenanya harus digugat ke Mahkamah Internasional.
Untuk tujuan itu, tahun 2008 lalu mereka telah membentuk perkumpulan
pengacara internasional (International Lawyer for West Papua / ILWP)
yang bermarkas di London, menggalang dukungan parlemen dari berbagai
negara (International Parliement for West Papua / IPWP) serta
meningkatkan aktivitas gerakan di Tanah Papua melalui sayap politik
(antara lain melalui pembentukan parlemen daerah) dan sayap militer
(TPN-OPM).
Kita ingat, beberapa hari yang lalu di Pengadilan Negeri Jayapura,
Forkorus Yaboisembut, terdakwa kasus makar yang dipilih menjadi
‘presiden negara federasi papua barat’ oleh sebuah forum yang mereka
sebut konverensi rakyat papua-III, kepada wartawan yang meliput sidang
itu mengatakan bahwa dirinya memiliki 35 pengacara dalam dan luar
negeri. Di antaranya ada enam pengacara internasional yang bermarkas di
Brussel. Tugas pengacara internasional itu adalah memberitahukan dan
mendaftarkan negara Federal Republik Papua Barat (yang diproklamirkan
oleh Forkorus dkk pada 19 Oktober 2011 itu) ke PBB, serta menggugat
aneksasi negeri Papua Barat ke Mahkamah Internasional.
http://zonadamai.wordpress.com/2012/02/09/negara-papua-telah-didaftarkan-ke-pbb/
Kita
tidak tahu dokumen sejarah mana yang akan mereka gunakan untuk
mendukung dalil hukum mereka di Mahkamah Internasional kelak. Namun
sebagai bangsa, kita percaya bahwa Pemerintah Negeri ini dengan semua
perangkat yang dimilikinya, tidak akan tinggal diam untuk menjaga
KEDAULATAN wilayah NKRI dari Sabang sampai Merauke, dari Talaud sampau
ke Rote. Bagi kita, bergabungnya wilayah Papua ke dalam NKRI adalah
melalui proses integrasi yang demokratis serta sudah sesuai mekanisme
hukum internasional yang berlaku saat itu. Dan itu sama sekali jauh
berbeda dengan apa yang mereka tuduhkan sebagai aneksasi.
Agar kita tidak terjebak dalam skenario “bualan politik” para aktivis
Papua, berikut ini saya bagikan dokumen resmi Perserikatan Bangsa-Bangsa
tentang sejarah integrasi (bukan sejarah aneksasi) Papua ke dalam NKRI,
yang saya copas dari situs resmi PBB :
http://www.un.org/en/peacekeeping/missions/past/unsfbackgr.html
Mengingat panjangnya dokumen tersebut, saya akan turunkan secara
bertahap sebagai bahan referensi para Kompasianer, sekaligus untuk
menjaga semangat nasionalisme kita sebagai sebuah bangsa yang sudah 67
tahun berdaulat yang bernama Republik Indonesia.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/kanis/dokumen-resmi-pbb-tentang-sejarah-integrasi-papua-bagian-1_550de853813311c62cbc5fba
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/kanis/dokumen-resmi-pbb-tentang-sejarah-integrasi-papua-bagian-1_550de853813311c62cbc5fba
Mencermati perkembangan
gejolak Papua saat ini, ternyata tidak semata-mata dilatari kekecewaan
para aktivis Papua merdeka atas ketertinggalan pembangunan di Tanah
Papua dalam berbagai aspek. Buktinya, jika benar itu penyebabnya,
mestinya dengan gencarnya perhatian Pemerintah Pusat melalui Otonomi
Khusus dan pelibat-gandaan dana yang dikucurkan untuk membangun wilayah
itu dalam 10 tahun terakhir, gejolak itu akan hilang, atau setidaknya
berkurang.
Tapi faktanya? Tuntutan merdeka dan aksi-aksi gerilyawan bersenjata
justru meningkat berbanding lurus dengan perhatian Negara dan besarnya
dana yang dikucurkan. Gerakan para aktivis Papua saat ini tidak lagi
hanya sekedar bermain di permukaan dengan aksi-aksi damai, long march,
dan demo jalanan, tetapi telah merangsek ke “akar pohon”. Yakni, gerakan
mengembalikan status politik wilayah Papua ke titik nol, lalu meminta
REFERENDUM.
Untuk itu maka sejarah integrasi Papua ke dalam wilayah kedaulatan NKRI
harus digugat. Karena menurut mereka, peristiwa politik internasional
terkait integrasi Papua yang terjadi sejak tahun 1949 (Konverensi Meja
Bundar), New York Agreement 1962, PEPERA 1969 hingga Sidang Umum PBB 19
November 1969 yang menghasilkan Resolusi No. 2504 adalah ilegal, dan
karenanya harus digugat ke Mahkamah Internasional.
Untuk tujuan itu, tahun 2008 lalu mereka telah membentuk perkumpulan
pengacara internasional (International Lawyer for West Papua / ILWP)
yang bermarkas di London, menggalang dukungan parlemen dari berbagai
negara (International Parliement for West Papua / IPWP) serta
meningkatkan aktivitas gerakan di Tanah Papua melalui sayap politik
(antara lain melalui pembentukan parlemen daerah) dan sayap militer
(TPN-OPM).
Kita ingat, beberapa hari yang lalu di Pengadilan Negeri Jayapura,
Forkorus Yaboisembut, terdakwa kasus makar yang dipilih menjadi
‘presiden negara federasi papua barat’ oleh sebuah forum yang mereka
sebut konverensi rakyat papua-III, kepada wartawan yang meliput sidang
itu mengatakan bahwa dirinya memiliki 35 pengacara dalam dan luar
negeri. Di antaranya ada enam pengacara internasional yang bermarkas di
Brussel. Tugas pengacara internasional itu adalah memberitahukan dan
mendaftarkan negara Federal Republik Papua Barat (yang diproklamirkan
oleh Forkorus dkk pada 19 Oktober 2011 itu) ke PBB, serta menggugat
aneksasi negeri Papua Barat ke Mahkamah Internasional.
http://zonadamai.wordpress.com/2012/02/09/negara-papua-telah-didaftarkan-ke-pbb/
Kita
tidak tahu dokumen sejarah mana yang akan mereka gunakan untuk
mendukung dalil hukum mereka di Mahkamah Internasional kelak. Namun
sebagai bangsa, kita percaya bahwa Pemerintah Negeri ini dengan semua
perangkat yang dimilikinya, tidak akan tinggal diam untuk menjaga
KEDAULATAN wilayah NKRI dari Sabang sampai Merauke, dari Talaud sampau
ke Rote. Bagi kita, bergabungnya wilayah Papua ke dalam NKRI adalah
melalui proses integrasi yang demokratis serta sudah sesuai mekanisme
hukum internasional yang berlaku saat itu. Dan itu sama sekali jauh
berbeda dengan apa yang mereka tuduhkan sebagai aneksasi.
Agar kita tidak terjebak dalam skenario “bualan politik” para aktivis
Papua, berikut ini saya bagikan dokumen resmi Perserikatan Bangsa-Bangsa
tentang sejarah integrasi (bukan sejarah aneksasi) Papua ke dalam NKRI,
yang saya copas dari situs resmi PBB :
http://www.un.org/en/peacekeeping/missions/past/unsfbackgr.html
Mengingat panjangnya dokumen tersebut, saya akan turunkan secara
bertahap sebagai bahan referensi para Kompasianer, sekaligus untuk
menjaga semangat nasionalisme kita sebagai sebuah bangsa yang sudah 67
tahun berdaulat yang bernama Republik Indonesia.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/kanis/dokumen-resmi-pbb-tentang-sejarah-integrasi-papua-bagian-1_550de853813311c62cbc5fba
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/kanis/dokumen-resmi-pbb-tentang-sejarah-integrasi-papua-bagian-1_550de853813311c62cbc5fba
Tidak ada komentar:
Posting Komentar